Ririn's Page

Thursday, February 28, 2013

24 #1

"Aku menantangmu," serunya tiba-tiba sambil membuat jari-jarinya membentuk huruf L dengan jari telunjuk mengarah padaku.
Aku melotot, memandangnya heran.
"Aku menantangmu untuk tidak tidur selama 24 jam, bagaimana?"
Aku masih memasang wajah melongo, belum mengerti apa tujuan perkataannya.
"Kamu sanggup?" tanyanya tanpa pikir panjang, tanpa peduli apa aku mengerti maksud pertanyaannya.
"Apa maksudmu, Radi? Aku tidak mengerti," ucapku lalu memalingkan wajah ke arah buku yang sedang aku baca.
Ia mengambil buku yang ada di tanganku, menutupnya tanpa perlu meletakkan pembatas buku yang sebelumnya aku letakkan di atas meja. Ia tidak menghiraukan perkataanku untuk selalu menggunakan pembatas buku, atau mungkin perhatiannya tidak menangkap ada sebuah pembatas buku berwarna biru di atas meja. Mungkin saja. 
Kasihan kamu, pembiru, pembatas biru, aku akan mengambilmu nanti.
"Aku menantangmu untuk tidak tidur selama 24 jam, kamu terima tantanganku?" ia mengulangi perkataannya.
"Dalam rangka apa kamu membuatku melakukannya?" tanyaku masih tak mengerti kemana tujuan pembicaraan ini.
"Kalau kamu setuju, baru aku sebutkan penjelasannya," ucapnya membuat aku sedikit kesal. Bagaimana mungkin aku mau melakukan tantangan gila yang ia sebutkan. Tidak tidur dalam waktu 24 jam? There's something wrong in here, in his mind, of course.
Aku menggeleng.
"Jika kamu tak sebutkan penjelasannya, sorry to say, aku menolak," kataku tegas. 
Aku mengambil buku yang berada di genggamannya, dan menyisipkan pembiru ke dalam halamannya yang ku pilih secara acak.
Mood membacaku hilang sudah ketika Radi mengambil buku dari tanganku. Aku ingin berlalu dari hadapannya, ketika tiba-tiba tangannya berada di atas tanganku.
"Hanya 24 jam, please," ia memelas. Wajahnya dibuat sama seperti wajah Puss in the Boots. Siapa yang tidak akan menaruh iba pada orang dengan tampang seperti itu?
Aku menatapnya, lama. Semakin lama, semakin besar rasa ibaku. Sahabatku yang satu ini memang agak aneh. Aneh atau unik, bagiku tidak jauh beda, untuk kasusnya. Ia selalu ingin tampil beda, anti main stream, entah istilah apa lagi yang cocok untuknya.
Aku menghela nafas. Aku harus memaklumi keunikan sahabatku yang satu ini.
"Baiklah, aku bersedia," akhirnya aku berkata, dengan setengah suara.
Ia menggenggam tanganku seolah berjabat tangan.
"Deal?"
"Deal!"
perjanjian sudah dibuat, aku tidak bisa menolak lagi, seperti sedang bermain di dalam permainan Running Man, sekali pintu sudah tertutup, tidak akan bisa mundur lagi.
"Penjelasannya?" tanyaku, ia hanya tersenyum. Aku mulai memikirkan hal yang aneh-aneh.
"Kita akan melakukan hal gila dalam 24 jam, dihitung mulai dini hari nanti, pukul 0," senyum simpulnya membuatku was-was. Aku kehilangan akal, tidak dapat menebak hal gila apa saja yang akan ia lakukan.
Aku hanya bisa menghela nafas berat. Ini di luar alam pikiranku. Kegilaannya tidak dapat aku prediksikan.
"Mengapa harus 24?" tanyaku, yang ia balas dengan senyuman simpul yang hampir sama dengan yang sebelumnya.
Aku menundukkan kepala di atas meja. Ini menjadi suatu kesalahan besar yang aku buat, menyetujui ide gilanya, eh, bukan saja menyetujui tetapi ikut di dalamnya.


24
Bagian 1

--
http://about.me/ririn


Friday, February 22, 2013

tentang rindu

Ku buka buku harianku yang sudah kumal. Ingin aku menyimpannya dan menggantinya dengan yang baru, namun kenangan dari setiap halaman di buku itu membuatku enggan. Setiap helainya memberiku kehangatan. Setiap halamannya membuatku teringat akan dia. Setiap barisnya membuatku tersenyum mengingat kenangan bersamanya. Setiap kata membuatku mengingat sosoknya, bahkan setiap hal terkecil yang melekat padanya. Setiap rindu terhadapnya tergantikan.

Ini hari ke dua puluh dua aku tidak melihatnya. Sudah tiga minggu lebih satu hari sejak peristiwa itu. Peristiwa dimana dia mengucapkan dua kata yang paling menyakitkan yang pernah aku dengar darinya. Dua kata. Dua kata sudah sangat cukup membunuhku.  Dua kata.

**

"Hei,  kamu ada disini?" ucapku senang ketika melihat dia sudah berada di depan pintu rumahku. Siapa yang tidak akan senang melihat orang yang sangat dekat berada di depan rumah tanpa ada aba-aba dulu? Serasa diberi kejutan. Aku merasa diberi kejutan.

Dia hanya tersenyum menjawab pertanyaanku. Tipis. 

"Ada apa?" tanyaku ketika menyadari keanehan dari kelakuannya. Biasanya ia akan duduk di bangku kebesaran yang ada di teras, tersenyum manis kepadaku, dan menyebut namaku dengan lembut, tapi tidak kali ini.

Aku melangkah mendekatinya, berdiri di hadapannya, ingin melihat ke dalam matanya, ada apa gerangan disana.

Tetiba, ia memelukku, hangat. Lama.

Aku tergugup. Ini pelukan pertama yang aku dapat dari dirinya. Dan pelukan yang paling lama dari yang pernah ada, yang pernah aku kecap.

"Selamat tinggal," ucapnya, lalu berbalik, melangkah cepat, bergegas meninggalkanku.

Aku masih berada di angkasa ketika ia mulai melepas pelukannya.

Ketika aku sadar dan kembali ke bumi, dia sudah tidak ada lagi di hadapan. Sosoknya sudah berada jauh dari jangkauan. Ku tatap ia dari kejauhan. Siluetnya mulai menjauh, semakin jauh, semakin kecil, semakin jauh dariku. Hatiku serasa dicabik. Sosoknya meninggalkan bekas di hati. Bekas yang tidak dapat sembuh, tidak akan.

Pelukan yang aku anggap pertama dari dirinya telah menjadi pelukan terakhir sejak itu.

Dua kata. Hanya dua kata dari dirinya, sudah cukup membunuhku.
Seakan aku mati saat itu.

## 

Aku buka sebuah lembaran. Ada tertulis namanya. Ryan Marsh.

**

"Hei, Cantik. Sedang sendiriankah?" Seperti biasa, dia akan menyapaku dengan kata 'cantik' yang lembut. 
Aku akan membalasnya dengan senyumanku yang paling manis. Dengan segera, dia akan mengambil posisi duduk di teras, tepat di sampingku.

Aku senang jika dia datang mengunjungiku. Ia biasanya akan membawakan makanan kecil atau sekuntum bunga, atau apa saja, akan ia bawa, untukku tentu saja. Apa saja dari dia, selalu menyenangkan hati.

"Kali ini aku akan membacakan sebuah cerita untuk mu," ujarnya dan membuka lembaran dari buku yang ia bawa. Aku segera mengambil posisi nyaman.

Ia akan membacakannya dengan sangat jelas, dengan suara jenaka dan menirukan setiap nada sesuai dengan perannya.

Kali ini ia membacakan Beauty and The Beast. Sebuah dongeng dari negeri Barat, tentang seorang pangeran yang dikutuk menjadi seorang monster, dan hanya cinta sejatilah yang dapat memunsnahkan sihir buruk rupa dari padanya. Cinta yang kemudian didapatnya dari seorang putri yang baik dan murni hatinya. Dan kemudian mereka hidup bahagia selamanya. Like always. Like all fairy tales.

Ini bukan kali pertama aku mendengarnya, tapi apa pun yang ia bacakan membuatku seperti baru pertama kali mendengarnya. Ia mengaum menirukan suara auman The Beast, dan berbicara dengan nada tinggi ketika menirukan Si Putri Cantik.

Perasaan nyaman selalu datang jika ia berada di sekitar. Perasaan nyaman atau entah apa, aku belum menemukan kata yang tepat untuk apa yang aku rasa.
Ah, andaikan hari ini tak pernah berakhir, aku akan seperti putri yang ada di dalam dongeng itu. Happily ever after. Andaikan ..

##
Aku membuka lembaran yang lain.

**

"Ada yang bisa aku bantu?" sebuah tanya seperti ditujukan padaku. Aku menoleh. Ternyata seorang lelaki sedang menoleh kepadaku dengan pandangan menunggu sebuah jawaban. Aku hanya memandangnya, melihat ke segala sudut di wajahnya, ke kedalaman matanya, ke hidungnya, dan ke pipinya hingga wajah itu menempel di ingatan.

Aku terpana, lalu mengangguk.

Aku kewalahan dengan buku-buku yang aku bawa. Semua buku yang berada di genggaman adalah titipan dari teman-teman yang tidak punya waktu ke toko buku. Sekitar sepuluh buku di tangan ternyata sudah membuat kewalahan.

Dengan sigap ia mengambil buku-buku itu dari tanganku. 
"Terima kasih," ucapku dengan ucapan penuh syukur. Ia tersenyum, manis, semanis teh buatan ibu yang aku minum tadi pagi.
Aku sangat bersyukur ada seseorang yang masih memiliki kebaikan hati untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

"Ryan," ucapnya mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku memandangnya, belum menemukan maksud dari tindakannya.

Apa dia ingin membeli buku dengan judul 'Ryan'? pikirku dalam diam.

Ia menggerakkan dagunya, mengarah pada tangan kanannya yang menggantung.
Sebuah lampu seperti menyala di atas kepalaku. Namanya Ryan, ternyata.

Aku menyambut tangannya dan menyebutkan nama yang paling baik untuk diriku, bagi kedua orang tuaku, yang memberi nama itu kepadaku, "Cantik."

"Apa?" ulangnya, seakan dia merasa dia salah mendengar nama yang ku sebutkan.
"Namaku Cantik," ulangku, kali ini lebih mantan dan meyakinkan.

Ku lihat bibirnya membentuk huruf O. Sekilas senyum berada di balik bibirnya.

"Jangan tertawa, itu nama yang diberikan orang tuaku padaku," ujarku kemudian, ketika melihat gelagatnya yang mencurigakan. Aku curiga ia akan tertawa dengan sangat nyaring dan akan mengganggu pelanggan yang lain. Tentu akan sangat memalukan.

Benar saja, ia tertawa, tapi tawa yang ia tahan. Suara tawa yang tertahan.
"Serius, nama kamu itu?"

Aku memandangnya dengan tatapan marah.
"Maaf, maaf, baru kali ini aku mendengar ada orang yang bernama demikian. Maaf, aku tidak dapat mengendalikan diri," ujarnya kemudian. Suara tawa sudah tidak ada lagi di dalamnya.

"Apakah kamu akan membeli semua buku ini?"
Aku mengangguk. "Ini bukan milikku semua. Buku ini titipan teman-temanku." 
Ia lagi-lagi membentuk O dengan bibirnya.

Lalu, aku tersenyum. Ia tersenyum.

##

Itu kali pertama aku mengenalnya. Di sebuah toko buku, tidak jauh dari rumahku. Tidak jauh dari tempat dimana aku dan dia akan selalu menghabiskan waktu. 

Lembaran berikutnya sudah menanti dengan tidak sabar. Ia seakan berteriak, "aku aku, baca aku!"

Aku tersenyum.
**

"Aku suka pelangi," ujarnya ketika kami berdua terjebak di sebuah toko buku, yang tentu penuh buku. Hujan rintik di luar sana tidak mengijinkan kami keluar dari tempat ini.

Aku mendengarnya, tapi tidak menaruh perhatian lebih. Wajahku terpaku pada sebuah buku berwarna biru.

"Lihat itu," sikunya mengenai lenganku, wajahku terangkat, dan aku melihat hal terindah yang pernah aku lihat dari yang pernah ada. Pelangi. Melengkung indah di kejauhan.

"Pelangi itu adalah bukti dari sebuah janji yang tak akan pernah diingkari."
Ya, dia mengenalkanku pada pelangi, pada indahnya sebuah janji. Saat itu aku tahu aku sudah jatuh. Aku mengingatnya sebagai hari dimana aku mengenal sebuah rasa, yang aku tak tahu apa namanya, yang aku tak tahu akankah berbuah indah.
##
Kedekatan kami membuatku memahami indahnya hubungan yang dibentuk melalui keikhlasan, keramahan, dan kebaikan hatiSetiap hari, rasa yang timbul di hati-ku bertumbuh, mengakar dengan kuat, hingga aku yakin, perasaan itu tak pernah main-main.
**
Ku tutup buku harianku. Hari ini sudah cukup. Akan kulanjut esok hari. Akan ada hal-hal baru yang akan aku ingat kembali. Tentang rindu, tentang dia, tentang aku bersama dia, tentang dia ada untuk aku.

-- 
Jakarta, 22 Februari 2013
Ririn

Berdasarkan sebuah puisi "Isyarat Tak Bernama" dari Nova Damanik.
--

http://about.me/ririn


Monday, February 18, 2013

Dear Future Me

Dear Future Me,


I don't know why I'm writing this. But maybe one day, this will help you .

One day.
Another day.

When you're alone or when you need to be alone or when ever you want.

Be great.
Be tough.


You can be what ever you want to be.

Don't be afraid.
Just do it.


He loves you.. now and then.


Keep humble.



--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•