Ririn's Page

Thursday, February 23, 2012

I find someone better than you

Kemarin rasanya aku masih menatapmu disini. Kemarin tepat pukul 5 sore sebelum matahari terbenam, aku masih melihat senyum yang tak pernah jenuh kulihat. Masih seperti ada bayangmu dan suara gelak tawa ketika kamu mengejekku "sibuntelan" karena badanku sedikit lebih berisi dari yang sebelumnya. Hari Valentine kemarin aku masih mendapat boneka Angry Bird kesukaanku darimu. Disana, terselip kartu ucapan "Happy valentine day sweet Djie". Entah mengapa aku mengartikannya berbeda, karena kita tak pernah membicarakan kesepakatan apapun tentang perasaan kita.

Tadi malam, semua terasa sangat singkat. Kamu mengajakku bertemu denganmu disini, di tempat kita sering berteriak, mengalahkan deru ombak yg menyapu batu karang. Tapi aku tertegun, saat kamu membawa seseorang di belakangmu. Dengan senyum riang kamu mengenalkannya padaku.
"Djie, ini Anita teman kuliah yang ingin kukenalkan padamu. Sepertinya kalian serasi. Jadikan dia teman spesialmu."
Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi aku hanya diam. Aku menyodorkan tanganku untuk berkenalan dengannya, kamu pun tersenyum. Dan ketika kami mulai berbicara satu sama lain, kamu malah pergi meninggalkan kami berdua.

Apa yang kupikirkan? Dan apa yang kamu pikirkan? Setahuku, aku menginginkanmu lebih dari teman biasa, walau aku takut untuk memulainya. Mengapa kamu harus bersusah-susah mengalihkan rasaku untukmu kepada dia?
Ahh, aku semakin bingung setelah aku tiba di rumah, aku mendapat pesan singkat darimu.
"Djie, maafkan aku..."
Apa artinya itu? Bisakah kamu memberi sedikit saja penjelasan tentang itu?

Hari ini aku sedang menunggumu disini, entah kamu mau datang atau tidak. Aku masih menunggumu untuk meminta penjelasan darimu? Apa perlu aku harus meneguhkan hatiku padamu atau seriuskah kau dengan apa yang baru saja kau lakukan?

Aku masih menunggumu ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan berkas-berkas kuning kemerahan di ujung hariku. Aku berharap engkau mau datang, membawa cerita-cerita yang aku butuhkan, penjelasan-penjelasan dari setiap pertanyaan yang ada di kepalaku.

Aku masih menunggu ketika kuning kemerahan berganti menjadi abu-abu dan engkau masih tak kunjung kelihatan.

Ku lihat di kejauhan sesosok gadis cantik. Aku berharap itu adalah kamu yang selalu menarik. Tapi harapanku buyar ketika sosok itu mendekat, ku dapati wajah seorang gadis yang bukan kamu, seorang Anita.

Aku masih tidak mengerti. Pertama kamu mengenalkan gadis asing kepadaku. Lalu, kamu tidak ingin bertemu denganku, malah membawa gadis asing itu menemaniku disini? Aku semakin bingung bagaimana pola pikirmu.

Gadis itu tersenyum. Tentu aku tidak ingin menyakiti hatinya, hati siapapun. Aku balas tersenyum.
"Kata Nea kamu menungguku disini. Ada apa?" suaranya yang lembut menyapaku. Aku terpana. Bukan karena senyumnya, bukan juga karena suaranya yang lembut, terlebih karena kata-katanya, kamu menungguku'. Sejak kapan aku bilang aku menunggu seorang Anita? Tidak pernah! Tak pernah sekalipun. Aku hanya menunggu seorang Nea, hanya kamu.

Tapi aku tak bisa mengatakan hal itu langsung kepada gadis yang kini ada di hadapanku. Sudah ku katakan bukan bahwa aku tidak ingin menyakiti siapapun, ingat?

"Aku ingin berjalan-jalan denganmu.." akhirnya kata itu yang terucap.
Ku ajak dia berjalan-jalan di pantai yang basah dan berpasir, seperti yang sering kita lakukan dulu. Ternyata Anita gadis yang manis, juga menarik. Ceritaku dan ceritanya nyambung seperti teman lama. Aku terpesona.


Jika memang kamu bahagia melihat aku bersanding dengan Anita, aku akan membuatmu bahagia, Nea. Aku akan mencoba buka hatiku untuk seorang Anita, yang dulunya asing kini karib bagiku. Jika kamu memang berniat menutup pintu hatimu untukku, tidak apa, aku akan mengetuk pintu lain yang kamu sodorkan padaku.

**

"Terima kasih, Nita," ucapku. Kini jemarinya ada di dalam jemariku.
"Terima kasih juga Sayang. Andai Nea masih ada .." ucapan Anita menggantung di udara. Aku mengerti.
Ku tatap pusara di hadapanku, basah, bertuliskan Nea.



Tema: Perpindahan; pindah
Nulis Duet dengan @jusnitagaol

Thursday, February 16, 2012

There is always new hope

Aku menutup pintu perlahan, tak ingin ibu terbangun dari tidurnya. Sudah hampir menjelang subuh dan mungkin sebentar lagi pun matahari akan buru-buru muncul. Aku kembali mendengar suara batuk ibu untuk kesekian kalinya. Sepanjang malam aku menjaga dan menemaninya sekarang mataku terasa sangat perih, ini sudah hampir 2 bulan aku tak lagi bisa menikmati tidur malam karena harus menjaga ibu.

Aku hanya punya ibu, sejak ayah meninggal 2 tahun lalu, sementara ibu kadang-kadang merasa tak punya siapa-siapa sejak ayah tak ada, merasa tak ingin melanjutkan hidup dan ingin menyusul ayah katanya beulang kali. Aku tau aku takkan pernah menggantikan posisi ayah disampingnya, takkan bisa mengerti persis apa yang dirasakannya, aku tau aku takkan bisa memberikan apa yang pernah didapatkannya dari ayah. Tapi sesekali aku juga ingin dia tau aku masih membutuhkan perhatian seorang ibu. Ada saatnya aku merasa ibu tak adil padaku, tak seharusnya dia menempatkanku pada posisi ini, aku juga tak ingin ayah pergi meninggalkan kami. Tapi seperti janjiku pada almarhum ayah aku harus tetap menjaga ibu.


Kucoba sejenak membaringkan tubuhku di sofa, berharap aku bisa istirahat paling tidak satu jam saja.

Glenn, seorang anak berumur 4 tahun membawakanku lukisan yang dibuatnya sendiri. Aku tak tau tepatnya ini lukisan apa tapi sepertinya dia sedang mencoba melukis sebuah rumah dengan pohon besar di halamannya.

"Ini rumah buat ibu…" Glenn memberikan lukisannya padaku, senyumnya mengisyaratkan kebahagiaan yang sangat besar.
"Terimakasih sayang," kucium keningnya dan kubelai-belai rambutnya. Dia salah satu siswa dari kelas toodler yang paling dekat denganku.
"Sinta!" aku terkejut seseorang menepuk punggungku sangat keras.
Aku terkejut dan tersadar barusan hanyalah mimpi. Jarum pendek di jam dinding menunjukkan angka 7. Sontak aku berdiri dan berlari ke kamar mandi.

Tidak!! Tidak!! Jangan lagi kumohon… aku berharap dalam hati.
Seminggu belakangan ini aku selalu terlambat dan baru kemarin aku dapat peringatan dari kepala sekolah tempatku mengajar. Dalam waktu 15 menit aku sudah ada di halte untuk menunggu angkutan umum. Syukurlah mini bus yang kutunggu segera datang. Aku tak tahu ini hanya perasaanku saja atau tidak tapi aku merasa perjalanan ini menjadi sangat lama dan panjang. Aku pasti akan terlambat, kusandarkan tubuhku dan  kurenungi nasibku yang sudah sangat kacau hampir 2 tahun ini. Kapan ini semua akan berakhir Tuhan?

Akhirnya, kepala sekolah memarahi aku habis-habisan. Seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik bagi anak-anak, bukan malah memberi contoh yang buruk, katanya tepat di wajahku. Aku tahu aku salah, aku menyesal, dan aku hanya bisa menunduk di depan Bapak Kepala Sekolah.
"Tidak ada lain kali lagi!" tegas Bapak Kepsek.
Aku hanya mampu mengangguk mengiyakan.
Aku terduduk di bangkuku di ruang guru. Menunduk. Menghela di nafasku. Nasibku begitu buruk. Hanya itu yang ada di pikiranku yang mumet.
"Berliburlah," sebuah suara yang tak asing mengusikku, suara Rena, teman seperjuangan sejak dulu.
"Berlibur?" tanyaku tanpa perlu mengangkat kepala.
"Yah, aku pikir kamu butuh sesuatu yang dapat menyegarkan kepalamu," ucapnya langsung tepat pada sasaran.
"Tidak mungkin, Na. Aku tidak ingin meninggalkan ibuku sendirian," kataku, kali ini aku mengangkat kepala, menatap Rena seolah meminta pendapat lebih lanjut.
"Bawalah ibu bersamamu, mungkin itu ajang untuk kalian lebih dekat lagi seperti dulu."
Rena sudah tahu banyak, bahkan sangat banyak. Tidak ada yang tidak diketahui olehnya tentangku.
Aku menggeleng. "Aku tak tahu apakah ibu mau.."
"Bagaimana kamu bisa tahu teh itu manis kalau kamu tidak mencicipinya?" perkataanku dibalas dengan sebuah pertanyaan.
Baiklah, akan ku coba, bisikku dalam hati.

**

"Ibu.." seruku di sisi tempat tidurnya.
Dia tidak menjawabku, hanya menatap ke dalam mataku, dan memberikan senyum yang tidak lebar, tidak sehangat dulu.
"Bagaimana jika kita mengunjungi kampung halaman ayah?" ibuku tersentak. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan bercampur kesedihan, keduanya terlihat samar, aku tak tahu pasti. Tidak lama kemudian, ibu mengangguk. Aku hanya bisa tersenyum getir melihat semangat ibu yang sudah kandas tak bersisa sedikit pun.

Sesampainya di rumah peninggalan almarhum kakek dan nenek, ku lihat ibu rajin membersihkan rumah, merapikan tata letak rumah. Entah apa yang membuat ibu seperti itu, tetapi aku senang. Ku lihat sedikit keceriaan terpancar di wajahnya yang tidak muda lagi.

Aku baru saja pulang dari pasar, membeli perlengkapan dapur. Aku tidak menemukan sosok ibu di ruang tamu, tidak juga di dapur. Aku mencari di kamar tamu tempat ibu tidur, juga tidak ada. Kemana ibu pergi?
"Ibu .." panggilku tanpa ada sahutan.
Aku melangkah ke dalam kamar yang setengah terbuka. Ku lihat ibu sedang melihat foto-foto lama. Ku perhatikan kamar yang tidak terlalu besar. Sebuah bingkai berisi foto lama sepasang kekasih yang masih muda terpampang di dinding. Setelah ku telaah, aku sadar ini adalah kamar ayahku dulu ketika ia belum menikah dengan ibu.

"Ibu," kataku.
Ibu sedikit terkejut mendengar suaraku. Kulihat ibuku mengeluarkan air mata. Pertama hanya setetes, lalu ibu mulai terisak. Aku heran. Aku panik.
"Kenapa, Bu?" tanyaku dan menggenggam kedua tangannya.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu salah membiarkanmu berjuang sendiri. Ibu egois membiarkanmu hidup sendiri selama ini. Ibu bukanlah ibu yang baik," kali ini Ibu sudah memelukku dengan erat seolah ia tak akan melepaskanku lagi. Aku terhenyak.
"Maafkan Ibu, Sinta!" ibuku masih terisak.
Tanpa kusadari lagi, air mata sudah mengalir deras di pipi ku. Aku tak kuasa melihat ibuku menangis. Aku tak kuasa. Ku balas pelukan ibu seerat yang aku bisa. Aku ingin ibu bisa seperti dulu lagi, hatiku berteriak.

Jadilah kami bertangis-tangisan.
"Tidak apa, Bu," kataku ketika ibu sudah tenang.
Ku lepaskan pelukannya, dan ku tatap wajahnya yang sudah tidak muda lagi. Ada secercah harapan ku lihat di kedua matanya.
"Maukah ibu memulai semuanya dari awal lagi? Berdua bersamaku?" tanyaku menatap ke dalam mata ibu.
"Tentu, Sinta. Tentu ibu mau."
Aku tersenyum. Akhirnya, inilah wajah ibuku yang sebenarnya, yang semangat, selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya, aku.


Nulis duet dengan tema : Memulai
Oleh @da_manique dan @ririntagalu
Balige dan Jakarta

Wednesday, February 15, 2012

Untuk Cinta

Aku berjalan pelan, bahkan sangat pelan. Rasanya punggungku sakit lagi. Ada rasa kaku, ngilu yang membeku. Sudah beberapa hari ini aku merasakannya, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Mungkin itu hanya faktor usiaku yang tidak muda lagi. Empat puluh tujuh tahun, bukan usia yang muda, bukan? Bahkan anakku yang paling besar sudah bisa menikah, walau ia belum mau, katanya masih ingin menikmati masa muda. Aku mengikuti apa kata dia, toh hidupnya adalah kepunyaan dia, aku hanya seorang mama yang ingin anak-anaknya bahagia.

Langkahku berhenti pada tumpukan pakaian di dalam keranjang, yang selalu penuh dengan pakaian kotor suami dan anak-anakku. Aku memilih pakaian-pakaian yang bisa digabung untuk dicuci dan memisahkan pakaian yang harus dicuci secara terpisah.

Aku seorang wanita karier yang sukses, tapi itu dulu. Aku harus berhenti karena kehamilanku yang pertama. Suamiku tidak mau aku harus mempertaruhkan kehamilanku karena beban pekerjaan di pundakku. Akhirnya aku mengalah, aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang selalu aku banggakan. Dan jadilah aku seperti sekarang ini, sendirian di rumah, mengurus semua keperluan rumah, dan ditinggalkan. Anak-anak pergi sekolah, kuliah, dan suamiku pergi kerja. Well, aku sudah terbiasa seperti ini, dan aku tidak keberatan. Aku masih bisa menyibukkan diri dengan pergi berbelanja, bertemu dengan teman-teman ibu rumah tangga, dan juga menjahit atau menyulam. Itu hobi yang selalu menemani hari-hariku.

Kali ini aku sedang memeriksa jas suamiku, meraba-raba kantongnya mana tahu ada kertas penting yang tertinggal. Sebuah note kecil berwarna kuning.
20 Januari 2012
Hotel Indonesia
Jam 6 tepat

Begitu kira-kira isinya. Berarti ini pesan untuk hari ini. Mungkin sebuah meeting. Dan mungkin saja meeting penting. Apa sebaiknya aku telepon saja suamiku? Sebelum aku berlama-lama, aku mengambil telepon genggam dan menelepon suamiku. Memastikan pesan ini sampai padanya.
"Halo," sebuah suara wanita asing menjawab telepon suamiku.
Aku sedikit tersentak. Sudah pukul lima sore, suamiku sudah pulang kantor pastinya. Mengapa ada suara wanita? Tidak, tidak, aku harus pikir positif, aku percaya pada suamiku, dia tidak akan mengkhianati kepercayaanku.
"Halo, ini dengan siapa ya?" tanyaku lembut.
"Ini dengan siapa?" suara itu bertanya balik.
"Ini istri dari Pak Bayu," jawabku pasti, tegas.
"Tuut tuttt."
Teleponnya sudah diputus, begitu saja? Aku tekan nomor ponsel suamiku lagi, aku takut aku tadi salah tekan nomor. Semoga kali ini suamiku yang mengangkat.
Aku mendengar nada tunggu, berulang kali. Apa maksudnya ini? Aku percaya pada suamiku, aku tidak yakin dia mengkhianati kepercayaanku. Dia sangat mencintaiku, aku tahu dengan pasti.

Debaran di dadaku tak lagi dapat kujaga agar tetap normal. Semua pasti tidak seperti yang kukuatirkan. 22 tahun menikah lebih dari sekedar waktu yang panjang untuk satu kata percaya.
Kuhela napas panjang dan kucoba mengingat-ingat sedang apa aku tadi. Kulanjutkan dengan memasukkan pakaian yang sudah terpisah ke dalam mesin cuci. Tapi pikiranku entah kemana. Melayang diantara no handphone suamiku dan suara wanita yang mengangkat telephonenya tadi. Ahhh…

Tanpa sadar aku meninggalkan mesin cuci yang sudah sempat dalam posisi ON. Kupastikan alamat yang kutemukan tadi. Entah suara dari mana menuntunku untuk pergi ke alamat yang tertera di note tadi. Aku mengganti pakaian seadanya dan memberhentikan taxi yang lewat dari depan rumah.
"Hotel Indonesia mas," kataku, tak ada sahutan dari depan. Tapi aku tau kemana arah taxi ini melaju. Menuju jalan Thamrin.
Pikiranku bermain dalam memori beberapa bulan ini. Mas Bayu tak seperti biasa. Tak sehangat sebelumnya. Memakaikan dasi adalah tugas yang harus kulakukan untuknya setiap pagi, itu sebelum beberapa bulan yang lalu. Entah bagaimana awalnya hingga akupun tak lagi merasa kehilangan kebiasaan itu.
Sekali sebulan kami punya jadwal makan malam berdua di tempat-tempat romantis. Sekarang tak lagi. Mungkin karena pekerjaan mas Bayu yang juga mulai bertambah, sejak dia dipromosikan ke bagian pemasaran.
Tapi tak hanya makan malam berdua yang sudah terlewatkan, sarapan pagi bersama anak-anak pun mas Bayu adakalanya tak lagi punya waktu. Kami juga tak lagi pernah berbagi cerita tentang satu hari yang kami lewati saat akan menjelang tidur. Diam telah menjadi bahasa yang kerap kudengar darinya.
Belakangan saat terbangun tengah malam aku sering memergokinya sedang memandangiku aneh. Pernah sekali dia berkata "aku kangen"
Bukankah aku selalu ada di sampingnya.

Aku pikir itu bagian dari gaya baru mas Bayu. Sekarang aku merasa itu bukan. Air mataku jatuh tanpa permisi.
"Mas Bay….ada apa?" bisikku tanpa sadar
"Bu, kita sudah sampai…" supir taxi memandangku dari kaca depan dengan heran.
"Oh iya mas…" buru-buru aku hapus air mataku. "Tunggu aja mas, gapapa argonya tetap jalan.."
Kupandangi gerbang masuk hotel yang kutuju.
Jam 6 kurang beberapa menit. Sepuluh, lima belas dan akhirnya satu jam sudah aku menunggu. Tak ada sesuatupun terjadi, aku bahkan tak berani mencoba keluar dari taxi.
Supir taxi yang sedari tadi dengan sabar menunggupun sekarang sudah mulai kelihatan kuatir dengan sikapku.
"Kita balik ke tempat tadi aja mas…" aku harus pulang. Tak ingin anak-anakku mendapatiku tak ada di rumah. Lagipun kurasa aku lebih baik bertanya langsung pada suamiku tentang banyaknya pertanyaan dan perubahan yang ada padanya.
Sesampainya di rumah, Grace dan Dimas telah menantikanku dengan wajah penuh tanya. Aku harus bisa menjaga semuanya tetap baik. Senyum terbaik kurasa bisa menutupi kegusaranku.
"Mama dari rumah tante Silvy, kena macet dan akhirnya pulang kelamaan," aku tak pandai berbohong dan itu adalah usaha yang terbaik bisa kulakukan.
"Ma…mama baik-baik aja kan? Tadi aku tanya tante Silvy dan katanya mama ga ke sana. Handphone mama juga ga dibawa, mesin cuci ditinggalin seperti itu," Grace menggenggam tanganku lembut, dia tau aku sedang berusaha berbohong. Aku harus bagaimana? Tubuhku bergetar, pandanganku mulai nanar.
"Mama pengen istirahat" aku hanya bisa menghindar. Kutinggalkan anak-anakku dengan kekuatiran mereka. Aku masuk ke kamar dan  membaringkan tubuhkan. Air mataku mengalir deras.
Mas Bayu adakah satu-satunya pria yang paling kupercaya, dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah bagian dari jiwaku, dia adalah sandaranku sebagai seorang wanita. Mas Bayu adalah kekuatan yang sekaligus juga adalah kelemahanku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika kecurigaanku berarti sesuatu yang buruk. Suara wanita di telephone tadi kembali terngiang di telingaku, aku mulai menghubung-hubungkan rentetan kejadian beberapa bulan ini.

"Vin…." Mas Bayu sudah ada di sampingku, dia menyentuh punggungku lembut. "Vina…kamu kenapa?" suara lembutnya menambah kepiluanku.
Mas Bayu sudah ada dihadapanku, memandangku dengan tatapannya yang dulu membuatku tak bisa berkata "tidak" saat dia melamarku.
"Kita baik-baik aja kan mas…" aku berusaha tenang. Sangat berusaha.
"Kenapa kamu bicara seperti itu Vin?
"Aku merasa ada sesuatu yang salah diantara kita… maafkan aku, tapi aku mulai meragukanmu. Dan aku merasa sedang menyakitimu dan menyakiti diri sendiri saat aku tak bisa bertahan untuk tetap mempercayaimu Mas.."
Mas Bayu memelukku erat, sangat erat. Aku tak tau apa arti pelukannya. Lembut namun jelas dia mengucapkan kata maaf di telingaku. Tapi aku juga tak tau untuk apa maaf itu.
"Aku mencintaimu Vina… sangat mencintaimu. Dan itu tidak akan berubah," perlahan mas Bayu melepaskan pelukannya. Dia menggenggam tanganku dan menuntunku keluar dari kamar, menuju meja makan. Grace dan Dimas menantikan kami dengan senyuman yang hangat.
Semua orang, namun tidak termasuk diriku berusaha sedang menikmati makan malam ini. Apakah hanya aku yang sedang merasa ada sesuatu diantara kami? Ataukah hanya aku yang tidak pandai berpura-pura?
Dimas seperti biasa menceritakan kisah-kisah lucu di kampusnya, dan Grace mulai protes dengan orang-orang di kantornya yang berusaha menjodoh-jodohkannya dengan anak baru yang bulan lalu dimutasi ke kantor mereka.
Sesekali aku memaksakan diri tersenyum, tak ingin rasanya merusak suasana meja makan ini. Mas bayu, dia seolah-olah baru saja kembali menjadi Mas Bayu yang dulu. Dia adalah ayah yang terbaik buat anak-anakku dan saat saat seperti ini aku sangat bisa melihat itu, dia bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi sahabat dan orang tua yang mendengarkan.
***
Sebelas bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Dan baru kemarin kami mengantarkan mas Bayu ke peristirahatan terakhirnya. Kanker hati telah memaksanya untuk berhenti berjuang hidup.
Bulan-bulan terakhirku bersamanya adalah bulan-bulan dimana aku harus melihatnya harus sangat menderita menjalani hidup.
Saat dia mendengar diagnosa dokter, maka anak-anak kami adalah orang-orang yang pertama kali diberitahunya, karna katanya anak-anak akan tetap bisa menjagaku. Mas Bayu telah merencanakan semuanya dan anak-anak hanya bisa mendukungnya. Pada akhirnya aku juga tau Grace tak ingin segera menikah adalah untuk tetap bisa mendampingiku disaat-saat akhir hidup ayahnya.

Maaf telah dengan sengaja menyakitimu Vin… maaf telah membuatmu harus belajar kehilangan aku bahkan saat aku masih ada di sampingmu.
Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan cukup tangguh saat kehilanganku.
Aku pernah berjanji di depan altar untuk bersamamu saat suka dan duka, saat sakit maupun sehat. Pernah berjanji untuk menjaga dan tetap mencintaimu.
Namun aku tak ingin membuatmu terluka dengan semua kebersamaan kita. Aku ingin kau juga akan tetap bahagia meski tanpaku. Aku ingin tetap mencintaimu seperti janjiku, hanya saja dengan cara yang berbeda.
Kebahagiaanmu adalah janjiku, menyakitimu sesaat mungkin hanya salah satu cara untuk tetap menjagamu.
Aku tak ingin kau bersedih jika kelak tiap pagi tak lagi harus memasangkan dasi buatku, tak ingin engkau merasa kesepian jika malam tak lagi punya teman berbagi cerita tentang satu hari yang terjadi, tak ingin kau bersedih jika kelak aku tak lagi bisa ada untukmu. Aku ingin tetap menjagamu seperti janjiku tapi bukan  dengan cara yang kau pikirkan.
Aku ingin menggenapi janji yang pernah kubuat meski tak lagi ada untukmu. Aku ingin engkau tetap bahagia. Kau telah berkorban banyak untukku… Aku telah mengambil terlalu banyak dari dirimu Vin… waktu dan karirmu telah kau korbankan untuk mencintaiku. Untuk keluarga kita.
Maafkan aku, tetaplah bahagia meski aku tak ada. Aku takkan memintamu tetap bahagia demi aku, sebab akan terlalu egois aku karna itu, tapi bahagialah demi cinta kita. Demi janji yang pernah kita buat. Aku telah berusaha menggenapi janjiku.

Cintamu
Bayu 

Bahkan sampai dia tak adapun, dia tetap menjadi pria yang terbaik dan paling mencintaiku. Aku akan tetap bahagia demi cinta kami. Aku berjanji!


Nulis Duet dengan tema : Menggenapi!
oleh @ririntagalu dan @da_manique
Jakarta dan Balige

Tuesday, February 14, 2012

Sekeping kenangan dalam secangkir kopi tubruk

Aku berjalan cepat secepat yang kakiku bisa. Tugas kantor belum kelar, tetapi rasanya aku ngantuk sekali. Tugas kantor membuatku tidak bisa tidur sama sekali.

Aku butuh kopi! Ya, itu yang kubutuhkan saat ini.

 

Aku bergegas, mempercepat langkahku ke coffee shop langganan. Aku tidak memedulikan bajuku yang kusut dan lusuh karena kupakai semalaman. Orang-orang juga tidak akan memedulikan baju yang kukenakan.

 

Aku membuka pintu, udara yang hangat menjalari hidung. Aku segera memesan kopi tubruk kental tapi tidak terlalu manis, untuk menghilangkan kantuk yang luar biasa, tapi tidak berbahaya bagi kesehatan. Aku bergerak ke arah bangku-bangku kosong yang belum diduduki pelanggan lain.

 

Dia..

 

Aku berhenti melangkah. Dia ada disana. Duduk dengan manis di sebuah coffee shop di kota tempatku tinggal, kota Jogja. Dia sedang asyik menekan-nekan keypad hapenya. Ingin aku pergi dari tempat itu meninggalkannya, tapi hatiku berkata lain, hatiku ingin berbicara dengannya, minimal untuk menanyakan kabarnya.

 

Ketika aku akhirnya memilih untuk tetap tinggal, ia menengadahkan kepalanya, melihatku. Perlahan tanpa fokus, lalu menatapku dengan bulat matanya. Ia terpana. Yah, tentu saja ia terpana. Ia tidak tahu kalau aku sudah tidak tinggal di ibukota jakarta yang kental dan macet, aku memilih tinggal di kota Jogja yang damai dan menenteramkan hatiku.

 

Tanpa tunggu menit-menit berganti, aku lalu menghampiri dia di mejanya. Sebuah Coffee latte kesukaannya, masih seperti dulu, terletak di hadapannya, menemani dia. Senyumku masih mengembang sampai ketika ia sadar bahwa yang di hadapannya memang aku, seorang kekasih yang sudah lama berpisah, yang sudah menjadi mantan, usang.

 

"Alex.." ku dengar suaranya, merdu, masih seperti dulu.

"Halo, Ta. Bagaimana kabarmu?" ucapku tanpa perlu berbasa basi. Eh, apakah kabar bagian dari sebuah basa basi? Tidak buatku, kabarnya adalah berita penting yang ingin kuketahui, bahkan sejak dulu.

"Sedang apa kamu disini?" tanyanya, tanpa perlu menjawab tanya yang kudengungkan.

Bartender meletakkan kopi tubruk pesananku tepat di hadapanku, menjadi penengah antara aku dan coffee latte pesanannya.

"Memesan kopi, ya itu yang ku lakukan disini," aku berusaha mencairkan suasana.

"Di jogja?" tanyanya lagi. Aku masih menangkap rasa tidak percaya di dalam nadanya.

"Ya, aku tinggal disini, Ta. Aku tinggal d Jogja."

"Sejak kapan? Aku tidak pernah tahu," ucapnya, kudengar sedikit rasa malu berbarengan rasa bersalah di dalam nadanya.

Bagaimana kamu bisa tahu Tata, kamu sudah melupakanku, bahkan sebelum tiga bulan hubungan kita kandas, kata hatiku.

"Aku tidak terlalu suka mengumbar status," kilahku menyeringai.

Dia menunduk.

Ah, gadis ini, selalu membuatku merasa dia terlalu lemah, bahkan dari perasaannya sendiri.

"Kalau kamu, sedang apa disini, sendirian?" tanyaku, berusaha membuat suasana kelihatan normal, seperti sepasang teman lama yang baru saja ketemu setelah sekian lama.

"Aku?" dia terlihat bingung. "Oh, aku sedang berlibur. Jogja kota yang asyik untuk dikunjungi," ujarnya tersenyum. Ah, senyumnya masih seperti yang dulu, membuat hatiku cengar-cengir tak menentu.

"Kamu belum mandi," tukasnya tiba-tiba.

Aku menunduk, memerhatikan baju lusuh yang kukenakan. Aku terkekeh. "Maklum aku begadang semalaman," ucapku jujur.

"Oh ya? Kamu begitu asyiknya bekerja, hampir-hampir tidak tidur? Hebat sekali!" pujinya. Ya, aku menganggapnya sebagai sebuah pujian.

Ini karenamu, Ta, untuk melupakanmu dan kenangan tentangmu, lagi-lagi hatiku tidak bisa bohong. Dia menatapku dalam diam.



FF berantai.
Kisah sebelumnya.

Monday, February 13, 2012

Dia

Aku memandang jauh ke depan, ke titik terjauh yang dapat dijangkau pandanganku, ke suatu titik di garis horizontal yang berwarna biru. Biru sebiru langit, biru sebiru laut.

 

Hari ini cerah, seperti hatiku yang cerah. Matahari bersinar tanpa sungkan-sungkan membuat angin berhembus sepoi-sepoi. Aku sedang bersuka hati sebab sedang berlibur bersama pujaan hati.

 

Aku harus menikmati hari ini, karena mungkin tidak akan terulang lagi. Kurasakan hembusan angin yang meniup-niup ujuang rambutku. Kurasakan setiap sensasi dingin yang menjalar. Aku melompat, melempar batu, menulis namaku dan namanya di pasir. Kenangan ini tak akan kulupa, semoga, karena aku tak bisa berjanji, aku tak pandai berjanji.

 

Kulihat dia yang sedari tadi mengikutiku, menikmati angin sepoi-sepoi seperti yang aku lakukan. Rok panjangnya terayun-ayun dimainkan angin. Rambutnya yang digerai panjang tampak berantakan, namun ia tetap cantik, selalu, seperti biasa. Betapa cantik dia.

 

"Indah yaa.." serunya yang kini berdiri di sampingku.

Aku mengangguk. Takjub melihat wajahnya yang bersinar di tengah kemilau air laut yang biru.

"Eh, bengong aja!" ditepuknya pundakku dan menghentikanku dari tindakan memandanginya lekat.

"Makasih ya uda ajak aku liburan ke pantai yang indah ini," ku dengar ucapannya yg tulus.

"Sudah seharusnya aku membawamu kesini, ini kan janji kita berdua," kilahku.

"Yah, walaupun sudah janji, tapi kalau tidak ditepati kan sama aja.." dalam hati aku mengiyakan.

 

"Sebenarnya ada yang aku sembunyikan selama ini terhadapmu."

Ku dengar ia berujar. Dia tampak malu-malu. Aku pun ada, ucapku dalam hati.

"Apa yang kamu sembunyikan selama ini dariku?? Apa aku tidak layak disebut sahabatmu?" aku pura-pura marah.

Dirangkulnya aku dengan manja, seperti sebelumnya, hatiku bergetar.

"Aku sedang suka seseorang."

Glek!

Hatiku berdebar tak karuan. Siapakah yang disukai oleh sahabatku yang cantik jelita ini? Yang hatiku telah penuh dengan keceriaannya? Mungkinkah ..?

 

Dilepaskan rangkulannya, aku merasa hampa. Kini ia tertunduk.

"Siapa?" Akhirnya suaraku keluar juga.

Dia menggeleng, tampak ragu.

Aku sebenarnya tidak ingin menanyakannya lagi, aku takut aku akan terluka. Sakit. Tapi aku tak cukup mampu mengusir rasa ingin tahu yang mendalam secara tiba-tiba di benakku.

 

"Hey, masih menganggapku sahabat?" kali ini aku berusaha menahan nada agar tidak terlihat berlebihan.

Dia masih menggeleng di tundukkannya.

Kuraih dagunya, "Hey, apa yang kamu takutkan dariku, Gadis kecil?" kataku memandang ke kedalaman matanya. Cerah.

"Kamu janji ga akan ketawa mendengarnya?" ditatapnya mataku, memintaku untuk berjanji.

What the? Mengapa aku harus berjanji untuk tidak tertawa? Aku menjadi penasaran siapa yang ada di balik hatinya saat ini.

Apa dia seseorang yang lucu? Berbagai lelaki berkelabat di kepalaku. Atau lelaki yang ia sukai adalah aku?

Tidak mungkin! Pikiran negatif ini harus segera aku singkirkan sebelum ia masuk lebih dalam ke kepalaku.

 

Kini ia melangkah menjauh dariku. Kukejar ia. Dan ku sentuh tangannya. Ia berhenti. Menatapku dalam. Aku semakin gundah. Ada apa gerangan yang terjadi pada sahabatku yang cantik jelita ini?

 

**

 

Bukan, bukan suasana seperti ini yang aku inginkan saat memberitahunya. Garis pantai tanpa batas, debur ombak yang menyapunya terus menerus serta langit biru yang menaungi kepala kami. Bukan, bukan di tempat seindah ini aku akan menyakitinya. Bahkan, sampai detik ini aku sudah melihat jelas kekecewaan di wajahnya. Aku benar-benar takut akan menghancurkan hatinya.


Aku tahu, sudah sejak lama. Aku bisa membacanya dari gelap mata sedalam sumur yang dia punya, mata yang sudah bertahun-tahun menatapku hangat dan membuatku terhanyut di dalamnya.

"Kita sahabat, bukan?" pikirku. Pertanyaan yang selalu saja kuulang agar bunga-bunga di hatiku berhenti bermekaran, agar keinginanku untuk memilikinya lenyap seketika.


"Kamu pasti kenal Harry, teman sekantor yang sering aku ceritakan." Akhirnya keberaniaan itu muncul, dan seperti yang sudah kuduga, wajahnya berubah mendung. "Dia mengatakannya kemarin, aku pikir keputusanku benar, aku menerimanya."

 

"Ha-Harry?Laki-laki itu?"

"Iya, laki-laki itu. Selama ini dia begitu baik, begitu perhatian, tapi sepertinya mataku tertutup sesuatu sampai aku tidak sadar kehadirannya."

Kulihat wajahnya berpaling ke arah laut, ada kesedihan lagi di sana. "Kamu marah? Aku pikir kamu akan mentertawakanku tadi."


Wajahnya berpaling kembali ke arahku, agaknya ada senyum kecut yang berkelebat di raut menyejukan miliknya."Hei, aku sahabatmu, bukan? Aku harus bahagia untuk semua kebahagiaanmu. Benar?"

Ada kepura-puraan, ada keterpaksaan, ada kata 'harus' yang menjelaskan semuanya.

"Dan jangan bertingkah seperti orang asing pada sahabatmu sendiri, aku akan tersinggung kalau kamu melakukannya lagi," lanjutnya dengan nada bergurau. Lalu pelukannya menyelimuti tubuhku yang menegang ketakutan, aku menghancurkan hatinya, dan sudah kulakukan.

Aku menyayanginya, jelas. Aku mencintainya, pasti. Tapi aku adalah sahabatnya, dan aku melaksanakan sumpahku untuk tidak memberinya ruang paling dalam di hatiku.

Maaf.

 

 

 

 

 

10 Februari 2012

Nulis Duet

Tema: Persahabatan

Oleh @ririntagalu dan @_raraa