Ririn's Page

Wednesday, May 23, 2012

I am


"Kamu boleh kok jalan ama siapa aja," katanya tanpa terlihat sedih.
Aku mulai meragu apa benar dia mencintaiku atau tidak. Tetapi muncul pikiran lain dalam kepalaku. Mungkin saja dia benar mencintaiku, karena itu dia menginginkan aku bahagia. Bukankah itu cinta sejati, yang rela melihat orang yang dicintainya bahagia?
"Apa kamu yakin, Ra?" tanyaku meyakinkan dirinya. Ia mengangguk mantap.
Aku semakin yakin bahwa dia bakal baik-baik saja.
"Baiklah, jika kamu tidak apa-apa, aku mau jalan sama Heto. Aku pergi dulu ya. Sampai nanti malam," ucapku lalu menepuk pundaknya sebagai tanda perpisahan.
Apakah dia pacar yang baik? Menurutku dia pacar yang sangat baik.

**
 
"Kamu telat," sapanya padaku, ketika aku baru saja duduk di hadapannya.
"Hanya lima belas menit kok," aku membela diri.
"Harusnya kamu memberitahu aku kalau bakalan telat, aku kan ga perlu menunggumu terlalu lama," ucapnya sewot. Entah mengapa aku masih bisa menaruh perasaan pada pria yang tidak punya rasa empati ini. Bukankah dia harusnya bersyukur masih bisa bertemu denganku, walau aku sudah punya pacar?
"Ya, aku minta maaf," akhirnya aku mengalah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kita janjian disini untuk melepaskan belenggu yang terasa mengikat kita berdua.
"Ada yang ingin kamu sampaikan lebih dulu?" tanyanya kemudian.
Aku berpikir keras, pernyataan apa yang ingin aku katakan padanya. Aku terdiam. Aku tak punya banyak kata yang bisa kusampaikan padanya lagi, kita tidak seperti dulu lagi.
"Adakah?" tanyanya lagi ketika aku masih tak kunjung bicara.
"Mengapa kamu lakukan ini terhadapku?" akhirnya bibirku berucap.
"Apa?" tanyanya, terlihat tak mengerti.
"Mengapa engkau membuat bunga layu, ketika ia hendak mekar?"
Dia terlihat gamang, mungkin ia mengerti filosofi yang aku buat.
Lama dia terdiam, membuatku was-was apa dia benar-benar mengerti maksud perkataanku.
"Karena bunga itu menusukku tajam ketika aku hendak menyentuhnya," kali ini aku yang terdiam. Aku sadar akulah yang menjadi pemicu dari semua ini.
"Dia sama sekali tidak berniat menusukmu," kataku membela.
"Tapi dia sudah melakukannya, tepat di hatiku."
Aku tertunduk. Sakit terasa di dada. Mungkin seperti ini sakit yang dulu ia rasakan.
"Kamu tidak bisa menyalahkannya, kamu tidak pernah bertanya apakah dia benar-benar ingin menusukmu, atau itu hanya salah paham."
"Apa yang salah paham? Aku melihatnya sendiri. Bunga itu benar-benar ingin menusukku."
"Tidak, itu tidak benar!" Suaraku terdengar keras. Aku terdiam lagi. "Maaf, tak seharusnya aku teriak."
Kuperhatian sekelilingku. Syukur tempat ini lengang, tidak banyak yang memerhatikan kami.
"Ya sudahlah, toh semua sudah berlalu." Suaranya terdengar pasrah.
"Aku minta maaf jika aku sudah menyakitimu, kita harus bisa move-on," ucapnya lagi.
"Ya, aku juga minta maaf," aku mengangkat tangan, hendak berjabat tangan.
Ia melihat ke arahku, seolah bingung. "Ya, kita harus bisa move-on," ucapku menjelaskan.
Dia menjabat tanganku.

Mungkin ini yang terbaik. Aku sudah punya seseorang disana yang menungguku pulang.
"Halo, Ra. Kamu bisa menjemputku?" kataku padanya di seberang sana. Mungkin memang dialah cinta sejatiku.

--
 Jakarta, 23 Mei 2012
*I am adalah bagian kedua dari TrilogiXIH.
Berdasarkan KBBI, tri·lo·gi n 1 seri karya sastra yg terdiri atas tiga satuan yg saling berhubungan dan mengembangkan satu tema;  2 tiga hal yg saling bertaut dan saling bergantung

Wednesday, May 9, 2012

Am X

Cuaca sedang bagus. Mendung pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Seperti suasana hatiku yang sedang gelap. Bagus sekali!
Setiap hari melihatnya bersama lelaki lain membuat dadaku sesak. Sial, hari-hariku selalu buruk. Sejak dia hadir kembali di hadapanku. Tanpa ku minta, tanpa ku sadari.
Aku sudah melakukannya. Ya, aku sudah berusaha melupakannya. Nyaris. Nyaris aku benar-benar melupakannya. Tapi, aku sadar sekarang, aku gagal. Aku tidak pernah berhasil melupakannya. Salahkan aku! Maki aku! Tapi aku tak bisa. Apapun sudah kulakukan, tapi tak pernah benar-benar berhasil.

Lihatlah, di pagi yang semendung hatiku, dia bersama lelakinya yang baru, baru saja memasuki kantor. Tertawa, saling bergenggaman tangan, tak ada yang kurang. Hanya aku yang tidak pernah senang.

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan orang yang selalu berada di hadapanku saat ini? Pagi, siang, bahkan di kala sore, ia akan melongokkan kepalanya ke ruangan kerjaku, dan bertanya, “Sudah makan?” atau “Belum mau pulang?”

Ah, ya tentu saja bisa. Pukul kepalaku, agar aku amnesia dan aku melupakannya.

"Kamu sudah makan siang?" suara yang khas menyapaku dari balik pintu. Ya, itu dia, dia yang membuatku tidak bisa hidup dengan tenang. Gadis yang cantik dan memikat hati.
"Sudah," ucapku tidak jujur. Lalu memberikan senyum untuk meyakinkan dia.
"Ya, sayang sekali. Aku ingin mengajakmu makan siang bareng," dia terlihat sedih. Tapi aku sudah terlanjur berbohong.
"Ajak yang lain aja. Kebetulan Maria juga belum makan siang tuh," dagu ku arahkan ke ruangan di sebelah.
"Siapa yang menyebut namaku?" Maria langsung datang, seperti semut yang mencium bau gula.
"Sudah makan siang?" tanya orang yang sama, tapi kali ini bukan ditujukan kepadaku.
"Makan siang bareng yuk," tanpa perlu menjawab, Maria sudah menarik lengan gadis itu pergi.
Fiuh. Aku sedikit lega. Rasanya ga kuat melihat dia yang sudah menjadi milik orang lain berada sangat dekat denganku.
Ah, sepertinya aku harus segera mencari pekerjaan lain.

**

Tidak. Tidak seharusnya aku bersikap pengecut seperti ini. Aku adalah lelaki. Lelaki yang percaya diri. Tak akan kubiarkan aku hidup menjadi seorang pengecut. I can't move on, itu urusan belakangan. Aku senang aku masih bisa melihat gadis itu, walau dia tak melihatku sebagaimana sebelumnya. It doesn't matter. Selagi aku bahagia, kenapa aku harus takut. Paling tidak, menjadi teman adalah saran yang bagus.
Selamat pagi, Dunia.

**

"Sudah makan siang?" suara yang sama.
"Belum," kataku sambil tersenyum. Entah mengapa, hari ini suasana hatiku sedang cerah seperti langit tak pernah mendung.
"Makan bareng yuk," kini tangannya sudah menggenggam lenganku.
Ya Tuhan, gadis ini. Tak sadarkah dia bahwa dia sudah membuatku jatuh cinta padanya seperti dulu?
Oh tidak. Ini tak boleh terjadi. Teman. Ya, hanya sebatas teman. Kapan aku bisa move on?

--
*Am X adalah bagian pertama dari TrilogiXIH.