Ririn's Page

Monday, January 21, 2013

Menanti Lamaran

Semuanya sudah berkumpul di ruang makan keluarga. Keluargaku dan keluarga dari kekasihku, Edo.

Kami sudah sering melakukan acara makan malam bersama seperti ini, dengan tujuan mempererat tali kekeluargaan di antara kami.

Ayahku dan ayah Edo adalah teman sejak masa kuliah dulu, jadi keluargaku sangat akrab dengan keluarga Edo.

Khusus untuk kali ini, kami makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun Ibu Edo, yang ke lima puluh.

Edo berbisik padaku, "Lihatlah apa yang aku beli tadi siang." Dia menunjukkan sebuah cincin bermata yang sangat indah.
Hatiku tak karuan. Jantungku berdetak cepat.

'Tidak secepat ini, Edo,' hatiku berbicara. 
Namun, hatiku bergembira tak karuan. Edo akan melamarku, malam ini juga, di hadapan semua anggota keluarga kami. Aku tak pernah memimpikan hal seindah ini.

"Bagaimana menurutmu?" bisiknya pelan.
"Indah, sangat indah," kataku kegirangan.
"Apakah ibu akan senang jika aku memberikan ini sebagai kado ulang tahunnya?" bisiknya lagi, senyum mengembang indah di bibirnya.
Aku bengong. Aku sudah salah paham.
"Ibu?"
"Ya, ini kado yang ingin aku berikan pada ibu malam ini. Bagaimana menurutmu?"
Tetiba aku salah tingkah. Lalu, buru-buru ambil langkah seribu, meninggalkan jamuan makan malam. Rasanya pipiku merah sekali, menahan malu. 

"Rena, mau kemana?" ku dengar teriakan Edo dari belakang.


#13HariNgeblogFF #9
196 words
--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, January 17, 2013

Bales kangenku, dong.

Aku menatap matanya, memasang senyum semanis mungkin yang aku bisa. Tapi matanya tidak memandang kemana yang aku inginkan. Matanya tidak memandang ke dalam mataku, dan ia tidak berkata, 'I miss you too …' seperti yang aku inginkan.
'Buku itu.' geramku.

Ku tutup buku yang ia baca, dengan paksa, sekali hentak. Ia terkejut.
"Ada apa?" tanyanya seolah aku melakukan hal yang sangat salah. Seolah ia akan marah. Seolah ia akan menerjangku dengan kata-katanya yang seperti pisau, menusuk. Tajam.

Tapi, aku tidak peduli jika ia marah. Aku tidak peduli jika ia akan cerewet berkata ini dan itu. Aku sudah tidak diacuhkan sejak aku tiba satu jam yang lalu. Aku hanya ingin diperhatikan. Rencana awal bertemu adalah melepas kangen, melepas rindu yang membelenggu. Tapi sayang, semuanya sia-sia.
Aku tidak diacuhkan. Tidak diacuhkan, sama seperti dianggap tidak ada. Ini semua karena buku sialan bersampul biru itu. Buku yang berada di genggaman tangannya. Buku yang sedang ia baca. Ingin ku robek buku jelek itu, dan kubuang ke tempat sampah.

Tapi dia tidak marah. Ia kembali menatap buku itu. Ia kembali tidak acuh akan keberadaanku disini, bersamanya. Ia sama sekali tidak peka kalau aku sedang ingin diacuhkan, diperhatikan.
Aku manyun, bibirku maju lima inci. Bibirku bergerak membentuk tiga kata, "Bales kengenku dong," berkali-kali. Dia masih tidak peduli. Ia masih sibuk membaca lekat-lekat buku itu.

Ku coba menarik perhatiannya dengan menyentuh jari-jemarinya lembut. Ia tidak terpengaruh. Masih terpaku dengan buku biru itu.

Aku kesal. Aku benci. Ingin ku robek buku biru itu sekarang juga. Aku menendang kakinya, ia mengeluh kesakitan, mengerang menerjang.

"Kamu kenapa sih?" bahuku dicengkeram, diguncang olehnya. Buku biru sudah terletak dengan manis di atas meja. Aku tersenyum. Aku senang. Aku menang. Ternyata aku berhasil menarik perhatiannya dan melupakan buku biru itu.
"Bukankah kamu yang meminta aku untuk tidak berbicara denganmu jika aku belum selesai membaca buku tulisan tanganmu?" kata-katanya menghantamku, menghujamku. "Sekarang, apa maumu?" katanya lagi padaku.
Aku tergagu.

"Ku mohon jangan buat aku kalah taruhan, Sayang.."
Seikat uang berwarna merah bertengger di atas meja.



--
331 words


http://about.me/ririn


Wednesday, January 16, 2013

teman minum kopi

Secangkir coffee latte lagi-lagi menemani ku kala senja kini.
Sesosok lelaki datang menghampiri. Kemudian duduk bersama, di sebelah kiri.

"Eh, tadi aku ketemu sama Nia," ucapku ketika senyumnya sudah menghias pandanganku.
"Mmmh.." ucapnya tidak acuh.
"Dia kirim salam sama kamu," aku masih senyum-senyum sumringah.
"Mmmh.."
"Kok mmmh aja? Ga ada tanggapan, gitu?" tanyaku penasaran.
"Trus, kamu mau aku jawab apa?" tanyanya tanpa perlu menatap wajahku.
"Balik salam gitu? Atau apa gitu .." ku tatap matanya untuk melihat apa yang sedang ia rasakan. Aku tidak menemukan apa-apa.
"Ya sudah, sampaikan saja apa yang menurut mu baik," ia seolah pasrah, seolah senang, aku tak memiliki kesimpulan yang tepat.
"Baiklah. Kalau gitu, akan ku sampaikan kalau kamu juga suka sama dia," kali ini aku ingin ia menyenangkan hatiku dengan berkata tidak.
"Jika itu baik menurutmu, katakan saja demikian," dan hatiku patah.
"Ihk, kamu ga asyik banget, ga ada perlawanan banget," aku mencoba membuatnya berkata tidak.
"Lho, maksudnya?" Kini dia menatapku, heran.
"Ya, katakan kalau kamu gak setuju, kamu gak suka, atau apa kek," aku tahu aku sudah bernada memaksa. Ia menatapku heran.
"Gak mau ah," katanya tanpa sadar bahwa ia sudah menyakitiku.
Aku terdiam. Mungkin ia memang suka sama Nia. Aku salah sangka. Hatiku patah.

Ku teguk coffee latte-ku hingga tetes terakhir.
Aku ingin cepat berlalu dari hadapannya.

"Mau kemana? Buru-buru amat.. Aku belum mesan juga," ia menarik tanganku ketika aku hendak beranjak.
Aku menyerah dan duduk kembali.
"Tadi aku juga ketemu Nia," akhirnya ia bicara juga ketika hening sudah merajai kami beberapa saat.
Aku terperangah. Pantesan ia cuek saja tadi, ternyata mereka sudah saling bicara, dari hati ke hati, mungkin.
"Lalu?" aku berpura-pura senang, ingin mengorek lebih dalam.
"Dia tidak bicara banyak. Apa dia pendiam?" 
"Enggak. Mungkin sama kamu, dia jadi pendiam," kataku sambil tersenyum.
"Aku tidak suka," katanya berterus terang.
Aku merasa sedikit senang.

"Kalau gitu, kamu suka sama siapa?" Upps, aku segera menutup mulutku. Pertanyaan ini begitu saja keluar dari bibirku.
Ia menatapku lagi, heran.
"Aku sedang mati rasa," kilahnya sedih, menangkupkan wajahnya di meja.
Hatiku layu kembali. Ia tak memiliki rasa yang sama.

Ku sentuh bahunya.
"Tenanglah, hatimu akan menemukan pasangannya tepat pada waktunya, Ia akan bangkit ketika sudah saatnya," kataku menghibur dirinya, sekaligus diriku juga.
Ia mengangkat wajahnya, tersenyum melihatku.
Dan, sepersekian detik kemudian, aku sadar bibirnya sudah hinggap di pipi merah-jambuku.
"Makasih, Sayang. Kamu sahabatku yang paling pengertian."
Pipiku berubah warna menjadi merah. Mungkin inilah posisiku saat ini, menjadi sahabatnya dan mendapat perhatiannya, walau hanya sedikit.
Tidak apa-apa, aku sudah sangat senang hari ini.

Ku pesan vanilla latte keduaku hari ini untuk menemaninya minum kopi.

Monday, January 7, 2013

Aku lapar

"Aku lapar," tangannya yang kurus memeluk perut buncitnya.
Aku memandangnya kasihan.
Kurogoh kantong lusuhku, selembar uang seribu jatuh.
Ku tatap wajah anak itu lagi, uang seribu tak akan cukup membantunya.
"Tunggu sebentar, akan ku carikan makanan," kataku menyentuh tangan kecilnya. Ia hanya mengangguk pelan.

Aku berlari, menyusuri kolong, menapaki lorong.
Rintik-rintik berjatuhan di atas kepalaku, aku tidak ambil pusing.

Di ujung gang kutemukan seorang lelaki tua yang sedang mencuci piring di dekat gerobak jualannya.
Sebuah ide muncul di kepalaku.
"Permisi, Pak, Apakah saya dapat membantu Bapak?"
Ia sedikit terusik. Diliriknya aku, ditatapnya dari bawah sampai ke atas, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah! Jangan membuat onar disini!" hentaknya.
"Aku hanya ingin makan Pak, dapatkah aku mendapatkan makanan jika aku membantu Bapak membersihkan piring-piring Bapak?" kataku tak beranjak sesenti pun.
"Kau kira aku bodoh! Kau pasti mau mencuri, kan? Pergi kataku!" bentaknya lebih keras.
"Tidak, Pak, saya sungguh-sungguh. Adik saya sudah menunggu di ujung gang, dan dia sangat kelaparan," kataku sedikit terisak, seperti hendak menangis.

Ia menatapku lekat-lekat. Beberapa lama dibiarkannya aku tak berkutik di bawah tatapan tajamnya.
"Baiklah. Anggap saja ini untuk adikmu. Jika satu buah piring jatuh dan pecah, aku akan menendangmu dari sini," bentaknya, tapi aku tahu kali ini lebih lembut dibanding sebelumnya.
Terima kasih Tuhan.

Aku segera membersihkan piringnya dengan hati-hati, sangat hati-hati. Satu per satu sudah bersih, hingga semuanya sudah berada di rak, tempat yang tepat.
Aku berdiri, menatap lelaki tua itu.
Ternyata di atas meja, di dekat lelaki itu sudah tersedia sebungkusan plastik.
"Ambillah, dan beri makan adikmu," katanya, masih bernada kasar. Aku maklum.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku lalu menyentuh tangannya ingin mengucapkan terima kasih seperti yang dilakukan anak-anak sekolahan ketika orang tua mereka mengantar mereka ke sekolah.
Seperti tidak siap, lelaki tua itu menepis tanganku.
Aku tersentak.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku sekali lagi, lalu aku berlari. Kembali ke lorong, ke kolong, ke tempat anak kecil itu menunggu.

Ku lihat ia masih dalam posisi yang sama sebelum aku meninggalkannya. Perut kecilnya diselimuti tangan kurusnya.
"Hei, aku membawa makanan untukmu," kataku.
Ia mengangkat wajah tirusnya dan menatapku heran seakan tak percaya.
Segera ku serahkan sebungkus nasi lontong kepadanya.
Ternyata oh ternyata, lelaki tua itu baik sekali, dia membuatkan dua bungkusan, untukku, dan untuk anak kecil ini.
Aku bersyukur untuk hari ini, untuk kebaikan lelaki tua itu. Semoga ia diberkati.
Kami makan dengan lahap malam ini.


Once upon a time

Once upon a time ..
Adalah seorang gadis ..
ia terbang ke ibukota untuk mewujudkan cita-citanya..
Sesampainya di ibukota, mamaknya meminta ia kawin dengan orang Batak.
Stop!

Ini bukan film 'Demi Ucok'.
Ini juga bukan sebuah film.

Gadis tersebut tadi sedang menulis sesuatu.
Dia sedang menulis tentang ..
Mau tahu? Apa mau tahu banget?
Stop!

No alayer allowed to write in this blog.

Okay, lanjut..
Gadis itu sedang menulis sebuah cerita tentang ..

Once upon a time ..
Adalah seorang gadis ..
ia terbang ke ibukota untuk mewujudkan cita-citanya..