Ririn's Page

Saturday, September 23, 2017

ilusi

18 Juli 2017

Bagaimana jika kukatakan kepadamu bahwa cinta itu hanya permainan di dalam kepalamu yang kecil?
Kau senyum-senyum sendiri, pikiranmu menari-nari karena otakmu sedang membuat hatimu bersuka cita disebabkan dia yang kau tahu kau puja.
Kemudian dalam beberapa jam, kau akan dibuat bermuram durja disebabkan oleh hal yang sama.
Bukankah itu artinya otakmu membuatmu melakukan hal-hal yang menjijikkan? Kau jatuh cinta katamu, kau patah hati katamu, tapi itu semua hanyalah permainan kecil di dalam kepalamu.
Kau tidak sungguh-sungguh jatuh cinta, kau tidak sungguh-sungguh berpatah hati, itu semua hanya ilusi.


-- Ririn H. 

Tuesday, February 14, 2017

jatuh kemudian cinta

Benn menyesap kopinya yang masih mengepul. Nikmat yang ia rasakan membuat sebuah senyum tersungging di bibirnya. Pikirannya menerawang ke beberapa tahun silam, ke waktu ia masih muda, masih penuh gairah.

......

Gadis itu berjalan dengan perlahan seolah takut terjatuh di tangga yang sedikit curam. Sepatu yang ia kenakan tidak cocok digunakan untuk tangga yang curam nan licin. Ia menampilkan senyum di bibirnya pertanda tidak ada kekesalan di sana.
"Halo," sapa seseorang di bawah tangga. Senyum gadis itu semakin lebar, menampilkan giginya yang berbaris putih.
"Haloo.." balasnya dengan riang.
"Gimana?  Sukses?" tanya seseorang itu lagi.
"Aaarrgh," teriaknya. "Aku diterimaaaaa.."
"Yeayyy..!!!!" Mereka berdua melompat-lompat kegirangan.
"Apa ku bilang, pasti diterima."
"Makan yuk, aku traktir."
"Yukk."
Dan mereka menuju kantin di gedung itu.

Tiba-tiba, Lena menjadi kaku dan berbalik badan.
"Kenapa, Len?" Amy memandang ke arah Lena memandang sebelumnya.
"Gila, lu masih aja begitu? Ini uda sekian tahun berlalu, Len, harusnya uda bisa move on.
"My, kita cari tempat lain aja yuk."
Telat, Ben sudah melangkah ke arah mereka.
Amy yang tidak malu-malu, memberi sapaan padanya,  "Hai, Ben.."
Ben tampak terkejut, kemudian memberi senyum. "Hai.. Mmh,.. " dia mencoba mengingat siapa yg menyapanya. Tapi Amy dan Lena tahu, Ben tidak pernah mengingat nama mereka, bahkan tidak pernah tahu.
"Temennya Lena ya?" Amy terpana, bagaimana bisa ia mengetahui nama Lena? Lena yg merasa namanya disebut refleks berbalik. Ia pun sama terkejutnya dengan Amy.
"Eh, Lena?" giliran Ben yg kaget ketika ia sadar Lena ada di hadapannya.
Perasaan canggung ada di antara mereka.
"Aku Amy, " ucap Amy agar mencairkan suasana. "Lagi apa di sini?"
"Mau makan. Kalau kalian? "
"Pas banget, kita juga mau makan. Makan bareng aja.. "
Dalam hati Lena, ini Amy kurang asam bener, uda tau aku grogian, tetap aja dilanjut.
"Oh, ide yang bagus, mau makan di mana?" Benn mencari-cari tempat makan yang enak.
Lena dan Amy saling pandang, Amy tersenyum senang, alis matanya naik turun serasa berkata: 'ini kesempatan emas, take it'.
"Gimana kalau di situ aja," Benn menunjuk ke suatu tempat. Amy dan Lena segera menggangguk tanpa perlu memastikan tempat itu menarik atau tidak.


######

Itulah saat mereka bertukar nomor kontak. Dan hari-hari berikutnya, Ben selalu mengusahakan untuk mereka berdua bisa makan siang bersama. Lena senang, walau dia berusaha mati-matian bersikap biasa aja. Lambat laun tapi pasti, ia beneran bisa bersikap biasa di hadapan Ben.
Kedekatan mereka berlanjut. Kini mereka sudah biasa menghabiskan waktu berdua. #ea
Dan terjalin benang berwarna merah muda di antara mereka.

######

Benn memberikan sekuntum bunga lili ke Lena,  "Happy Valentine, Lena Sayang."
"Wow, makasih, Sayang, happy valentine juga." ujar Lena tanpa memberikan apa-apa.
Ini serius ga ada apa2 buat aku?
Lena tertawa.
Kemudian ia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah bingkisan.
"Apa ini?"
"Bukalah."
Dengan senyum tak lepas dari bibirnya, Ben membukanya.
Dan dia tertawa. Tawa bahagia.
"Basket ball?"
"Ya, aku tau kau suka basket."
"But it was a long time ago. "
"Not too long. You can play again."
Ben tersenyum tipis, "baiklah, Sayang, untukmu aku akan bermain lagi."
Ben melempar bola itu dan menangkapnya kembali.
"Ada yang ingin kukatakan padamu."
"Apa?" Lena penasaran.
"Kau tahu, aku sudah suka padamu sejak dulu, sejak masih kuliah."
Lena menatapnya tak percaya.
"Bagaimana mungkin?"
"Waktu itu aku memang pengecut, tak berani mendekat. Kata teman-teman, kau pasti sudah ada yang punya. Perempuan secantik kamu. Dan aku tak punya keberanian bertanya lebih detil. " Lena tersanjung.
"Kau menarik perhatianku, sejak aku duduk di sebelahmu karena salah mengira bahwa kau adalah temanku. Saat itu senyummu luar biasa. Aku terpana. Dan kemudian kau selalu hadir, ketika aku di warung, di ruang kelas, bahkan ketika pertandingan basket. Seharusnya aku mengambil kesempatan itu, tapi aku tak berani.
'Bodoh sekali' pikir Lena.
"Tapi tak apa, kita emang berjodoh, tidak dulu tapi saat ini. Dan aku tidak akan membiarkanmu lolos dari hadapanku lagi," dipegangnya tangan Lena seolah dia tak akan pernah melepasnya lagi.
"Iya,  Sayang, terima kasih."

............

"Senyum-senyum sendiri kenapa, Pah?" Benn tersadar ketika bahunya dicolek.
"Teringat sesuatu, Mah."
"Apa? Bagi-bagi dong."
Tapi Ben tidak menjawab, ia menggenggam tangan istrinya dan berkata, "aku tidak akan membiarkanmu lolos dari hadapanku lagi."
Istrinya tersipu, pipinya bersemu merah muda.



###### Sekian ######




Happy Valentine!
14 Feb 2017

Wednesday, February 1, 2017

jatuh cinta ya harus jatuh untuk cinta

"Jadi, kau menolakku?"
Lena menatap lelaki di hadapannya. "Ya."
"Kenapa?"
"Aku sudah mengganggapmu sebagai abangku sendiri, Rendi."
Basi!

Seharusnya Lena bisa jujur kepada Rendi maupun ke dirinya sendiri; bahwa ia tidak merasakan seperti apa yang dirasakan Rendi atau yang dirasakan oleh orang lain di sekelilingnya. Lena tidak pernah merasakan perasaan spesial di hatinya, perasaan menggelitik di dadanya ketika berhadapan dengan orang lain, atau grogi ketika menuangkan air ke gelas cowo mana saja.
Ya, ia ingat perasaan yang paling menggoncangnya adalah ketika ia presentasi tugas ilmiah di depan Prof. Ngi yang terkenal super duper ganas seperti naga yang lagi PMS - padahal profesor tersebut adalah seorang laki-laki. Selain itu, dia tidak pernah merasakannya lagi. Mungkin ia memang termasuk ke golongan manusia yang tidak dapat merasakan perasaan semacam suka atau cinta (*lihat catatan kaki). Tapi apa benar? Tiada yang tahu, bahkan Lena sendiri pun tidak.



######




Lena terpana, seorang lelaki tampan duduk di sebelahnya. Lelaki itu melihat ke arahnya dan tersadar sesuatu.
"Upps, maaf, aku kira kau temanku," dan tanpa menunggu jawaban ia sudah berlalu.
Lena masih tak percaya lelaki itu berbicara kepadanya. Ia memukul pahanya untuk yakin bahwa itu benar terjadi adanya.

Siapa pun yang berada di posisi Lena saat ini pasti akan sangat senang dengan perlakuan dari lelaki itu. Pasalnya, dia adalah lelaki yang paling dipuja di seantero kampus. Nama kerennnya Benn. Lena tak tahu nama sebenarnya.

Awalnya Lena biasa saja, tidak ada yang spesial dari seorang Benn. Lena tidak seperti teman-temannya yang heboh jika Benn lewat di hadapan mereka.
Tapi Lena berubah sejak negara api menyerang. Eh, maksudnya sejak peristiwa itu, Lena menjadi sering curi-curi pandang ke Benn, pasang senyum semanis mungkin, sembari berusaha mendapatkan perhatian darinya, walaupun hati kecilnya berkata 'tidak mungkin, Len' atau 'jangan bikin malu, Len'. Dan Benn pun lewat begitu saja.

Lena tidak bisa diam saja, ia harus mengambil tindakan. Lena mencari-cari cara. Lena mencari tahu aktivitas Ben sehari-hari. Dan syukurnya, semua orang tahu Benn sering nongkrong di warung Ka Roby setiap sore sehabis kuliah.

"Lapar, gak, My?"
"Enggak," Amy menjawab dengan cepat.
"Aku lapar, makan dulu yok."
"Makan di mana?"
"Di tempat Ka Roby."
Amy sempat berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Yok, sekarang."

Dan Lena senang, ia melihat Benn bersama teman-temannya tertawa-tawa gak jelas. Satu tujuannya tercapai, hari itu ia puas hanya dengan melihat Benn.

Esoknya, Lena rela menghabiskan waktunya di depan kantin berpura-pura mengerjakan tugas kuliah demi dapat melihat Benn yang sedang bermain basket. Lena semakin terpesona. Tubuh Benn yang tinggi bergerak lincah mengiring bola dan mencetak angka. Lena menjadi senyum-senyum sendiri. Amy yang melihatnya tampak curiga.
"Lu, kenapa, Len?" Lena tergugu. "Liatin apa sih?" Amy menaruh perhatiannya kepada segerombol anak yang bermain basket. Lena takut ketahuan, ia pura-pura fokus ke buku yang berada di tangannya.
"Bisa fokus gak, sih Len? Kalau gak bisa, mending pulang aja, lanjut besok.." Amy sedikit kesal.
"Bisa bisa, My, gitu aja ngambek. Ini uda fokus, kok."

Amy menghela nafas panjang dan kembali ke bukunya. Lena bersyukur tidak ketahuan.


######


Lena tampak girang ketika membaca mading (majalah dinding, bos) bahwa tim basket mereka akan ikut di dalam pertandingan basket universitas di kota itu. Dan tampaknya mereka sedang membuka lowongan untuk para penggembira (alias cheerleader - bahasa gaulnya pemandu sorak). Lena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Segera dia menarik Amy (hanya Amy yang bisa diajak ke mana-mana, kasihan Amy) ke seketariat tim basket. Tanpa perlu tanya ke Amy, Lena sudah mendaftarkan nama mereka berdua. Amy menatapnya tak percaya. Kurang asam! mungkin begitu kata Amy.

Sayangnya, sangking banyaknya yang mendaftar, padahal kuota hanya 14 orang, terpaksa tim basket mengadakan seleksi. Seleksi memang selalu terjadi, tidak hanya di alam, tetapi juga di kehidupan sehari-hari.
Tapi, tidak perlu khawatir, Lena tidak patah semangat, dia malah semakin berapi-api. Dia ingin membuktikan bahwa dia layak menjadi seorang pemandu sorak yang diharapkan. Ia mempelajari segala hal tentang pemandu sorak termasuk mempelajari gerakan-gerakan yang diperlukan.

Hari-hari yang dinanti pun tiba, Amy - yang memang tidak ingin diterima - hanya melompat-lompat tidak jelas. Berbeda dengan Lena yang persiapannya sangat matang, termasuk mengenakan pakaian cheerleader beserta pompom - yang ia beli dari tabungan yang sudah ia simpan selama ini. Seleksi itu sungguh menyita waktu dan tenaga, sampai Lena harus duduk dengan loyo di tangga untuk memulihkan tenaga menunggu hasil yang dinanti-nanti. Walaupun loyo, Lena masih memasang senyum menyaksikan Benn yang sedang bermain basket. Semakin mendekati hari pertandingan, mereka harus lebih rajin latihan.

Tanpa diduga-duga, bola jatuh di dekat Lena. Dengan kebaikan hatinya, ia mengambil bola itu dan melemparnya ke Benn.
"Thanks," ucap Benn yang membuat Lena hampir pingsan.
"Oh jadi dia yang selama ini.." Amy mendapatinya.
Lena terbelalak, tak menyangka Amy bakal sadar. "Pantesann.." Amy geleng-geleng kepala.
"Psstt, jangan bilang siapa-siapa ya, My.."
"Lu kasih apa ke aku?"
"Traktir makan siang deh, gimana?"
"Ogah.."

"Ayolah, My, lu temen yang paling baik. Pleasseeee...."
Lena berlutut di hadapan Amy.
"Seminggu."
"Apa??"
"Lu traktir aku seminggu."
"Baiklah."
"Assseeekk...." Lena segera menghitung sisa tabungan dia yang sudah dia kuras untuk beli perlengkapan cheerleader. Semoga saja ia tidak sia-sia membeli semua perlengkapan itu.


##$$##

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Amy menatap mading itu tak percaya. Lena memasang senyum yang selebar-lebarnya, seakan dia sedang tertawa.
"Kok bisa lulus sih?"
"Ya bisalah, kan kita sepaket. Kalau aku masuk, lu juga."
"Males banget, tahu gak sik?" Amy cemberut dan kabur dari hadapan Lena.
"Itung-itung, lu dapat makan siang gratis dari aku...." teriak Lena mengejar Amy.


######$$######


Amy menatap Lena yang masih asyik memoles bedak di wajahnya.
"Lu ngapain sih? Muka segitu aja dipakein bedak. Ga cocok lu pake bedak..! Ga biasa jugak." Amy memang orang yang blak-blakan, itu yang disukai darinya. Jujur.
"Biar cantik, My. Lu mau aku buatin?"
"Ogah, begini saja sudah cantik. Ga perlu dikasih tepung."
Lena mencibir.

Pertandigan pertama memang membuahkan hasil yang baik. Mereka menang. Tak sia-sia Lena mengeluarkan segala jurus untuk memperdengarkan suaranya memberi semangat pada tim basket. Tapi, kalau mau jujur sih, cheerleader tak memberi pengaruh apa-apa pada semangat para pemain, pada penonton bisa jadi.

"Eh, itu dia.." tunjuk Amy.
Lena menatap Benn, ia terkesima. Walau dengan keringat yang berlebih dan wajah merah kelelahan, Benn tampak tampan di penglihatan Lena. There is something wrong here.

Lena mengangkat tangan ingin memberi ucapan selamat pada Benn, ketika seorang perempuan melewatinya dan memberi pelukan pada Benn. Di depan wajah Lena, seorang perempuan memeluk Benn. Lena tak percaya. Siapa perempuan ini, enak saja dia memeluk Benn?
"Selamat ya...."
"Terima kasih, Chay.." dan Benn mendapat kecupan tipis di pipinya. Lena menganga. Hari apa ini baginya? Menyaksikan pujannya digerogoti oleh penyihir sialan?
"Pacarnya, Len," bisik Amy di telinga Lena.

Lena langsung jatuh lemas, ia tak sanggup berdiri, kakinya tak kuat menopang beban yang baru saja ditumpahkan kepadanya.
Amy turut prihatin. Ia menopang Lena berdiri dan pergi segera dari tempat itu.
"Lu mau minum es teh?" tanya Amy ketika mereka sudah tiba di kantin. Lena hanya bisa menggangguk. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang sudah pahit, beracun pulak.








###### Sekian ######

Sebagai tambahan (info pelengkap), disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta, adalah sbb:
- curious : menjadi kepo, ingin tahu lebih detil tentang orang tsb
---- dari tahap curious bisa menjadi stalker nomor satu sejagat raya (be aware!)
- creative: berusaha mencari cara (yang unik) agar bisa ketemu/sapa tanpa ketahuan sedang ada rasa
- needy : butuh banget untuk tahu kabar terbaru dari si kawan
- confuse: uring-uringan jika keinginannya tidak tercapai; bisa karena tidak bertemu dengan si kawan barang sehari
- .... mungkin ada yang mau ditambahkan?


Kau harus benar-benar jatuh, untuk bisa merasakan cinta ....




Tema kali ini : (jatuh) cinta itu harus benar-benar jatuh..
Deadline : 29 Jan 2017 (come on, bisa tepat waktu, ga Rin? | forgive me)
Yang ngasih ide: Ririn (lagi alay kayaknya)


Tulisan dengan tema yang serupa, dapat dinikmati di bawah ini nih:





Catatan:
Ingin aku membuat cerpen yang keren idenya, tetapi aku sudah mulai kehilangan cerita. Semoga tidak kecewa. Ditunggu komentarnya.


Catatan kaki:
(*cari tahu tentang Philophobia)

Tuesday, January 24, 2017

Inong Sitorus

Inong.
Begitu sapaan khas kami untuknya. Bukan, itu bukan nama sebenarnya.
Jika ada yang bertanya apa marganya a.k.a nama keluarganya, maka Inong akan menjawab: boru na so marrem, yang artinya tidak memiliki rem.

Tahu rem kan ya? Biasanya terdapat pada setiap kendaraan, baik bermotor atau tidak.
Lalu, orang tersebut akan berpikir sebentar dan menebak: oh boru torus. Dan memang benar. Selalu lucu ketika hal itu terjadi. Hal itu terjadi bukan hanya sekali atau dua kali.

Sudah seharian ini Inong tampak murung. Pasalnya, anak perempuan yang paling bungsunya sedang ngambek. Karena dia merasa ada ketidakadilan terjadi di rumah itu; anak lelaki diijinkan jalan seharian, sedangkan dia sendiri tidak bisa ke mana-mana.

"Yasudah, pergilah jalan-jalan, tidak apa-apa," kata Inong dengan tenang.
Tarri, anak perempuannya itu malah memonyongkan bibirnya dan berlalu dari hadapan inongnya. Tarri merajuk (ngambek). Dan kalau ia sudah begitu, maka ia akan melakukan aksi mogok bicara dan makan; memilih untuk berada di dalam kamar sehari-dua hari- selama yang ia pikir cukup menahan godaan untuk keluar dari persembunyian atau karena ingin makan.

Inong mengetuk pintu kamar yang tidak terkunci. Karena tidak ada jawaban, Inong membuka pintu itu perlahan. Tampak Tarri sedang membaca buku di atas tempat tidur. Tarri memang hobi membaca, tapi buku bacaaanya tidak membuat dia lebih dewasa dalam bersikap. Mungkin nanti.
"Beta mangan, Boru." (Ayo makan, Anak gadis.)

Tarri bertingkah seolah tidak ada siapa-siapa di tempat itu selain dirinya. Ia mengenakan earphone dan memainkan musik dengan suara yang kencang.
Inong bersedih hati melihat tingkah anak gadisnya itu. Mungkin beginilah kelakuan anak gadis zaman sekarang yang mungkin lagi berada di masa-masa pubertas.

Inong keluar dari kamar itu dan hendak mengadu ke suaminya, tetapi yang dilihatnya tampak sedang kesal.
"Kenapa?" tanyanya dengan sabar.
"Kau menaruh bawang putih," kalimat itu membuatnya sadar ia tidak fokus memasak tadi karena putri kecilnya yang merajuk (alias mengambek).
"Maafkan aku."
Elgi, suaminya bahkan tidak menyentuh nasinya, hanya karena aroma bawang putih di lauk yang ia masak.
"Aku akan memasak menu lain, tunggu sebentar."
"Tidak perlu. Aku akan makan di luar saja."
Kemudian suaminya segera berlalu. Lengkap sudah kesedihan Inong siang itu.

Akhirnya, Inong makan siang sendirian. Sedih, sepi makan sendirian, padahal seharusnya tidak begini.


####

Malamnya, suaminya masih menonton pertandingan bola, anak gadisnya masih asyik di kamar, sedang anak lelakinya belum pulang, ia khawatir, matanya tidak bisa terpejam. Ia duduk di atas pembaringan, menutup matanya, bibirnya bergerak tanpa suara. Kemudian ia mencoba untuk tidur.

Pukul 12 lewat 5, terdengar suara ketukan di pintu. Inong terbangun. Suara tv masih menyala, suaminya masih menonton.
"Siapa? Masuklah," kata Inong lembut.
Ternyata, Manne, anak lelakinya membuka pintu, diikuti Tarri, kemudian Elgi dengan kue berada di tangan.
Senandung selamat ulang tahun yang lembut melingkupi ruangan itu. Inong tanpa sadar menitikkan air mata, ia terharu.
"Selamat ulang tahun, Nong. Maaf ya Inong, hari ini sudah keterlaluan," kata Tarri sembari mengecup kedua pipi Inong.
"Masakanmu selalu enak kok," Elgi tersenyum malu-malu.
"Selamat ulang tahun, Inong, terima kasih untuk semuanya," ucap Manne tak mau ketinggalan.


######

Ditulis dengan tema: Ibu
Deadline: 15 Jan 2017 (again telat. Oh mai goodness)
Pemberi ide: Ka Nova


Tulisan dengan tema serupa dapat dibaca di:
Ka Nova
Ennitan
Sumi
Zanna


Curcol: sulit menulis dengan tema ini, atau aku sedang sibuk mengerjakan kerjaan? Entahlah, tapi akhirnya aku menyelesaikannya.
Terima kasih.

Tuesday, January 10, 2017

Menyerah atau mati

Bukan, ini bukan cerita tentang perang. Ini cerita tentang sebuah perjuangan. Bukan juga perjuangan seorang ibu, ini perjuangan seorang gadis mendapatkan kisah asmara yang diinginkannya.

Tersebutlah di suatu desa, seorang gadis yang jelita nun manis dan enak dipandang, bernama Anel. Mengapa Anel? Orang tuanya pun tidak dapat menjawab pertanyaan itu dengan lugas. Lugu lugu ganas. What? Maaf, ngawur.

Abaikan.

Banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya, tetapi tiada satupun yang berani mendekat. Entah mengapa, para pemuda tersebut merasa tidak sanggup mempersuntingnya, anggapan para tetua desa.

Sampai tiba saatnya, Anel berusia dua puluh dua, baru saja menyelesaikan kuliah sarjana. Ia ingin bekerja atau melanjutkan kuliah esdua, akan tetapi orang tua berkehendak lain; ia sudah seharusnya menikah.

Mengapa? Ia bertanya pada ayah ibu.
Kamu sudah cukup umur, ujar ayahnya.
Bukan tugasmu mencari nafkah, kata ibunya.
Anel mendesah, ia menyesal pulang ke desa setelah wisuda.

Para tetangga yg mendengar berita itu mulai menyodorkan anak/sepupu/kerabat untk bisa mendapatkan hati gadis itu.

Tapi tak ada satupun yang dapat memikatnya.

Hingga pada suatu hari, ia bertemu teman lamanya, bernama Souny. Nama yang aneh saat itu. Souny kerap diledek karena namanya, tetapi ia tetap bangga dengan keunikan namanya yang tanpa makna ganda. Malah tak ada makna yang berarti, aku orang tuanya.

Souny orang yang baik dan jga ramah. Karena teman lama, Anel mudah akrab dengannya.

Tetapi kemudian Souny harus pergi, kembali ke tanah yang jauh, ke kota, melanjutkan pekerjaannya di sana. Tinggallah Anel masih menanti di desa.

Akankah mereka punya kisah?

Cerita malam ini cukup sampai di sini. Besok lanjut lagi.

Sebenarnya ini bukan cerita bersambung, tapi bakal diposting di lebih dari satu postingan. Tunggu kisah selanjutnya.

Wednesday, January 4, 2017

Resolusi yang serius tanpa main-main, katanya

“Seberapa pentingkah resolusi buatmu?“ Pertanyaan yang dibaca Nora dalam hati membuat dia bungkam. Selama ini, tahun baru memang meninggalkan bekas di hatinya. Mengapa? Karena dia selalu pulang kampoeng; berkumpul bersama keluarga merayakan Natal dan Tahun Baru dan bertemu teman-teman yang sama-sama pulkam (istilah pulang kampoeng) atau yang memang tinggal di kampoeng. Tetapi hanya itu saja, dia tak pernah membuat resolusi seperti yang dilakukan teman-temannya. Bagi Nora, resolusi itu ya bisa dibuat kapan saja, tidak perlu menunggu tahun baru. Tapi sejujurnya, Nora tidak pernah melakukannya.

Tidak pernah setelah tahun dua ribu delapan. Tahun itu, dia membuat resolusi untuk giat belajar demi mendapatkan IP yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi apa daya, niat belajarnya memang rendah, buat resolusi juga percuma. Dia merasa sia-sia, tak mau melakukannya lagi, tak ada guna.
Ketika teman-teman mengetahui, awalnya mereka tidak merasa aneh dengan pendirian Nora, malah mereka berpikir kala itu Nora hanya bercanda. Selama sekian tahun baru yang sudah mereka lewati bersama, Nora tak kunjung berubah, tetap tidak membuat resolusi di tahun baru, teman-teman menjadi geleng-geleng.

“Serius, tidak buat resolusi? Lagi?” Meysa akhirnya berani bertanya langsung padanya. Nora menjawab cepat dengan gelengan disertai senyum manisnya. Mesya geleng-geleng kepala, tidak meyangka Nora seapatis begitu. Apatis mungkin bukan istilah yang paling tepat disandingkan kepada Nora, tetapi kata itulah yang dapat dipikirkan Mesya.
“Apatis?” Nora tidak setuju. “Bukan, Mesyang, tetapi lebih kepada ..” perkataan Nora menggantung, Mesya menunggu. “Aku lupa, jam berapa janji sama kankawan?”
“Jam 4, setengah jam lagi,” Mesya melihat jam di pergelangan tangan kirinya.
“Berangkat sekarang aja yuk, sudah kangen sama kankawan, biar ga telat juga, takut macet di jalan.”
Mesya ikut saja ketika Nora sudah bangkit berdiri menuju parkiran.

Ketika mereka tiba, Nora kaget sudah ada Kimon bersama seorang gadis yang ia tidak kenal. Mesya segera menjabat kedua orang itu, Nora mengikuti, dengan pertanyaan, “siapa, Ki?”
“Calon istriku,” jawabnya sembari senyum malu-malu; yang merasa disebut senyum dikulum.
“Wah, cepat juga, selamat ya.. Kapan hari baiknya?”
“Iya nih segera, undangannya bakal disebar ko, tenang.”
“Selamat ya..” ucap Nora tulus.
Kemudian teman-teman yang lain mulai berdatangan. Reuni kecil-kecilan ini membuat suasana café tampak lebih ramai. Nora memandang mereka satu per satu. Ia sadar hanya dirinya dan Mesya yang masih sendiri. Itupun Mesya memang baru saja memutuskan hubungan dengan pacarnya karena jarak yang memisahkan; komunikasi menjadi sulit. Mungkin memang tidak jodoh. Jodoh itu pilihan atau sudah ditetapkan? Nora salah fokus.
Nora kelimpungan di tengah cerita-cerita seru teman-temannya, ia undur diri, mencari udara segar. Tidak-tidak, ini bukan tentang resolusi, ujarnya dalam hati. Tetapi suara lain menimpali, tentu ini ada kaitannya dengan resolusi, kau tidak mencapai titik tertentu. Nora menggeleng.
Kau tidak punya pacar!
Kau tidak punya teman lelaki yang dekat!
Kau tidak punya calon suami!
Kenapa berhubungan dengan pasangan? Apa tidak ada hal lain yang ingin dicapai?
Lalu dia menatap Nuri yang akan wisuda tahun depan, S2. Dia menjadi merasa tertinggal. Sudah sejak selesai S1, ia ingin melanjutkan jenjang pendidikannya, tapi sampai saat ini, di masih berada di level yang sama.
Nora menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembusannya dengan cepat, berusaha menghalau kegelisahan yang menyesak. Tapi, tidak berhasil. Mungkin aku harus pulang, ujarnya kemudian.
Tapi ia tak bisa pamit begitu saja, Mesya tidak mengijinkan ia pergi meninggalkan dirinya seorang diri. Terpaksa ia duduk kembali. Saat ini, semua mata mengarah kepadanya, Nora salah tingkah. Ada apa?
“Siapa halletmu?” Pertanyaan Kimon membuat yang lain menjadi ingin tahu.
“Iya, dari dulu ga pernah ku dengar nama halletmu, siapa sih?”
“Pande kali kau merahasiakannya, Noorr..”
Nora geleng-geleng kepala, tak menyangka bakal ditanya beginian. ‘Bukankah mereka semua tahu aku tak punya pacar?’ pikirnya.
“Ndang adong dope, Kawan.”
“Ah, sok kali loh.”
“Iya, ini aja aku bawa halletku, kau masa gitu. Harus kau akuin dia, biar makin langgeng hubungan kalian.“
Nora semakin linglung, ia tidak bisa menjawab.
“Eh, Kimon, karena kita uda kumpul di sini, bolehlah undang kankawan di sini ke pesta nikahanmu nanti..” perhatian terkumpul kepada sepasang kekasih yang tampaknya malu-malu, mungkin pura-pura malu atau memang malu.
‘Thank, you, Mesyang,’ bisik Nora dalam hati.

@@@@@@

Malam itu, Nora tidak dapat tidur. Pikirannya kembali ke masa-masa ia menertawakan resolusi tahun baru milik teman-temannya dulu. Kini ia merasa kalah, tapi ia tak apa; ia cukup berbesar hati.
Ia bangun dari kasur, mengambil buku dari atas meja. Dipandanginya halaman itu. Kosong. Hampa, seperti hatinya saat ini.
Kemudian ia mulai menorehkan kata-kata. Nomor satu. Awalnya sulit, tetapi sampai juga ia di nomor empat. Ia kembali membaca dari atas, merasa ada yang terlewat. Ia bangkit, mendengar suara petasan dari kejauhan. Ia tersenyum, kemudian menuliskan untuk nomor lima. Ada lima poin untuk resolusi tahun baru ini. Ia merasa puas. Kenapa tidak dari dulu aku berbuat begini, pikirnya; ternyata seru juga.
Teleponnya berdering, sebuah nama tampil, teman lama yang tak pernah ia temui lagi. Ia tersenyum kemudian mengangkat panggilan tersebut. Lama ia berbincang, kemudian ia menambah satu poin lagi di nomor enam.
Nora tertawa sendiri. Ia tidak menyangka dapat membuat enam nomor sekaligus. Rasanya tidak baik jika Nora membagikan resolusi yang ia tulis barusan, biarlah dia sendiri yang tahu dan benar-benar berusaha mewujudkannya di tahun yang baru.
Malam itu, Nora dapat tidur pulas.

Reuni yang kecil-kecilan saja dapat mengubah pola pikir seseorang, apalagi yang lebih besar.



###### SEKIAN ######


Ketika menulis ini, jadi teringat sama ayat Ibrani 10:25. Hayo, yang ga tahu isinya silakan dicari tahu.


Tulisan ini dipersembahahkan untuk teman-teman ENZaSuRe.
Dengan tema: Resolusi Tahun Baru
Deadline: 1 Januari 2017 (lagi, telat)



Tulisan dengan tema serupa dapat dibaca di:
Ennitan
Ka Nova
Sumi
Zanna



Selamat Tahun Baru 2017.
Semoga tahun ini lagi penuh berkat.