Ririn's Page

Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan

Suara ombak membangunkanku. Aku segera keluar dari tenda.
Masih pagi benar. Matahari baru saja menyembulkan ujung senyumnya. Kuning keemasan menghiasi langit. Indah. Mataku terpaku menatapnya.
Angin semilir, mengacak-acak poniku. Menyusuri pantai. Menyentuh riak-riak kecil dengan kakiku dan ombak berlari-lari mengejar. Menyenangkan.

Liburan kali ini tidak seseram dalam bayanganku. Pulau Lengkuas. Mendengarnya membuat berpikir bahwa disini bakal tumbuh tanaman seperti lengkuas, jahe, atau semacamnya.
Dan hal itu membuat perspektif awalku jelek. Ternyata aku salah. Salah besar. Tempat ini indah. Sangat indah.
Jika engkau berkata kamu sudah mengelilingi seluruh pantai di seluruh dunia, tapi tidak pernah ke Pulau Lengkuas ini, di negaramu sendiri, aku katakan padamu, kamu akan sangat menyesal. Karena tempat ini adalah surga nun indah.

Aku berjalan agak jauh meninggalkan tenda ke arah mercusuar. Tadi malam aku dan kawananku tiba sudah larut malam sehingga kami tidak sempat menginjakkan kaki di mercusuar ini.

"Papa, disini bisa snorkling gak?" terdengar suara gadis kecil, rasa penasaran membuatku menoleh ke arah datangnya suara.
Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua sedang berjalan dengan papanya. Dia lucu sekali. Usianya sekitar 4-5 tahun, menurut perkiraan kasarku.
Terlihat Papa anak itu mengangguk. Senyum mengembang di bibir gadis kecil itu.
"Papa, nanti kita ke mercusuar itu ya, Pa, aku mau liat pemandangan luas."
Lagi-lagi sang papa mengangguk mengiyakan.
"Trus ada harta karun gak, Pa?"
Aku tertawa, pelan tentu saja. Aku tidak ingin ketahuan sedang menguping pembicaraan seorang ayah dan putri kecilnya.
Aku menjadi berpikir, apa benar ada hal--hal semacam itu di tempat ini? Mmmh, mungkin aja sih ada harta terpendam disini.
Secara tidak disengaja, aku menjadi teringat Conan Edogawa dan Detektif Cilik yang sedamg liburan dan bermain permainan cari harta karun sampai akhirnya cCnan menemukan kapal pembajak laut. Aku melupakan judulnya. Ah, nanti aku ingin menonton film itu lagi dan menemukan cara mengetahui letak harta karun di tempat-tempat terpencil seperti ini.
"Mungkin ada sayang," jawab papanya.
"Dimana?" anak itu tidak dapat membendung rasa penasarannya yang besar.
Terlihat sang papa sedang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari putri kecilnya.
Aku tertawa dibuatnya.

"Hey, Nona," sebuah suara menghentikanku.
Aku menoleh. Kaget dan takut. Kaget karena tiba-tiba dipanggil dan takut karena bisa saja sang papa salah mengartikan tertawaku.
"Aku dan putriku ingin ke mercusuar, maukah kamu ikut dengan kami?" sang papa yang tadi berbicara dengan sangat antusias.
Gadis kecil itu juga mengangguk antusias.
Ada yang aneh dengan mereka. Mereka sangat bersemangat kelihatannya. Dan aku tidak sanggup untuk berkata tidak.
"Rasanya menyenangkan," jawabku. Lalu kami berjalan beriringan menuju mercusuar yang gagah perkasa.
"Mercusuar ini adalah peninggalan bangsa Belanda," kata sang papa seperti seorang kurator kepadaku dan putrinya.
"Kalau tidak salah, mercusuar ini dibangun sekitar tahun 1882."
"Wah, sudah tua dong Pa," timpal gadis kecil.
"Siapa namamu, Gadis Kecil?" tanyaku.
"Lenny, tante."
"Kok manggil tante? Manggil kakak saja," dan itu membuat kita bertiga tertawa.
"Oh, maaf, saya seharusnya memperkenalkan diri sebelumnya. Aku Teddy, dan ini putri kecilku. Seperti yang kamu dengar, namanya Lenny."
"Aku Rena. Kebetulan sedang liburan disini."
"Oh ya? Sama dong. Kalian harus tahu, bahwa mercusuar ini memiliki 17 lantai lho," jawab sang papa melucu.
"Wah, capek dong ya, kalau harus naik tangga." Dan sang papa hanya tertawa menjawab putri kecilnya.

"Eh, kita sudah sampai," seru Lenny ketika kami sudah berada di lantai paling atas.
"Wah, menyenangkan sekali, Papa. Melihatnya setiap hari tidak membuatku bosan."
Ia melompat-lompat kecil ke arah jendela.
"Hati-hati, Lenny. Awas jatuh lho."
"Iya Papa," ucap gadis itu tetapi tindakannya tidak ia hentikan.
"Lenny, jangan nakal, Sayang. Berdiri yang benar," kata sang papa lagi.
Lenny sepertinya sedang asyik menikmati lompat-lompatnya sehingga tidak mendengarkan kata-kata papanya.
Dan, tiba-tiba saja, ia kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke arah tangga.
"Lenny," suara papa-nya menggelagar.
Syukurlah aku menarik tangannya.
Tapi aku tidak bisa menjaga keseimbangan, dan membuatku sedikit terhuyung.
Oh, tidak, aku akan jatuh.
"Tolong," teriakku parau.

**

"Rena, bangun. Kamu kenapa?" bahuku digoncang-goncang.
Aku baru sadar, aku masih berada di dalam tenda.
--

Tittle : Pagi Kuning Keemasan
Setting : Pulau Lengkuas, Belitung


641 words

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau

Jam Gadang sudah berdentang 11 kali, sekitar dua puluh menit yang lalu. Sudah pukul 11 siang lewat dua puluh. Itu artinya aku sudah duduk tanpa melakukan apa-apa di depan jam besar nan perkasa ini selama 1 jam. Aku menatap nanar, sekelilingku sedang asyik menikmati makan siang, berfoto atau bersepeda berkeliling.
'Semoga mereka bahagia,' bisikku kepada angin semilir.

Tatapanku kembali mengarah ke Jam Gadang di depanku. Dia tak bergeming. Masih tetap angkuh, seperti sebelumnya.
Aku menarik nafas banyak, seolah udara akan segera habis sebentar lagi. Aku berharap keangkuhan itu segera lenyap.

Aku raba perlahan bagian dadaku. Detik-detik halus di dada menandakan aku masih hidup, dan sebentar lagi harus menunaikan tugas mulia. 'Demi bangsa dan tanah air', batinku.

Debaranku semakin cepat seiring berdetaknya Jam Gadang. Satu jam lagi, kurang dari satu jam lagi, setelah lampu di Jam Gadang menyala hijau. Ya, itu tanda yang harus aku tunggu. Hijau. "Mengapa hijau?" pernah tanyaku.
Jawaban atas pertanyaanku diawali dengan senyuman, lalu suara menyusul, "karena bumi ini hijau."
Aku tidak perlu bertanya apa-apa lagi. Jawaban itu sudah sangat cukup buatku. Mendengarnya, aku ikut tersenyum.

Pandanganku menyapu setiap sudut, setiap jengkal pemandangan di hadapanku, yang kurang lebih berukuran 13 x 4 meter ini*. Semuanya akan selesai. Sebentar lagi.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Keringat bercucuran dari punggung.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Keringat bercucuran dari dahi.

Sepuluh menit berlalu dengan sangat lambat.
Gemuruh di dadaku tak mampu ku bendung.

Lampu di Jam Gadang sudah menyala hijau. Cantik. Sudah dimulai. Harus aku mulai.
Aku berjalan dengan sangat perlahan. Menapaki jalan kotak-kotak secara menyilang. Seorang badut menghampiriku. Seketika aku menjadi sangat gugup. Ternyata, dia hanya menawarkan foto bersama.
Aku menggeleng lemah. Dia berlalu. Aku menghela nafas, lega.
Aku melanjutkan langkahku, kini lebih mantap.
'Tinggal sedikit lagi,' batinku. Dan aku sudah berada dalam satu langkah dengan Jam Gadang.
Dentang pertama sudah menggema.
Detik-detik di dada semakin cepat. Aku memasrahkan diri. "Semoga aku diterima di sisi-Nya."
Lalu detik-detik itu meledak, tepat ketika aku sudah memeluk Jam Gadang, tepat ketika ia berdentang yang kedua belas kalinya.





*) dari wiki




Tittle: Menunggu Lampu Hijau
Setting : Jam Gadang, Bukit Tinggi
#1 #15HariNgeblogFF2 
337 words

Tuesday, June 5, 2012

selamat UT

Hari-hari berlalu tanpa engkau perlu ragu
Menit-menit bergulir tanpa perlu ditunggu
Detik-detik berdetak tanpa perlu menunggu

Selamat ulang tahun buatmu, kakakku
Selalu menjadi bagian dari kasihku
Semoga engkau berkenan atasku
Yang mengirimkan puisi kepadamu


--
teruntuk kakakku sayang, ND