Ririn's Page

Wednesday, November 21, 2012

Jack - Jude - Jane

"Ada yang ingin aku katakan padamu," ujar Jack lembut di telinga Jane.
Wajah Jane sumringah. Saat-saat seperti ini sudah ia nantikan sejak lama, sejak ia memiliki rasa, sejak ia mengenal rasa.

"Kenalkan, Jude, kekasihku," kata Jack, membukakan pintu dan hadir seorang lelaki di antara mereka.
"Jude, ini Jane, sahabatku yang selama ini ku ceritakan padamu."

Jane serasa disambar petir. Ia sudah salah, jatuh pada lubang yang salah.



--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Tuesday, November 6, 2012

[Jack`nJane] kill or love

Jack: "Would you help me?"
Jane: "What do you want me to do?"
Jack: "Kill me!"
Jane: What??! No way, I can't do such a thing like that!
Jack: Then love me ..
Jane: .... *silent*
Wait for the next move.. ^^

Wednesday, August 15, 2012

Forgiven, not forgotten

"Bukankah kau sudah memaafkanku?"
"Ya, itu benar."
"Lalu mengapa engkau tak memberi kesempatan kedua kepadaku?"
"Kau sudah ku maafkan, itu benar. Tapi aku tidak bisa melupakan kesalahan yang pernah kau buat."
"Apa??!!"
"Maaf untuk itu."



*Terinspirasi dari The Corrs.

--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, July 26, 2012

penyesalan tiada guna

Semuanya jadi tampak salah
Awalnya tampak indah
Ini salahmu kataku
kataku yang lain, Ini juga salahku mengiyakanmu

awalnya indah
akhirnya salah
ini salahmu
aku terpengaruh olehmu

aku terbelenggu terkurung
mungkin aku yang kurang berpikir panjang

aku menangis
yang aku tahu tiada guna
aku menangis
yang kutahu hanya berduka

Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan

Suara ombak membangunkanku. Aku segera keluar dari tenda.
Masih pagi benar. Matahari baru saja menyembulkan ujung senyumnya. Kuning keemasan menghiasi langit. Indah. Mataku terpaku menatapnya.
Angin semilir, mengacak-acak poniku. Menyusuri pantai. Menyentuh riak-riak kecil dengan kakiku dan ombak berlari-lari mengejar. Menyenangkan.

Liburan kali ini tidak seseram dalam bayanganku. Pulau Lengkuas. Mendengarnya membuat berpikir bahwa disini bakal tumbuh tanaman seperti lengkuas, jahe, atau semacamnya.
Dan hal itu membuat perspektif awalku jelek. Ternyata aku salah. Salah besar. Tempat ini indah. Sangat indah.
Jika engkau berkata kamu sudah mengelilingi seluruh pantai di seluruh dunia, tapi tidak pernah ke Pulau Lengkuas ini, di negaramu sendiri, aku katakan padamu, kamu akan sangat menyesal. Karena tempat ini adalah surga nun indah.

Aku berjalan agak jauh meninggalkan tenda ke arah mercusuar. Tadi malam aku dan kawananku tiba sudah larut malam sehingga kami tidak sempat menginjakkan kaki di mercusuar ini.

"Papa, disini bisa snorkling gak?" terdengar suara gadis kecil, rasa penasaran membuatku menoleh ke arah datangnya suara.
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua sedang berjalan dengan papanya. Dia lucu sekali. Usianya sekitar 4-5 tahun, menurut perkiraan kasarku.
Terlihat Papa anak itu mengangguk. Senyum mengembang di bibir gadis kecil itu.
"Papa, nanti kita ke mercusuar itu ya, Pa, aku mau liat pemandangan luas."
Lagi-lagi sang papa mengangguk mengiyakan.
"Trus ada harta karun gak, Pa?"
Aku tertawa, pelan tentu saja. Aku tidak ingin ketahuan sedang menguping pembicaraan seorang ayah dan putri kecilnya.
Aku menjadi berpikir, apa benar ada hal--hal semacam itu di tempat ini? Mmmh, mungkin aja sih ada harta terpendam disini.
Secara tidak disengaja, aku menjadi teringat Conan Edogawa dan Detektif Cilik yang sedamg liburan dan bermain permainan cari harta karun sampai akhirnya cCnan menemukan kapal pembajak laut. Aku melupakan judulnya. Ah, nanti aku ingin menonton film itu lagi dan menemukan cara mengetahui letak harta karun di tempat-tempat terpencil seperti ini.
"Mungkin ada sayang," jawab papanya.
"Dimana?" anak itu tidak dapat membendung rasa penasarannya yang besar.
Terlihat sang papa sedang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari putri kecilnya.
Aku tertawa dibuatnya.

"Hey, Nona," sebuah suara menghentikanku.
Aku menoleh. Kaget dan takut. Kaget karena tiba-tiba dipanggil dan takut karena bisa saja sang papa salah mengartikan tertawaku.
"Aku dan putriku ingin ke mercusuar, maukah kamu ikut dengan kami?" sang papa yang tadi berbicara dengan sangat antusias.
Gadis kecil itu juga mengangguk antusias.
Ada yang aneh dengan mereka. Mereka sangat bersemangat kelihatannya. Dan aku tidak sanggup untuk berkata tidak.
"Rasanya menyenangkan," jawabku. Lalu kami berjalan beriringan menuju mercusuar yang gagah perkasa.
"Mercusuar ini adalah peninggalan bangsa Belanda," kata sang papa seperti seorang kurator kepadaku dan putrinya.
"Kalau tidak salah, mercusuar ini dibangun sekitar tahun 1882."
"Wah, sudah tua dong Pa," timpal gadis kecil.
"Siapa namamu, Gadis Kecil?" tanyaku.
"Lenny, tante."
"Kok manggil tante? Manggil kakak saja," dan itu membuat kita bertiga tertawa.
"Oh, maaf, saya seharusnya memperkenalkan diri sebelumnya. Aku Teddy, dan ini putri kecilku. Seperti yang kamu dengar, namanya Lenny."
"Aku Rena. Kebetulan sedang liburan disini."
"Oh ya? Sama dong. Kalian harus tahu, bahwa mercusuar ini memiliki 17 lantai lho," jawab sang papa melucu.
"Wah, capek dong ya, kalau harus naik tangga." Dan sang papa hanya tertawa menjawab putri kecilnya.

"Eh, kita sudah sampai," seru Lenny ketika kami sudah berada di lantai paling atas.
"Wah, menyenangkan sekali, Papa. Melihatnya setiap hari tidak membuatku bosan."
Ia melompat-lompat kecil ke arah jendela.
"Hati-hati, Lenny. Awas jatuh lho."
"Iya Papa," ucap gadis itu tetapi tindakannya tidak ia hentikan.
"Lenny, jangan nakal, Sayang. Berdiri yang benar," kata sang papa lagi.
Lenny sepertinya sedang asyik menikmati lompat-lompatnya sehingga tidak mendengarkan kata-kata papanya.
Dan, tiba-tiba saja, ia kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke arah tangga.
"Lenny," suara papa-nya menggelagar.
Syukurlah aku menarik tangannya.
Tapi aku tidak bisa menjaga keseimbangan, dan membuatku sedikit terhuyung.
Oh, tidak, aku akan jatuh.
"Tolong," teriakku parau.

**

"Rena, bangun. Kamu kenapa?" bahuku digoncang-goncang.
Aku baru sadar, aku masih berada di dalam tenda.
--

Tittle : Pagi Kuning Keemasan
Setting : Pulau Lengkuas, Belitung


641 words

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau

Jam Gadang sudah berdentang 11 kali, sekitar dua puluh menit yang lalu. Sudah pukul 11 siang lewat dua puluh. Itu artinya aku sudah duduk tanpa melakukan apa-apa di depan jam besar nan perkasa ini selama 1 jam. Aku menatap nanar, sekelilingku sedang asyik menikmati makan siang, berfoto atau bersepeda berkeliling.
'Semoga mereka bahagia,' bisikku kepada angin semilir.

Tatapanku kembali mengarah ke Jam Gadang di depanku. Dia tak bergeming. Masih tetap angkuh, seperti sebelumnya.
Aku menarik nafas banyak, seolah udara akan segera habis sebentar lagi. Aku berharap keangkuhan itu segera lenyap.

Aku raba perlahan bagian dadaku. Detik-detik halus di dada menandakan aku masih hidup, dan sebentar lagi harus menunaikan tugas mulia. 'Demi bangsa dan tanah air', batinku.

Debaranku semakin cepat seiring berdetaknya Jam Gadang. Satu jam lagi, kurang dari satu jam lagi, setelah lampu di Jam Gadang menyala hijau. Ya, itu tanda yang harus aku tunggu. Hijau. "Mengapa hijau?" pernah tanyaku.
Jawaban atas pertanyaanku diawali dengan senyuman, lalu suara menyusul, "karena bumi ini hijau."
Aku tidak perlu bertanya apa-apa lagi. Jawaban itu sudah sangat cukup buatku. Mendengarnya, aku ikut tersenyum.

Pandanganku menyapu setiap sudut, setiap jengkal pemandangan di hadapanku, yang kurang lebih berukuran 13 x 4 meter ini*. Semuanya akan selesai. Sebentar lagi.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Keringat bercucuran dari punggung.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Keringat bercucuran dari dahi.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Gemuruh di dadaku tak mampu ku bendung.

Lampu di Jam Gadang sudah menyala hijau. Cantik. Sudah dimulai. Harus aku mulai.
Aku berjalan dengan sangat perlahan. Menapaki jalan kotak-kotak secara menyilang. Seorang badut menghampiriku. Seketika aku menjadi sangat gugup. Ternyata, dia hanya menawarkan foto bersama.
Aku menggeleng lemah. Dia berlalu. Aku menghela nafas, lega.
Aku melanjutkan langkahku, kini lebih mantap.
'Tinggal sedikit lagi,' batinku. Dan aku sudah berada dalam satu langkah dengan Jam Gadang.
Dentang pertama sudah menggema.
Detik-detik di dada semakin cepat. Aku memasrahkan diri. "Semoga aku diterima di sisi-Nya."
Lalu detik-detik itu meledak, tepat ketika aku sudah memeluk Jam Gadang, tepat ketika ia berdentang yang kedua belas kalinya.





*) dari wiki




Tittle: Menunggu Lampu Hijau
Setting : Jam Gadang, Bukit Tinggi
#1 #15HariNgeblogFF2 
337 words

Tuesday, June 5, 2012

selamat UT

Hari-hari berlalu tanpa engkau perlu ragu
Menit-menit bergulir tanpa perlu ditunggu
Detik-detik berdetak tanpa perlu menunggu

Selamat ulang tahun buatmu, kakakku
Selalu menjadi bagian dari kasihku
Semoga engkau berkenan atasku
Yang mengirimkan puisi kepadamu


--
teruntuk kakakku sayang, ND

Wednesday, May 23, 2012

I am


"Kamu boleh kok jalan ama siapa aja," katanya tanpa terlihat sedih.
Aku mulai meragu apa benar dia mencintaiku atau tidak. Tetapi muncul pikiran lain dalam kepalaku. Mungkin saja dia benar mencintaiku, karena itu dia menginginkan aku bahagia. Bukankah itu cinta sejati, yang rela melihat orang yang dicintainya bahagia?
"Apa kamu yakin, Ra?" tanyaku meyakinkan dirinya. Ia mengangguk mantap.
Aku semakin yakin bahwa dia bakal baik-baik saja.
"Baiklah, jika kamu tidak apa-apa, aku mau jalan sama Heto. Aku pergi dulu ya. Sampai nanti malam," ucapku lalu menepuk pundaknya sebagai tanda perpisahan.
Apakah dia pacar yang baik? Menurutku dia pacar yang sangat baik.

**
 
"Kamu telat," sapanya padaku, ketika aku baru saja duduk di hadapannya.
"Hanya lima belas menit kok," aku membela diri.
"Harusnya kamu memberitahu aku kalau bakalan telat, aku kan ga perlu menunggumu terlalu lama," ucapnya sewot. Entah mengapa aku masih bisa menaruh perasaan pada pria yang tidak punya rasa empati ini. Bukankah dia harusnya bersyukur masih bisa bertemu denganku, walau aku sudah punya pacar?
"Ya, aku minta maaf," akhirnya aku mengalah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kita janjian disini untuk melepaskan belenggu yang terasa mengikat kita berdua.
"Ada yang ingin kamu sampaikan lebih dulu?" tanyanya kemudian.
Aku berpikir keras, pernyataan apa yang ingin aku katakan padanya. Aku terdiam. Aku tak punya banyak kata yang bisa kusampaikan padanya lagi, kita tidak seperti dulu lagi.
"Adakah?" tanyanya lagi ketika aku masih tak kunjung bicara.
"Mengapa kamu lakukan ini terhadapku?" akhirnya bibirku berucap.
"Apa?" tanyanya, terlihat tak mengerti.
"Mengapa engkau membuat bunga layu, ketika ia hendak mekar?"
Dia terlihat gamang, mungkin ia mengerti filosofi yang aku buat.
Lama dia terdiam, membuatku was-was apa dia benar-benar mengerti maksud perkataanku.
"Karena bunga itu menusukku tajam ketika aku hendak menyentuhnya," kali ini aku yang terdiam. Aku sadar akulah yang menjadi pemicu dari semua ini.
"Dia sama sekali tidak berniat menusukmu," kataku membela.
"Tapi dia sudah melakukannya, tepat di hatiku."
Aku tertunduk. Sakit terasa di dada. Mungkin seperti ini sakit yang dulu ia rasakan.
"Kamu tidak bisa menyalahkannya, kamu tidak pernah bertanya apakah dia benar-benar ingin menusukmu, atau itu hanya salah paham."
"Apa yang salah paham? Aku melihatnya sendiri. Bunga itu benar-benar ingin menusukku."
"Tidak, itu tidak benar!" Suaraku terdengar keras. Aku terdiam lagi. "Maaf, tak seharusnya aku teriak."
Kuperhatian sekelilingku. Syukur tempat ini lengang, tidak banyak yang memerhatikan kami.
"Ya sudahlah, toh semua sudah berlalu." Suaranya terdengar pasrah.
"Aku minta maaf jika aku sudah menyakitimu, kita harus bisa move-on," ucapnya lagi.
"Ya, aku juga minta maaf," aku mengangkat tangan, hendak berjabat tangan.
Ia melihat ke arahku, seolah bingung. "Ya, kita harus bisa move-on," ucapku menjelaskan.
Dia menjabat tanganku.

Mungkin ini yang terbaik. Aku sudah punya seseorang disana yang menungguku pulang.
"Halo, Ra. Kamu bisa menjemputku?" kataku padanya di seberang sana. Mungkin memang dialah cinta sejatiku.

--
 Jakarta, 23 Mei 2012
*I am adalah bagian kedua dari TrilogiXIH.
Berdasarkan KBBI, tri·lo·gi n 1 seri karya sastra yg terdiri atas tiga satuan yg saling berhubungan dan mengembangkan satu tema;  2 tiga hal yg saling bertaut dan saling bergantung

Wednesday, May 9, 2012

Am X

Cuaca sedang bagus. Mendung pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Seperti suasana hatiku yang sedang gelap. Bagus sekali!
Setiap hari melihatnya bersama lelaki lain membuat dadaku sesak. Sial, hari-hariku selalu buruk. Sejak dia hadir kembali di hadapanku. Tanpa ku minta, tanpa ku sadari.
Aku sudah melakukannya. Ya, aku sudah berusaha melupakannya. Nyaris. Nyaris aku benar-benar melupakannya. Tapi, aku sadar sekarang, aku gagal. Aku tidak pernah berhasil melupakannya. Salahkan aku! Maki aku! Tapi aku tak bisa. Apapun sudah kulakukan, tapi tak pernah benar-benar berhasil.

Lihatlah, di pagi yang semendung hatiku, dia bersama lelakinya yang baru, baru saja memasuki kantor. Tertawa, saling bergenggaman tangan, tak ada yang kurang. Hanya aku yang tidak pernah senang.

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan orang yang selalu berada di hadapanku saat ini? Pagi, siang, bahkan di kala sore, ia akan melongokkan kepalanya ke ruangan kerjaku, dan bertanya, “Sudah makan?” atau “Belum mau pulang?”

Ah, ya tentu saja bisa. Pukul kepalaku, agar aku amnesia dan aku melupakannya.

"Kamu sudah makan siang?" suara yang khas menyapaku dari balik pintu. Ya, itu dia, dia yang membuatku tidak bisa hidup dengan tenang. Gadis yang cantik dan memikat hati.
"Sudah," ucapku tidak jujur. Lalu memberikan senyum untuk meyakinkan dia.
"Ya, sayang sekali. Aku ingin mengajakmu makan siang bareng," dia terlihat sedih. Tapi aku sudah terlanjur berbohong.
"Ajak yang lain aja. Kebetulan Maria juga belum makan siang tuh," dagu ku arahkan ke ruangan di sebelah.
"Siapa yang menyebut namaku?" Maria langsung datang, seperti semut yang mencium bau gula.
"Sudah makan siang?" tanya orang yang sama, tapi kali ini bukan ditujukan kepadaku.
"Makan siang bareng yuk," tanpa perlu menjawab, Maria sudah menarik lengan gadis itu pergi.
Fiuh. Aku sedikit lega. Rasanya ga kuat melihat dia yang sudah menjadi milik orang lain berada sangat dekat denganku.
Ah, sepertinya aku harus segera mencari pekerjaan lain.

**

Tidak. Tidak seharusnya aku bersikap pengecut seperti ini. Aku adalah lelaki. Lelaki yang percaya diri. Tak akan kubiarkan aku hidup menjadi seorang pengecut. I can't move on, itu urusan belakangan. Aku senang aku masih bisa melihat gadis itu, walau dia tak melihatku sebagaimana sebelumnya. It doesn't matter. Selagi aku bahagia, kenapa aku harus takut. Paling tidak, menjadi teman adalah saran yang bagus.
Selamat pagi, Dunia.

**

"Sudah makan siang?" suara yang sama.
"Belum," kataku sambil tersenyum. Entah mengapa, hari ini suasana hatiku sedang cerah seperti langit tak pernah mendung.
"Makan bareng yuk," kini tangannya sudah menggenggam lenganku.
Ya Tuhan, gadis ini. Tak sadarkah dia bahwa dia sudah membuatku jatuh cinta padanya seperti dulu?
Oh tidak. Ini tak boleh terjadi. Teman. Ya, hanya sebatas teman. Kapan aku bisa move on?

--
*Am X adalah bagian pertama dari TrilogiXIH.

Friday, April 13, 2012

I don't miss you

"I miss you.." tiba-tiba bibirku berucap tanpa kusadari.
Segenap tubuhku dilingkupi malu yang luar biasa. Rasanya wajahku berubah merah. Dan sebentar lagi aku akan berubah menjadi unta untuk menyembunyikan wajahku.
Aku tidak bisa berpikir bagimana aku bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, pada orang yang bukan siapa-siapaku, yang bahkan sudah menjadi orang asing bagiku.
Aku menyesal kata-kata itu meluncur dengan gesit dari bibirku. Aku juga tidak dapat membayangkan apa yang dipikirkannya saat ini.
Dia tersenyum. Ya Tuhan, jangan membuat dia berbangga hati dengan ucapanku, bisikku di dalam hati.
"Tampaknya kamu sedang galau," ujarnya. Dan aku menjadi sedih sekali, teramat sedihnya hingga aku merasa aku akan jatuh dan menangis tersedu-sedu. Dia sama sekali tidak menyambut rasa kangenku.
Menyakitkan menjadi seseorang yang tidak diinginkan. Menyakitkan ketika menerima penolakan.


Tadi aku sangat tidak ingin dia berbangga hati dengan ucapanku, dan sekarang aku sedih dia mengucapkan hal itu? Sepertinya aku sedang labil, atau aku punya kepribadian ganda? Tidak tidak, aku memang sedang labil.
Ampuni aku.

Ku paksakan bibirku tersenyum. "Aku harus pergi," ucapku lalu berlalu dengan langkah seribu dari tempat itu.
Mungkin semuanya memang harus berlalu. Mungkin aku harus melupakan dia. Tapi, bukankah selama ini aku sudah mencoba? Dan sama sekali tak berhasil? Dan bukankah aku sudah berusaha mengganti tempatnya di hatiku dengan orang lain yang mungkin saja sangat mencintaiku? Apakah aku sama sekali gagal? Atau usahaku sia-sia? Apakah dia yang akhirnya selalu merajai hatiku? Is he the one in my life?

Lalu mengapa rasanya dia tak memiliki rasa yang sama? Bukankah setiap orang memiliki jodoh masing-masing? Dan jikalau dia adalah jodohku, apa mungkin dia adalah jodoh orang lain?

Ah, persetan dengan semuanya. Persetan dengan yang namanya jodoh. Aku hanya ingin bisa lepas darinya, jika memang dia tak ingin bersama denganku. Just it, no more!
Tapi, jika aku boleh mengajukan permintaan, aku ingin dia menginginkanku lebih dari siapa pun di dunia ini. Apa itu permintaan yang sulit?

Look, here I am, looking the man I loved is walking away from my life. It sucks.



--
Dedicated to a 'dae'

Wednesday, March 21, 2012

Monolog galau

Jika kamu bilang kamu akan melupakan kenangan tentang kita, kamu bohong! Karena aku tahu kamu tidak mungkin bisa lupa. karena manusia tidak akan bisa melupakan masa lalunya, kecuali amnesia. Atau kamu mau amnesia dulu?

Apa kamu menyesal telah bertemu denganku? Mungkin kamu akan menjawab iya. Karena aku bisa menduganya dari perlakuanmu terhadapku sekarang.
Tapi aku tidak menyesal telah bertemu denganmu, karena bagiku kamu adalah cermin diriku. Apa yang aku perbuat, aku bisa melihatnya juga dari perbuatanmu. Katanya hukum karma itu ada, dan aku juga percaya akan hal itu.

Aku bilang kamu pendendam, dan ternyata tanpa aku sadari aku juga menjadi seorang pendendam. Entah itu sudah sifat dasarku atau aku tertular olehmu.
Karena itu aku terkadang bertindak kejam, seolah ingin menghukummu.

Terkadang aku merasa kamu egois, walau aku tak memungkiri bahwa aku tidaklah demikian. Seperti: aku selalu melakukan apa yang kamu mau, sementara aku tidak mau melakukannya. Kamu memaksaku dengan caramu sendiri, dan ya kamu berhasil. Aku terpaksa melakukan apa yang kamu minta walau aku tak suka, bahkan aku merasa itu bukanlah diriku sendiri. It's not me! Aku melakukannya karena kamu mau, bukan karena keinginanku sendiri.

Kamu tidak menerima aku apa adanya aku, kamu menerima ada apanya aku. Itu yang bisa ku pikirkan. Kamu membuatku menjadi seseorang yang kamu inginkan, padahal aku tidaklah demikian. Aku adalah diriku sendiri dengan segala keterbatasanku, dengan segala kekuranganku, dan kamu tidak dapat menerimanya.
Well, bukan salahmu ketika kamu mau menerima hal-hal yang sesuai dengan keinginan hatimu. Ini tentangku, yang tidak bisa menjadi seperti yang kamu ingini. Aku bukan robotmu. Aku manusia bebas, bebas bertindak apa saja.

Atau mungkin aku hanya tidak siap dengan hubungan ini? Aku tidak siap menjadi seseorang yang dituntut melakukan ini dan itu?

Ahh, tak ada lagi yang perlu diperbincangkan sebenarnya, toh semuanya sudah berlalu kan ya?
Baiklah, aku ingin tidur saja, agar besok bisa bangun cepat dan melakukan aktifitas lagi.

Nite ^^

Wednesday, March 14, 2012

JUST ANOTHER E-LOVE

Lefteris: Hi, i already book the ticket
Darsih : Ahh, finally. looking forward to meet you soon...

Chat terakhir dengan Lefteris, sebelum ia datang ke Indonesia. 
Enam bulan sudah Darsih berhubungan dengan pria Yunani, yang dikenalnya lewat sebuah website. Perasaan senang bercampur khawatir menghinggapinya menunggu kedatangan Lefteris. Sudah dua laki-laki yang pernah berhubungan dengannya di internet dan berjanji menemuinya tetapi berakhir dengan penipuan. Ia sangat berharap Lefteris adalah nyata, tidak hanya sebuah profil yang dibuat untuk menipunya.

Sebuah pesan singkat dari Lefteris diterimanya ketika menuju airport dari Bogor.
Transit in Malaysia
in few hours will arrived in Jakarta
can't wait to see you.


[Beberapa jam kemudian]

Darsih mengetikkan pesan ke ponsel Lefteris,
Are you landing yet?

[Tidak ada balasan]

Darsih mulai berfikir bahwa Lefteris tidak nyata, ia hanya salah seorang dari profil penipu di website jodoh tersebut.

[Mulai cemas dan kecewa]

TIba-tiba ponselnya berbunyi, pesan singkat dari Lefteris.
Wait for me, there is a problem in immigration

[Akhirnya tida jam penantian berakhir]

Seorang Lelaki muncul dari balik bilik kedatangan, kemerahan dengan bewok tipis keabuan menghiasi wajahnya tak jauh berbeda dari yang terlihat di foto dan webcam.

"Ia nyata, lelaki itu benar-benar disini, menemuiku." Darsih bersorak dalam hati.

Kikuk menerima pelukan dari Lefteris yang kegirangan menemui Darsih. Salah satu akibat perbedaan kultur, tetapi akhirnya mereka bisa mengatasinya beberapa menit kemudian.

Lelaki itu setelah menghabiskan waktu berjam-jam di pesawat ditambah transit masih harus melakukan perjalanan sekitar lima jam ke Sukabumi, belum ditambah macet di jalan raya Bogor. Walaupun Darsih yang menyetir selama perjalanan, tetap saja harus diberi acungan jempol pada lelaki yang sedang membuktikan cintanya itu.

Darsih menginginkan Lefteris bertemu orangtuanya sebelum mereka berdua pergi liburan ke Bali. Adat istiadat ketimuran tetap dipegangnya.

Setelah melewati Jakarta, beristirahatlah di tempat peristirahatan sebelum memasuki Ciawi.

Terjebak macet antrian angkot di Jalan Raya Bogor, Lido, Cigombong, Cibadak  yang lainnya setelah melewati Ciawi-Bogor. ~Long Ride to Sukabumi episode 1  

 Akhirnya tiba di rumah  Darsih.
"This is your house?"
"Yess. What's in your mind?"
"Sweet, I love this."

Darsih senang dengan tanggapan Lefteris.

"This is my mom, and dad," kata Darsih ketika memperkenalkan kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya tidak terlalu banyak komentar mengenai Lefteris, dan mengapa Darsih memilih dia yang berasal dari luar negeri, dunia yang berbeda dengan mereka. Mereka tidak punya pilihan ketika putri mereka satu-satunya sudah memasuki usia yang tidak muda dan masih lajang.

"They're still energic," komentar Lefteris tentang orangtuanya. Darsih merasa Lefteris tahu bagaimana membuatnya merasa senang.

Masa liburan di Bali.
"You're beautiful," puji Lefteris. Dan sebuah kecupan mendarat di dahi Darsih.
Darsih tidak merasa kikuk lagi, dia sudah terbiasa dengan ungkapan sayang dari Lefteris.

Makan malam keempat di Bali.
Kali ini Lefteris sudah berlutut di hadapan Darsih.
"Will you marry me?" Darsih terperangah. Dia tidak menduga Lefteris akan melamarnya, secepat ini.
Tapi, melihat Lefteris yang berlutut di hadapannya ditambah dengan bunga mawar putih di tangan Lefteris dan cincin di tangan yang lain, membuat pertahanan Darsih musnah. Dia mengangguk. Dan langsung tenggelam di pelukan Lefteris. Kini, sebuah kecupan berada di bibirnya.

Hari keenam ketika mereka sedang duduk di beranda hotel.
"When we married, we will stay in Indonesia, right?"
"Don't you want to stay in Greece?"
"Not like that, but I can't leave my parents here alone. They need me here,"
"So, we will take them with us." ucap Lefteris enteng. Darsih merasa salah. Dia tidak mungkin memaksa ibu dan ayahnya ikut ke Yunani, memaksa mereka beradaptasi di negeri orang.

Liburan usai.

Lefteris harus kembali ke negaranya dan meninggalkan Darsih, wanita yang baru ditemuinya walaupun sudah berhubungan lama di internet.

Keduanya memang bahagia tetapi saat-saat seperti ini membuat mereka sangat sedih, bertemu dengan cinta mereka yang telah terpisah sekian waktu karena jarak tetapi harus kembali terpisah dan berhubungan lewat internet lagi.

Di bandara Soekarno Hatta. Mereka berusaha tegar.

"I only able to accompany you until here." ucap Darsih menahan kepedihannya di depan pintu masuk keberangkatan.

"Why? You need to go now? We still have time together." Lefteris menarik tangannya.

"No, cannot! I don't have the ticket."

"Owh, I thought everyone can go until the closes to the airplane."

"No, we can't. Need special permits."

"Ok, wait here. I'll be back!"

Setelah Lefteris selesai check in ia kembali menemui Darsih, keduanya tak rela harus berpisah lagi. Keduanya tetap berusaha menahan air mata mereka.

Akhirnya mereka pergi membeli coffee dan kue, keduanya mencoba mengalihkan agar tidak terbawa sedih dengan mengecek ponsel masing-masing sambil melihat jamnya.

"You have tissue, Darsih?"

Saat itu mata mereka bertatapan dan Darsih mendapati mata lelaki yang baru kopi darat dengannya beberapa minggu, merah dan basah.

Dalam hati Darsih berkata, "Betapa besar cinta lelaki ini kepadaku, ia menangis untukku, tangisan pedih karena takut kehilangan"

Pada saat tatapan mata mereka bertemu, wajahnya terasa panas dan matanya pun mulai basah dan kelopaknya tak bisa lagi menampung air matanya. Mereka berdua menangis dan menyadari bahwa cinta mereka memang nyata, perasaan mereka sama.

Darsih tetap harus melepas Lefteris kembali ke negaranya begitu juga Lefteris dengan berat hati harus pergi meninggalkan wanita yang dicintainya dan berharap agar Tuhan merestui dan melancarkan segalanya agar mereka bisa bersama lagi dalam waktu dekat.

Di pintu check in keberangkatan luar negeri, terjadi lagi adegan Ada Apa dengan Cinta, hanya saja berbeda pemain. Keduanya saling berpelukan dan berciuman tak rela terpisahkan dengan ditonton sekian banyak orang yang sedang lalu lalang di bandara.

--

#20HariNulisDuet With @Victoriadoumana untuk #20HariNulisDuet.

Dipublish disini juga.

Thursday, March 8, 2012

Sekeping Hati

#1
@ririntagalu aku hanya akan diam, membatu, membisu seperti batu, menatapmu dari jauh
@arjuninho10 dan aku akan mendekatimu, tersenyum, menyapamu selayaknya kamu adalah hamparan lautan indah :D

#2
@ririntagalu Aku menatapmu, selalu, dari jarak pandang yang jauh. Membuatmu samar kelihatan. Membuatmu terasa pudar.
@arjuninho10 meski saat itu malam sedang terjaga, namun aku dapat melihat wajahmu dengan jelas,seperti bercahaya

#3
@ririntagalu aku masih diam membatu, menatapmu yang tidak tahu malu
@arjuninho10 kupasangkan kalung bermata hati itu di lehermu..kaupun tampak malu malu

#4
@ririntagalu kalung bermata hati, setengah hati seperti hatiku tanpa hatimu.
@arjuninho10  karna kalung itu dicipta bermata dua, masing masing berbentuk setengah hati yg akan saling melengkapi.seperti hatiku dan hatimu

#5
@ririntagalu akankah itu terjadi, hatiku dan hatimu bersatu - saling melengkapi, jika ku tahu hatimu tidak punya ruang untukku, untuk menjaga hatiku di hatimu?
@arjuninho10 memang tak ada ruang lg di hatiku, karena keadaannya telah terkoyak. dan hanya hatimu yang dapat merajutnya kembali

#6
@ririntagalu menantimu bak menanti hujan di musim panas, mustahil. tapi tetap kulakukan. aku menanti hatiku yang akan kamu bawa pulang.

#7
@ririntagalu merajut hatimu, itu yang selama ini kulakukan. aku mencoba sampai hampir mati, tapi tak kutemukan hasilnya, bahkan di matamu, masih ada dia.

#8
@ririntagalu kenyataan tak sesuai asaku. dia pergi tanpa terduga, bahkan tanpa pamit pada hatiku.

#9
@ririntagalu dia telah pergi, bersama sekeping hatiku


Tulisan-tulisan di atas adalah twit-twit dari @ririntagalu dan @arjuninho10.
Terjadi tanpa disengaja. Dan aku menyimpannya. Untuk ku tulis disini, untuk dibaca olehmu.

Thursday, February 23, 2012

I find someone better than you

Kemarin rasanya aku masih menatapmu disini. Kemarin tepat pukul 5 sore sebelum matahari terbenam, aku masih melihat senyum yang tak pernah jenuh kulihat. Masih seperti ada bayangmu dan suara gelak tawa ketika kamu mengejekku "sibuntelan" karena badanku sedikit lebih berisi dari yang sebelumnya. Hari Valentine kemarin aku masih mendapat boneka Angry Bird kesukaanku darimu. Disana, terselip kartu ucapan "Happy valentine day sweet Djie". Entah mengapa aku mengartikannya berbeda, karena kita tak pernah membicarakan kesepakatan apapun tentang perasaan kita.

Tadi malam, semua terasa sangat singkat. Kamu mengajakku bertemu denganmu disini, di tempat kita sering berteriak, mengalahkan deru ombak yg menyapu batu karang. Tapi aku tertegun, saat kamu membawa seseorang di belakangmu. Dengan senyum riang kamu mengenalkannya padaku.
"Djie, ini Anita teman kuliah yang ingin kukenalkan padamu. Sepertinya kalian serasi. Jadikan dia teman spesialmu."
Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi aku hanya diam. Aku menyodorkan tanganku untuk berkenalan dengannya, kamu pun tersenyum. Dan ketika kami mulai berbicara satu sama lain, kamu malah pergi meninggalkan kami berdua.

Apa yang kupikirkan? Dan apa yang kamu pikirkan? Setahuku, aku menginginkanmu lebih dari teman biasa, walau aku takut untuk memulainya. Mengapa kamu harus bersusah-susah mengalihkan rasaku untukmu kepada dia?
Ahh, aku semakin bingung setelah aku tiba di rumah, aku mendapat pesan singkat darimu.
"Djie, maafkan aku..."
Apa artinya itu? Bisakah kamu memberi sedikit saja penjelasan tentang itu?

Hari ini aku sedang menunggumu disini, entah kamu mau datang atau tidak. Aku masih menunggumu untuk meminta penjelasan darimu? Apa perlu aku harus meneguhkan hatiku padamu atau seriuskah kau dengan apa yang baru saja kau lakukan?

Aku masih menunggumu ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan berkas-berkas kuning kemerahan di ujung hariku. Aku berharap engkau mau datang, membawa cerita-cerita yang aku butuhkan, penjelasan-penjelasan dari setiap pertanyaan yang ada di kepalaku.

Aku masih menunggu ketika kuning kemerahan berganti menjadi abu-abu dan engkau masih tak kunjung kelihatan.

Ku lihat di kejauhan sesosok gadis cantik. Aku berharap itu adalah kamu yang selalu menarik. Tapi harapanku buyar ketika sosok itu mendekat, ku dapati wajah seorang gadis yang bukan kamu, seorang Anita.

Aku masih tidak mengerti. Pertama kamu mengenalkan gadis asing kepadaku. Lalu, kamu tidak ingin bertemu denganku, malah membawa gadis asing itu menemaniku disini? Aku semakin bingung bagaimana pola pikirmu.

Gadis itu tersenyum. Tentu aku tidak ingin menyakiti hatinya, hati siapapun. Aku balas tersenyum.
"Kata Nea kamu menungguku disini. Ada apa?" suaranya yang lembut menyapaku. Aku terpana. Bukan karena senyumnya, bukan juga karena suaranya yang lembut, terlebih karena kata-katanya, kamu menungguku'. Sejak kapan aku bilang aku menunggu seorang Anita? Tidak pernah! Tak pernah sekalipun. Aku hanya menunggu seorang Nea, hanya kamu.

Tapi aku tak bisa mengatakan hal itu langsung kepada gadis yang kini ada di hadapanku. Sudah ku katakan bukan bahwa aku tidak ingin menyakiti siapapun, ingat?

"Aku ingin berjalan-jalan denganmu.." akhirnya kata itu yang terucap.
Ku ajak dia berjalan-jalan di pantai yang basah dan berpasir, seperti yang sering kita lakukan dulu. Ternyata Anita gadis yang manis, juga menarik. Ceritaku dan ceritanya nyambung seperti teman lama. Aku terpesona.


Jika memang kamu bahagia melihat aku bersanding dengan Anita, aku akan membuatmu bahagia, Nea. Aku akan mencoba buka hatiku untuk seorang Anita, yang dulunya asing kini karib bagiku. Jika kamu memang berniat menutup pintu hatimu untukku, tidak apa, aku akan mengetuk pintu lain yang kamu sodorkan padaku.

**

"Terima kasih, Nita," ucapku. Kini jemarinya ada di dalam jemariku.
"Terima kasih juga Sayang. Andai Nea masih ada .." ucapan Anita menggantung di udara. Aku mengerti.
Ku tatap pusara di hadapanku, basah, bertuliskan Nea.



Tema: Perpindahan; pindah
Nulis Duet dengan @jusnitagaol

Thursday, February 16, 2012

There is always new hope

Aku menutup pintu perlahan, tak ingin ibu terbangun dari tidurnya. Sudah hampir menjelang subuh dan mungkin sebentar lagi pun matahari akan buru-buru muncul. Aku kembali mendengar suara batuk ibu untuk kesekian kalinya. Sepanjang malam aku menjaga dan menemaninya sekarang mataku terasa sangat perih, ini sudah hampir 2 bulan aku tak lagi bisa menikmati tidur malam karena harus menjaga ibu.

Aku hanya punya ibu, sejak ayah meninggal 2 tahun lalu, sementara ibu kadang-kadang merasa tak punya siapa-siapa sejak ayah tak ada, merasa tak ingin melanjutkan hidup dan ingin menyusul ayah katanya beulang kali. Aku tau aku takkan pernah menggantikan posisi ayah disampingnya, takkan bisa mengerti persis apa yang dirasakannya, aku tau aku takkan bisa memberikan apa yang pernah didapatkannya dari ayah. Tapi sesekali aku juga ingin dia tau aku masih membutuhkan perhatian seorang ibu. Ada saatnya aku merasa ibu tak adil padaku, tak seharusnya dia menempatkanku pada posisi ini, aku juga tak ingin ayah pergi meninggalkan kami. Tapi seperti janjiku pada almarhum ayah aku harus tetap menjaga ibu.


Kucoba sejenak membaringkan tubuhku di sofa, berharap aku bisa istirahat paling tidak satu jam saja.

Glenn, seorang anak berumur 4 tahun membawakanku lukisan yang dibuatnya sendiri. Aku tak tau tepatnya ini lukisan apa tapi sepertinya dia sedang mencoba melukis sebuah rumah dengan pohon besar di halamannya.

"Ini rumah buat ibu…" Glenn memberikan lukisannya padaku, senyumnya mengisyaratkan kebahagiaan yang sangat besar.
"Terimakasih sayang," kucium keningnya dan kubelai-belai rambutnya. Dia salah satu siswa dari kelas toodler yang paling dekat denganku.
"Sinta!" aku terkejut seseorang menepuk punggungku sangat keras.
Aku terkejut dan tersadar barusan hanyalah mimpi. Jarum pendek di jam dinding menunjukkan angka 7. Sontak aku berdiri dan berlari ke kamar mandi.

Tidak!! Tidak!! Jangan lagi kumohon… aku berharap dalam hati.
Seminggu belakangan ini aku selalu terlambat dan baru kemarin aku dapat peringatan dari kepala sekolah tempatku mengajar. Dalam waktu 15 menit aku sudah ada di halte untuk menunggu angkutan umum. Syukurlah mini bus yang kutunggu segera datang. Aku tak tahu ini hanya perasaanku saja atau tidak tapi aku merasa perjalanan ini menjadi sangat lama dan panjang. Aku pasti akan terlambat, kusandarkan tubuhku dan  kurenungi nasibku yang sudah sangat kacau hampir 2 tahun ini. Kapan ini semua akan berakhir Tuhan?

Akhirnya, kepala sekolah memarahi aku habis-habisan. Seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik bagi anak-anak, bukan malah memberi contoh yang buruk, katanya tepat di wajahku. Aku tahu aku salah, aku menyesal, dan aku hanya bisa menunduk di depan Bapak Kepala Sekolah.
"Tidak ada lain kali lagi!" tegas Bapak Kepsek.
Aku hanya mampu mengangguk mengiyakan.
Aku terduduk di bangkuku di ruang guru. Menunduk. Menghela di nafasku. Nasibku begitu buruk. Hanya itu yang ada di pikiranku yang mumet.
"Berliburlah," sebuah suara yang tak asing mengusikku, suara Rena, teman seperjuangan sejak dulu.
"Berlibur?" tanyaku tanpa perlu mengangkat kepala.
"Yah, aku pikir kamu butuh sesuatu yang dapat menyegarkan kepalamu," ucapnya langsung tepat pada sasaran.
"Tidak mungkin, Na. Aku tidak ingin meninggalkan ibuku sendirian," kataku, kali ini aku mengangkat kepala, menatap Rena seolah meminta pendapat lebih lanjut.
"Bawalah ibu bersamamu, mungkin itu ajang untuk kalian lebih dekat lagi seperti dulu."
Rena sudah tahu banyak, bahkan sangat banyak. Tidak ada yang tidak diketahui olehnya tentangku.
Aku menggeleng. "Aku tak tahu apakah ibu mau.."
"Bagaimana kamu bisa tahu teh itu manis kalau kamu tidak mencicipinya?" perkataanku dibalas dengan sebuah pertanyaan.
Baiklah, akan ku coba, bisikku dalam hati.

**

"Ibu.." seruku di sisi tempat tidurnya.
Dia tidak menjawabku, hanya menatap ke dalam mataku, dan memberikan senyum yang tidak lebar, tidak sehangat dulu.
"Bagaimana jika kita mengunjungi kampung halaman ayah?" ibuku tersentak. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan bercampur kesedihan, keduanya terlihat samar, aku tak tahu pasti. Tidak lama kemudian, ibu mengangguk. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat semangat ibu yang sudah kandas tak bersisa sedikit pun.

Sesampainya di rumah peninggalan almarhum kakek dan nenek, ku lihat ibu rajin membersihkan rumah, merapikan tata letak rumah. Entah apa yang membuat ibu seperti itu, tetapi aku senang. Ku lihat sedikit keceriaan terpancar di wajahnya yang tidak muda lagi.

Aku baru saja pulang dari pasar, membeli perlengkapan dapur. Aku tidak menemukan sosok ibu di ruang tamu, tidak juga di dapur. Aku mencari di kamar tamu tempat ibu tidur, juga tidak ada. Kemana ibu pergi?
"Ibu .." panggilku tanpa ada sahutan.
Aku melangkah ke dalam kamar yang setengah terbuka. Ku lihat ibu sedang melihat foto-foto lama. Ku perhatikan kamar yang tidak terlalu besar. Sebuah bingkai berisi foto lama sepasang kekasih yang masih muda terpampang di dinding. Setelah ku telaah, aku sadar ini adalah kamar ayahku dulu ketika ia belum menikah dengan ibu.

"Ibu," kataku.
Ibu sedikit terkejut mendengar suaraku. Kulihat ibuku mengeluarkan air mata. Pertama hanya setetes, lalu ibu mulai terisak. Aku heran. Aku panik.
"Kenapa, Bu?" tanyaku dan menggenggam kedua tangannya.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu salah membiarkanmu berjuang sendiri. Ibu egois membiarkanmu hidup sendiri selama ini. Ibu bukanlah ibu yang baik," kali ini Ibu sudah memelukku dengan erat seolah ia tak akan melepaskanku lagi. Aku terhenyak.
"Maafkan Ibu, Sinta!" ibuku masih terisak.
Tanpa kusadari lagi, air mata sudah mengalir deras di pipi ku. Aku tak kuasa melihat ibuku menangis. Aku tak kuasa. Ku balas pelukan ibu seerat yang aku bisa. Aku ingin ibu bisa seperti dulu lagi, hatiku berteriak.

Jadilah kami bertangis-tangisan.
"Tidak apa, Bu," kataku ketika ibu sudah tenang.
Ku lepaskan pelukannya, dan ku tatap wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Ada secercah harapan ku lihat di kedua matanya.
"Maukah ibu memulai semuanya dari awal lagi? Berdua bersamaku?" tanyaku menatap ke dalam mata ibu.
"Tentu, Sinta. Tentu ibu mau."
Aku tersenyum. Akhirnya, inilah wajah ibuku yang sebenarnya, yang semangat, selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, aku.


Nulis duet dengan tema : Memulai
Oleh @da_manique dan @ririntagalu
Balige dan Jakarta

Wednesday, February 15, 2012

Untuk Cinta

Aku berjalan pelan, bahkan sangat pelan. Rasanya punggungku sakit lagi. Ada rasa kaku, ngilu yang membeku. Sudah beberapa hari ini aku merasakannya, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Mungkin itu hanya faktor usiaku yang tidak muda lagi. Empat puluh tujuh tahun, bukan usia yang muda, bukan? Bahkan anakku yang paling besar sudah bisa menikah, walau ia belum mau, katanya masih ingin menikmati masa muda. Aku mengikuti apa kata dia, toh hidupnya adalah kepunyaan dia, aku hanya seorang mama yang ingin anak-anaknya bahagia.

Langkahku berhenti pada tumpukan pakaian di dalam keranjang, yang selalu penuh dengan pakaian kotor suami dan anak-anakku. Aku memilih pakaian-pakaian yang bisa digabung untuk dicuci dan memisahkan pakaian yang harus dicuci secara terpisah.

Aku seorang wanita karier yang sukses, tapi itu dulu. Aku harus berhenti karena kehamilanku yang pertama. Suamiku tidak mau aku harus mempertaruhkan kehamilanku karena beban pekerjaan di pundakku. Akhirnya aku mengalah, aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang selalu aku banggakan. Dan jadilah aku seperti sekarang ini, sendirian di rumah, mengurus semua keperluan rumah, dan ditinggalkan. Anak-anak pergi sekolah, kuliah, dan suamiku pergi kerja. Well, aku sudah terbiasa seperti ini, dan aku tidak keberatan. Aku masih bisa menyibukkan diri dengan pergi berbelanja, bertemu dengan teman-teman ibu rumah tangga, dan juga menjahit atau menyulam. Itu hobi yang selalu menemani hari-hariku.

Kali ini aku sedang memeriksa jas suamiku, meraba-raba kantongnya mana tahu ada kertas penting yang tertinggal. Sebuah note kecil berwarna kuning.
20 Januari 2012
Hotel Indonesia
Jam 6 tepat

Begitu kira-kira isinya. Berarti ini pesan untuk hari ini. Mungkin sebuah meeting. Dan mungkin saja meeting penting. Apa sebaiknya aku telepon saja suamiku? Sebelum aku berlama-lama, aku mengambil telepon genggam dan menelepon suamiku. Memastikan pesan ini sampai padanya.
"Halo," sebuah suara wanita asing menjawab telepon suamiku.
Aku sedikit tersentak. Sudah pukul lima sore, suamiku sudah pulang kantor pastinya. Mengapa ada suara wanita? Tidak, tidak, aku harus pikir positif, aku percaya pada suamiku, dia tidak akan mengkhianati kepercayaanku.
"Halo, ini dengan siapa ya?" tanyaku lembut.
"Ini dengan siapa?" suara itu bertanya balik.
"Ini istri dari Pak Bayu," jawabku pasti, tegas.
"Tuut tuttt."
Teleponnya sudah diputus, begitu saja? Aku tekan nomor ponsel suamiku lagi, aku takut aku tadi salah tekan nomor. Semoga kali ini suamiku yang mengangkat.
Aku mendengar nada tunggu, berulang kali. Apa maksudnya ini? Aku percaya pada suamiku, aku tidak yakin dia mengkhianati kepercayaanku. Dia sangat mencintaiku, aku tahu dengan pasti.

Debaran di dadaku tak lagi dapat kujaga agar tetap normal. Semua pasti tidak seperti yang kukuatirkan. 22 tahun menikah lebih dari sekedar waktu yang panjang untuk satu kata percaya.
Kuhela napas panjang dan kucoba mengingat-ingat sedang apa aku tadi. Kulanjutkan dengan memasukkan pakaian yang sudah terpisah ke dalam mesin cuci. Tapi pikiranku entah kemana. Melayang diantara no handphone suamiku dan suara wanita yang mengangkat telephonenya tadi. Ahhh…

Tanpa sadar aku meninggalkan mesin cuci yang sudah sempat dalam posisi ON. Kupastikan alamat yang kutemukan tadi. Entah suara dari mana menuntunku untuk pergi ke alamat yang tertera di note tadi. Aku mengganti pakaian seadanya dan memberhentikan taxi yang lewat dari depan rumah.
"Hotel Indonesia mas," kataku, tak ada sahutan dari depan. Tapi aku tau kemana arah taxi ini melaju. Menuju jalan Thamrin.
Pikiranku bermain dalam memori beberapa bulan ini. Mas Bayu tak seperti biasa. Tak sehangat sebelumnya. Memakaikan dasi adalah tugas yang harus kulakukan untuknya setiap pagi, itu sebelum beberapa bulan yang lalu. Entah bagaimana awalnya hingga akupun tak lagi merasa kehilangan kebiasaan itu.
Sekali sebulan kami punya jadwal makan malam berdua di tempat-tempat romantis. Sekarang tak lagi. Mungkin karena pekerjaan mas Bayu yang juga mulai bertambah, sejak dia dipromosikan ke bagian pemasaran.
Tapi tak hanya makan malam berdua yang sudah terlewatkan, sarapan pagi bersama anak-anak pun mas Bayu adakalanya tak lagi punya waktu. Kami juga tak lagi pernah berbagi cerita tentang satu hari yang kami lewati saat akan menjelang tidur. Diam telah menjadi bahasa yang kerap kudengar darinya.
Belakangan saat terbangun tengah malam aku sering memergokinya sedang memandangiku aneh. Pernah sekali dia berkata "aku kangen"
Bukankah aku selalu ada di sampingnya.

Aku pikir itu bagian dari gaya baru mas Bayu. Sekarang aku merasa itu bukan. Air mataku jatuh tanpa permisi.
"Mas Bay….ada apa?" bisikku tanpa sadar
"Bu, kita sudah sampai…" supir taxi memandangku dari kaca depan dengan heran.
"Oh iya mas…" buru-buru aku hapus air mataku. "Tunggu aja mas, gapapa argonya tetap jalan.."
Kupandangi gerbang masuk hotel yang kutuju.
Jam 6 kurang beberapa menit. Sepuluh, lima belas dan akhirnya satu jam sudah aku menunggu. Tak ada sesuatupun terjadi, aku bahkan tak berani mencoba keluar dari taxi.
Supir taxi yang sedari tadi dengan sabar menunggupun sekarang sudah mulai kelihatan kuatir dengan sikapku.
"Kita balik ke tempat tadi aja mas…" aku harus pulang. Tak ingin anak-anakku mendapatiku tak ada di rumah. Lagipun kurasa aku lebih baik bertanya langsung pada suamiku tentang banyaknya pertanyaan dan perubahan yang ada padanya.
Sesampainya di rumah, Grace dan Dimas telah menantikanku dengan wajah penuh tanya. Aku harus bisa menjaga semuanya tetap baik. Senyum terbaik kurasa bisa menutupi kegusaranku.
"Mama dari rumah tante Silvy, kena macet dan akhirnya pulang kelamaan," aku tak pandai berbohong dan itu adalah usaha yang terbaik bisa kulakukan.
"Ma…mama baik-baik aja kan? Tadi aku tanya tante Silvy dan katanya mama ga ke sana. Handphone mama juga ga dibawa, mesin cuci ditinggalin seperti itu," Grace menggenggam tanganku lembut, dia tau aku sedang berusaha berbohong. Aku harus bagaimana? Tubuhku bergetar, pandanganku mulai nanar.
"Mama pengen istirahat" aku hanya bisa menghindar. Kutinggalkan anak-anakku dengan kekuatiran mereka. Aku masuk ke kamar dan  membaringkan tubuhkan. Air mataku mengalir deras.
Mas Bayu adakah satu-satunya pria yang paling kupercaya, dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah bagian dari jiwaku, dia adalah sandaranku sebagai seorang wanita. Mas Bayu adalah kekuatan yang sekaligus juga adalah kelemahanku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika kecurigaanku berarti sesuatu yang buruk. Suara wanita di telephone tadi kembali terngiang di telingaku, aku mulai menghubung-hubungkan rentetan kejadian beberapa bulan ini.

"Vin…." Mas Bayu sudah ada di sampingku, dia menyentuh punggungku lembut. "Vina…kamu kenapa?" suara lembutnya menambah kepiluanku.
Mas Bayu sudah ada dihadapanku, memandangku dengan tatapannya yang dulu membuatku tak bisa berkata "tidak" saat dia melamarku.
"Kita baik-baik aja kan mas…" aku berusaha tenang. Sangat berusaha.
"Kenapa kamu bicara seperti itu Vin?
"Aku merasa ada sesuatu yang salah diantara kita… maafkan aku, tapi aku mulai meragukanmu. Dan aku merasa sedang menyakitimu dan menyakiti diri sendiri saat aku tak bisa bertahan untuk tetap mempercayaimu Mas.."
Mas Bayu memelukku erat, sangat erat. Aku tak tau apa arti pelukannya. Lembut namun jelas dia mengucapkan kata maaf di telingaku. Tapi aku juga tak tau untuk apa maaf itu.
"Aku mencintaimu Vina… sangat mencintaimu. Dan itu tidak akan berubah," perlahan mas Bayu melepaskan pelukannya. Dia menggenggam tanganku dan menuntunku keluar dari kamar, menuju meja makan. Grace dan Dimas menantikan kami dengan senyuman yang hangat.
Semua orang, namun tidak termasuk diriku berusaha sedang menikmati makan malam ini. Apakah hanya aku yang sedang merasa ada sesuatu diantara kami? Ataukah hanya aku yang tidak pandai berpura-pura?
Dimas seperti biasa menceritakan kisah-kisah lucu di kampusnya, dan Grace mulai protes dengan orang-orang di kantornya yang berusaha menjodoh-jodohkannya dengan anak baru yang bulan lalu dimutasi ke kantor mereka.
Sesekali aku memaksakan diri tersenyum, tak ingin rasanya merusak suasana meja makan ini. Mas bayu, dia seolah-olah baru saja kembali menjadi Mas Bayu yang dulu. Dia adalah ayah yang terbaik buat anak-anakku dan saat saat seperti ini aku sangat bisa melihat itu, dia bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi sahabat dan orang tua yang mendengarkan.
***
Sebelas bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Dan baru kemarin kami mengantarkan mas Bayu ke peristirahatan terakhirnya. Kanker hati telah memaksanya untuk berhenti berjuang hidup.
Bulan-bulan terakhirku bersamanya adalah bulan-bulan dimana aku harus melihatnya harus sangat menderita menjalani hidup.
Saat dia mendengar diagnosa dokter, maka anak-anak kami adalah orang-orang yang pertama kali diberitahunya, karna katanya anak-anak akan tetap bisa menjagaku. Mas Bayu telah merencanakan semuanya dan anak-anak hanya bisa mendukungnya. Pada akhirnya aku juga tau Grace tak ingin segera menikah adalah untuk tetap bisa mendampingiku disaat-saat akhir hidup ayahnya.

Maaf telah dengan sengaja menyakitimu Vin… maaf telah membuatmu harus belajar kehilangan aku bahkan saat aku masih ada di sampingmu.
Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan cukup tangguh saat kehilanganku.
Aku pernah berjanji di depan altar untuk bersamamu saat suka dan duka, saat sakit maupun sehat. Pernah berjanji untuk menjaga dan tetap mencintaimu.
Namun aku tak ingin membuatmu terluka dengan semua kebersamaan kita. Aku ingin kau juga akan tetap bahagia meski tanpaku. Aku ingin tetap mencintaimu seperti janjiku, hanya saja dengan cara yang berbeda.
Kebahagiaanmu adalah janjiku, menyakitimu sesaat mungkin hanya salah satu cara untuk tetap menjagamu.
Aku tak ingin kau bersedih jika kelak tiap pagi tak lagi harus memasangkan dasi buatku, tak ingin engkau merasa kesepian jika malam tak lagi punya teman berbagi cerita tentang satu hari yang terjadi, tak ingin kau bersedih jika kelak aku tak lagi bisa ada untukmu. Aku ingin tetap menjagamu seperti janjiku tapi bukan  dengan cara yang kau pikirkan.
Aku ingin menggenapi janji yang pernah kubuat meski tak lagi ada untukmu. Aku ingin engkau tetap bahagia. Kau telah berkorban banyak untukku… Aku telah mengambil terlalu banyak dari dirimu Vin… waktu dan karirmu telah kau korbankan untuk mencintaiku. Untuk keluarga kita.
Maafkan aku, tetaplah bahagia meski aku tak ada. Aku takkan memintamu tetap bahagia demi aku, sebab akan terlalu egois aku karna itu, tapi bahagialah demi cinta kita. Demi janji yang pernah kita buat. Aku telah berusaha menggenapi janjiku.

Cintamu
Bayu 

Bahkan sampai dia tak adapun, dia tetap menjadi pria yang terbaik dan paling mencintaiku. Aku akan tetap bahagia demi cinta kami. Aku berjanji!


Nulis Duet dengan tema : Menggenapi!
oleh @ririntagalu dan @da_manique
Jakarta dan Balige