Ririn's Page

Wednesday, November 30, 2011

Jika jodoh tak lari kemana #GoodbyeNovember

November 2010

"Dia menembakku.." ucapku padanya perlahan.
Aku melirik lelaki yang ada di depanku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam benaknya, aku tak berani berkutik. Ia sosok lelaki yang baik, yang menjadi temanku paling akrab. Walau ia terkenal bukan anak yang baik, tapi ia selalu baik padaku. Mengantarkan aku pulang kuliah. Selalu. Jika aku ingin pulang duluan, ia tak akan mengijinkanku, walau ia masih memiliki keperluan di kampus. Ia akan mengantarkan ku pulang terlebih dahulu, lalu kembali ke kampus. Aku tahu itu.
"Lalu, apa jawabmu?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Tak biasanya, ia tidak menatap mataku.
"Aku .. belum."
"Belum apa?" terdengar rasa penasaran di nada bicaranya.
"Aku belum menjawabnya."
"Kapan?"
"Tadi malam."
"Maksudku, kapan kamu akan memberi jawab kepadanya .."
"Malam ini."
Seketika keheningan menyelimuti kami. Bahkan untuk berkutik pun aku tak mampu. "Aku bingung.." ucapku akhirnya memecah keheningan seribu bahasa.
Kali ini, aku merasakan tatapannya menghujam ke dalam bola mataku, tapi aku tak berani balas menatapnya.
"Kenapa? Apa yang membuatmu bingung?" ucapnya penuh tanda tanya.
"Aku hanya .. " pikiranku menerawang di angkasa, aku tak tahu jawaban apa yang pantas untuk aku katakan, "aku tak tahu bagaimana perasaanku .."
"Dia orang yang baik. Mengapa kamu takut? Aku yakin dia akan menjaga mu dengan baik." ucapnya penuh dengan keraguan, atau kebohongan? Aku tahu ada yang lain di dalam kata-katanya. Tapi aku tak punya gambaran sama sekali.
"Entahlah, aku tak tahu. Bagaimana menurutmu?"
"Menurutku? Kenapa bertanya padaku?"
"Entahlah, aku pikir kamu dapat membantuku menentukan pilihan."
Aku masih tertunduk. Bimbang. Lelaki itu bukanlah lelaki yang buruk, hanya aku lebih menyukai lelaki lain.
"Terima saja.." ku dengar suaranya dengan jelas. Aku terperangah. Jawaban apa sebenarnya yang kuiginkan dari lelaki ini? Aku sama sekali tak tahu apa aku harus senang dengan jawabannya atau malah sedih?
Aku terdiam. Tak mampu mengiyakan, atau pun menolaknya.
"Kenapa diam?"
"Jadi, itu yang kamu katakan? Aku menerimanya?" tanyaku pelan, seolah bicara pada semilir angin.
"Ya, aku tahu ia tidak main-main denganmu," ku dengar suaranya yang ia mantapkan.
"Well, kalau begitu, aku akan bilang begitu," ujarku, walau hatiku berkata lain.
"Bagus!" Senyumnya terlihat palsu di mataku.
Ah, aku benci situasi ini, kenapa aku ga bisa berterus terang padanya? Mengapa dunia ini begitu tidak adil, ketika subjeknya adalah seorang perempuan?

"Kamu mau ku antar pulang, atau kamu masih disini?" tanyanya membuyarkan anganku.
"Eh?" aku bingung dengan pertanyaannya.
"Aku mau pulang, mama tadi bilang aku harus pulang cepat," ujarnya. Tatapan matanya jauh, ke arah matahari yang hampir tenggelam disana.
"Ya, aku pulang aja."
Sejurus kemudian, aku sudah berada di kamarku sendiri. Memikirkan semuanya sendiri.

Mengapa ada yang berbeda dari sikapnya? Tiba-tiba saja ia mengantarku pulang, dan pamit dengan dingin tadi? Well, there's something wrong.


**

Sudah lewat seminggu, tapi Michael tak menghubungiku. Kemana dia? Aku sudah menghubunginya, tapi tidak pernah ada kabar lebih lanjut. Aku kehilangan. Sungguh. Kehampaan ini begitu menyesakkan, menggangguku.

 ****

November 2012

Sebuah pesan singkat mengganggu tidurku, dari nomor tidak dikenal. Dengan setengah terpejam, aku membacanya.
Halo Dian.. Ini aku Michael.

Deg! Jantungku seperti hendak terbang, keluar dari sarangnya. Sumber rinduku ada di suatu tempat yang aku tidak tahu dimana, tapi aku tahu dia sedang memikirkanku, atau membutuhkanku.

Segera, aku menekan tanda panggil.
"Halo.." kata suara di seberang sana.
"Michael.." kataku, rinduku memuncak, meledak, hingga tak terasa sebuah tetesan ada di ujung pelupuk mataku.
Jangan kata aku lebay, tapi ini jujur dari dasar hatiku. Bagaimana kamu tiba-tiba kehilangan seseorang dan tiba-tiba menemukannya jauh hari setelah itu.

**

"Apa kabarmu?" perkataan yang sangat basa basi terucap dari mulutnya.
"Baik. Kamu?" aku juga terikut basi olehmu.
"Baik juga."
Lalu, kamu diam. Aku juga terdiam.

Dua menit berlalu.
Aku mengalihkan perhatianku pada gelas di depanku.

Enam menit berlalu.
Aku sibuk dengan balok-balok es di dalamnya.

"Hemm, bagaimana dengan pacarmu?" katanya, dengan keberanian yang mungkin sudah ia kumpulkan sejak sekian menit yang tadi, enam menit kurasa.
"Pacar yang mana?" aku mengangkat alisku, tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini.
"Emm, Josua. Bukankah dia pacarmu?"
"What?? Sejak kapan aku jadian dengan Josua?" aku mengembalikan pertanyaannya.
"Jadi, kamu ga jadian dengannya?" dia terperangah.

Aku mengerti sekarang. Well, ternyata bukan aku saja yang merasa sial waktu itu.

Lalu, tiba-tiba ia tertunduk malu. Well, I don't know what to do next.



--
Jakarta, 30 November 2011


http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, November 24, 2011

JEYSCAR Zone!

Kawanan ini memang gila. Kerjaannya ga ada yang jelas. Ada yang megang gitar di pojokan dengan gaya sedang patah hati. Ada yang berdiri di ujung tembok seolah-olah ingin bunuh diri. Ada yang ketawa-ketiwi di depan pintu. Hey, lihat ada yang sedang bengong menatap hijau sawah di kejauhan.
Beneran aneh bin ajaib mereka semua ini.
Apa itu? Ada tulisan warning "JEYSCAR Zone!" di depan pintu. Siapakah mereka ini? Berbahayakah? Sungguh, saya tidak tahu bagaimana kelanjutan cerita ini. Jika anda penasaran, silakan ikuti lebih lanjut!
***
"Gimana nih, ujian uda di depan mata, tapi otakku sepertinya masih ingin tidur lebih lama," ujar Erick.
"Iya iya, aku pun tak sadar," ujar Renald menimpali, tercenung dengan gitar yang berada di tangannya.
"Santai aja cuy, toh semuanya akan terlewati," ujar Stephan berusaha memberikan solusi, yang semua orang juga tahu.
"Alaaagh, lu Step, asal ngomong aja," ledek Echi sambil ngelempar biji kacang pada Stephan.
"Kalau gitu, mari kita belajar bareng," usul Titin, yang sepertinya disetujui teman-temannya dalam hati masing-masing.
"Iya, kalau kita buat diskusi, mungkin lebih cepat menguasai materi ujian," kata Esther.
"Kapan kita mulai?" Echi tak mau ketinggalan.
"Minggu depan aja deh, masih ada waktu kan?"
"Jangan minggu depan, maunya minggu ini aja, biar waktu kita lebih panjang," sepertinya Esther sudah dikejar-kejar waktu.
"Kita tidak seharusnya seperti ini. Masakan kita belajar hanya untuk ujian? Itu sama sekali tidak benar. Seharusnya kita belajar untuk memperoleh ilmu, untuk masa depan," ujar Ririn antusias.
"Alaagh, kamu juga ngomong besar, Rin" kali ini Erick yang ngelempar kacang.
"Ya ya ya, bener juga sih kata Ririn," Sepertinya Stephan kena virus yang Ririn sebarkan.
"Ya ya ya, kamu mah sama aja ma Ririn. Banyak cerita!" yang lain terkekeh-kekeh melihat ketiga temannya yang saling bela-ejek.
"Baiklah, kapan kita mulai?" akhirnya Titin berbicara dengan nada serius untuk menyatukan pendapat teman-temannya. Kalau ada yang bicara dengan nada serius, so pasti teman yang lain berusaha ikut serius, walau terkadang ga berhasil.
"Hari Jumat aja, soalnya kan kita pulang cepet," usul Erick.
"Iya, Jumat aja," Echi setuju ama usul yang diajukan Erick.
"Kenapa ga hari Kamis aja? Toh kita semua ga ada acara khusus kan?"
"Kamis ya? Kayaknya aku g bisa deh," ujar Ririn.
"Kenapa? Emang mau kemana, Rin?"
"Soalnya .." ia diam, "aku pengen tidur siang, hahaha," ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak menyaksikan wajah-wajah temannya yang penasaran.
"Kurang asem." Lalu semua orang melempar kacang ke arah Ririn. Rasain tuh!
"Ya udah, cukup, cukup.." ucap Esther menengahi acara lempar2an kacang.
"Ya udah, hari Kamis ya, semuanya mesti datang, tepat waktu, ON TIME!" kata Esther menegaskan kata on time.
"Jam berapa bilangnya tadi?" Tanya Jos.
"Jam berapa?" kali ini Esther bingung, "Emang aku belum sebutin jam berapa yah?" ucapnya bernada bingung.
"Ya elaaah, sadar non sadar." Titin segera menyentuhkan jari-jarinya ke dahi Esther.
"Ya ampun, panas banget nih, pantes uda g sadar lagi."
Semua teman-teman tertawa keasyikan melihat kepolosan teman mereka.
"Hehehe, maap .. maap, jadi jam berapa kita ngumpul?"
"Langsung aja habis pulang sekolah, ga usah pulang ke rumah dulu, ntar jadi pada telat semua," ujar Erick.
"Jangan dong, ntar aku kena marah ama Nyokap. Kalian kan tahu, Bonyok tuh g suka kalau anak-anaknya keluyuran sehabis sekolah, tapi masih pakai seragam sekolah,"  ujar Ririn yang mendapat anggukan dari teman-temannya.
"Gini aja, Ririn permisi ma Bonyok kalo mau ikut belajar bareng ma kita-kita, trus Ririn bawa aja baju ganti dari rumah. Gimana?" Renald berkata dengan sangat hati-hati, takut Ririn tersinggung.
"Mmmmh," terlihat Ririn sedang menimbang-nimbang, "Iya deh, dicoba. Tapi kalau seandainya ga dikasih ijin, terpaksa deh Ririn datangnya telat. Ga papa kan?" ujarnya sembari memandang berkeliling ke wajah teman-temannya satu per satu meminta persetujuan.
"Buat kamu, apa yang engga si Rin?" ujar Erick mantap yang diikuti sorakan dari semua teman-temannya.
Ririn senang. Terlihat dari senyum manisnya.

"Waduh, perut ku uda keroncongan ni, Cari makan youk," ajak Stephan yang terlihat sedang memegangi perutnya.
"Akh, kamu ini tukang makan saja," ujar Esther ribut.
"Iya, kita aja belum ada yang lapar, masa kamu sendiri kelaparan, padahal kita sama-sama makan tadi siang." Ujar Echi menimpali.
"Ayouklah, keburu sakit perutku ntar,"
"Ayouklah, teman. Apa g kasihan liat teman kita meringis kesakitan?" ujar Ririn yang iba melihat nasib temannya.
"Ga laper, Rin." Echi menolak.
"Yodahlah, kita berdua aja, Step, kita makan dimana?"
"Eh, mau kemana nih berdua aja?" selidik Renald.
"Mau makan, habis kalian ga mau diajak makan, kan kasihan Stephan."
"Akut ikut ya, aku juga lapar ni .." kata Jos beranjak dari tempatnya.
"Eh eh, aku ikut juga deh, ga enak disini ternyata ada bau-bau orang kurus," ujar Erick. Echi cemberut, ia tahu ia baru saja diledek.
"Eh, aku nitip gorengan ya .." pinta Titin yang terdengar agak samar di telinga Stephan (yang kelaparan), tetapi masih terdengar jelas di telinga Ririn.
"Mau makan dimana, Step?"
"Disitu ajalah, tempat yang paling deket. Sumpah, aku uda kelaparan banget. Takutnya maag ku kambuh," ujarnya lagi menambah simpati temannya yang lemah lembut ini (Huekss).

Mereka sudah berada di warung yang tidak besar.
"Kamu kena maag yah? Kenapa ga bilang dari dulu?" tanya Renald.
"Yah, kalian kan ga bertanya, so ngapain bilang-bilang.."
"Ga gitu lho, Step. Sebagai teman, kita ini peduli sama kamu. Koq kamu nya ga peduli.." Ririn berujar lagi.
"Iya, kamu anggap kita sebagai teman gak sih?" tanya Erick .
"Ya pastilah, Rick, tapi kan g mesti aku menambah beban pikiran kalian dengan penyakit ku yang tidak bisa dikompromikan ini,"
"Step, sebagai teman, kita itu mesti saling terbuka, walau hanya hal kecil kayak ini, bahkan ini ga bisa dianggap kecil, ini bisa disebut besar. Karena kalo seandainya kamu kenapa-napa, dan jadi sakit, dan g bisa gabung ma kita-kita lagi, jadi panjang persoalannya. Betul gak?"
"Iya sih. Iya deh, lain kali bakalan ku beberkan hal-hal yang kelihatannya penting buat kalian ketahui."
"Nah, gitu donk, baru jeyscar namanya," ucap Renald dan Erick berbarengan sambil merangkul bahu Stephan.
"Udah deh, g usah lebay gitu. Nih uda q pesanin nasi goreng buat Steph, yang lain pesan sendiri," ucap Ririn sinis.
"Yeeee, pelit amat sih, buat kami mana?"
"Buat kalian? Pesan sendiri aja, tuh di depan!" ujarnya seraya menunjuk ke arah pelayan manis di depan.
"Hahaha, makanya lain kali kalian juga bilang punya penyakit kayak aku.." Steph nyengir kesenangan menambah iri kedua temannya.
"Huhhh!!"
"Ternyata Ririn itu pilih kasih. Baiknya ama Steph doing, ma kita-kita engga." Renald berujar sambil memonyongkan bibirnya, merajuk.
"Yeeee, hari gini merajuk, cape deh!"
"Iya nih, katanya teman, masa' pilih kasih sih!?!?" Erick ikut-ikutan merajuk, menampilkan wajah jeleknya yang makin jelek.
"Weih, cape deh ngurusin dua anak manja ini. Ya udah, mau pesan apa ni?" akhirnya Ririn mengalah juga.
"Hehehe, akhirnya.. apa yah?" Renald dan Erick celingak-celinguk mencari-cari menu yang sedap.
"Cepetan, ntar aku berubah pikiran," ancam Ririn.
"Mie ayam, bos!" ucap Renald cepet.
"Dua, bos!" Erick ngekor, tangannya di taruh seperti hendak memberi hormat pada bendera.
Steph dan Ririn tertawa ngakak melihat tingkah temannya.
"Ga koq, aku cuma bercanda. Mau pesan apa, Rick, Ren?"
"Hehehe, Ririn mesan apa tadi?" Tanya Erick cengar-cengir.
"Aku suka yang goreng-goreng, so aku mesan Mie Goreng."
"Ikutan deh, tapi yang seafood yaaa.." kata Erick.
"Aku tetap mie ayam ya.."
"Oke deh, sebentar ya.." Ririn segera berlalu dari hadapan mereka.
"RIrin ini memang anak yang baik yah .. " Renald bergumam sendiri.
"Ngomong apa barusan?" Erick bertanya.
"Apaan??" Renald mengelak.
"Aku mendengarmu, Ren, aku tahu apa yang kamu ucapkan."
"Ya, au uga," ucap Steph g jelas dengan mulut penuh dengan nasi goreng.
"Apa yang kalian dengar emang?" selidik Renald.
"Otomatis apa yang kamu ucapkan," Erick belagak sok tahu.
"Emang apa yang aku ucapkan?" kali ini Erick bingung mau jawab apa.
"Ah, sudahlah, kamu mengagumi Ririn kan?" sekarang Steph yang ambil alih.
"Husssh, sembarangan."
"Jujur raja deh Ren, kamu kagum kan?"
"Yah, iya deh, siapa emang yang engga kagum ama Ririn? Selain baik hati, ia juga pintar, bersahaja lagi."
"Rajin menabung juga kan?" canda Erick.
"Iya, dia teman yang baik. Sayang yah, kita hanya bisa sebagai temannya saja."
"Weh, jangan gitu Steph, malah kita harusnya bersyukur bisa menjadi temannya." ucap Erick.
"Iya yah,.. Eh, datang juga akhirnya. Enak nih," ucap Stephan sembari memasang mupeng (muka pengen).
"Hush hush, sana sana, enak aja lu, uda dapet bagian eh, minta bagian teman. Jangan tamak, euy!" Erick berusaha menyingkirkan genggaman Steph dari pesanannya.
"Ah, pelit lu!"
"Rasain!"
"Udah deh, jangan berantem melulu. Sekarang mau nyantai nih, jangan bising!" ujar Ririn yang ga mau acara makannya diganggu. Erick dan Stephan masih rebut-rebutan, dalam diam.
Dan Ririn tidak mau ambil pusing, dia ingin menikmati makanannya. Nikmat!

***

--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, November 3, 2011

merindumu .. sangat ..

aku merindumu ..

setiap detik ku lalui dengan resah

ingin tahu bagaimana keadaanmu

ingin tahu apakah kamu juga merinduku disana

Ah, betapa jauh kita

Segala perbedaan , mengapa harus memisahkan kita?

Bukankah perbedaan itu indah, seperti keindahan Indonesia?

Ah, aku merindumu

Sangat!

Can you come to me, as soon as possible??

I'm waiting in our special place .. as usual.

Datang kah engkau?

--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Wednesday, November 2, 2011

honest

I'm sad.

Feel so sad.

Honestly, I'm crying.

But, let it be.

Que sera, sera .. what ever will be, willl be.

--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Tuesday, November 1, 2011

done!

Done!

Terjadilah apa yang Engkau kehendaki.



--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•