Ririn's Page

Thursday, May 14, 2015

Ingatan masa kecil

Aku duduk bersama teman-teman di sebuah taman, ingatanku entah mengapa jatuh ke peristiwa aku masih anak kecil, mungkin enam tahun atau sekitar itu.
Aku mengingat aku akan berangkat ke sekolah minggu bersama abangku, mungkin pukul 8 pagi, yah, mungkin, karena aku bukan orang yang ingatannya kuat.
Mama memberiku tiga ratus rupiah, uang yang sangat banyak waktu itu.

Ini durung-durung mu ya boru.
Aku hanya mengiyakan dan kemudian mengantonginya. Aku ingat aku memakai sebuah rok pendek berwarna hijau. Salah satu yang aku suka dari rok itu adalah punya kantong di kedua sisinya, kiri dan kanan. Aku memasukkan uang koinku ke kantong sebelah kanan.
Di dalam kepalaku, aku berpikir dengan cepat, aku akan memasukkan 100 untuk kantong persembahan, 100 untuk beli gulali, aku sangat suka gulali waktu itu. Dan 100 untuk ku tabung. Aku suka menabung, waktu itu. Time is change, dan aku sedikit banyak berubah soal menabung.

Aku tidak mengingat pasti apakah aku duduk di ruangan yang sama dengan abangku. Ah ya, mungkin kami berada di ruangan yang sama. Guru sudah berada di depan ruangan. Tak lama kemudian, pendeta huria datang, mmh, tidak biasanya. Aku tidak biasa berhadapan dengan beliau, jadi aku merasa sedikit tegang. Setelah ia cerita panjang lebar, ia berkata nyaring.
Berilah durung-durung sebesar yang diberikan orangtua kalian.
Yah, kira2 begitulah kata-katanya, aku tidak ingat betul. Inti dari kata2nya adalah jika orangtuamu memberikan 100 rupiah untuk durung2, maka berikanlah 100 rupiah untuk durung2.
Dan ia berjalan, dan seingatku ia sudah berdiri di sampingku. Mataku tak berani memandangnya.
Berapa yang diberikan orangtuamu? Tanyanya.
300 rupiah, jawabku ketakutan.
Maka berikanlah berapa untuk durung2? Tanyanya lagi. Sialan --> Perkataan ini ku tulis saat menuliskan cerita ini. Aku belum mengenal kata itu pada saat itu.
300, kataku lagi.
Dan ia menyodorkan kantong persembahan kepadaku. Dengan setengah hati, dengan sangat terpaksa, dan ketakutan aku mengambil uang koin di kantong sebelah kananku dan dengan gerakan cepat memasukkan semua koin itu ke dalam kantong.

Kau akan tertawa.

Dan aku menangis. Aku menangis.
Pendeta bertanya mengapa aku menangis. Aku hanya menggeleng, tetapi air mata tetap mengalir di pipiku, sampai aku sesenggukan.

Guru SM juga bertanya hal yang sama, berusaha menenangkan ku. Dan akhirnya, abangku datang bertanya hal yang sama.
Apa karena durung2? Tanya abang.
Tentu aku tidak jujur, aku malu mengakuinya. Umur segitu aku sudah tahu malu, ah, aku memang pemalu.
Dengan kebaikan hati abangku, ia menenangkanku dengan memberikan uang koinnya satu dan membelikanku gulali.
Udah ya, jangan nangis lagi, katanya.
Akhirnya aku diam.
Lumayan, punya abang.

Haha, peristiwa yang nostalgik.

I miss him actually.

Okok, aku menuliskan ini di sebuah kfc tanpa memesan sesuatu, karena aku sudah membawa minum dan temanku yang duduk satu meja denganku sudah memesan satu minum. Itu sudah cukup, bukan, tarif untuk duduk, menuliskan ini dan membaca sebuah buku ditemani musik yang merdu?