Ririn's Page

Tuesday, December 20, 2016

Badanku dulu tak begini

Kurasakan lelah, keringat bercucuran. Ini karena cuaca yang panas atau ada hal lain yang membuatku ngosngosan begini? Aku mengelap keringat yang turun secara dramatis seperti air mata di film-film Korea atau sinetron Indonesia yang tidak ada habis-habisnya. Baru jalan sebentar sudah kelelahan begini, there is something wrong here. Memang rasanya beratku bertambah, tetapi tidak akan sebegitu terpengaruh sama gerak jalan, bukan? Ini akibat makan banyak di acara-acara nikahan yang hampir setiap hari. Akhir tahun memang waktu yang pas buat bikin acara nikah.

"Hey, Jengs," sapa tetangga yang sedang membersihkan tanamannya, Ibu Duni, kalau tidak salah begitu nama panggilannya.
Aku tersenyum membalas.
"Dari mana, Bu, keringetan begitu?"
"Dari pasar, Bu, biasa belanja." Kemudian aku berlalu. Tidak asyik menggosip dengan barang belanjaan yang berat berada di tangan.

Suamiku, Benn, masih dalam keadaan yang sama sebelum aku pergi ke pasar, duduk di ruang tivi membaca koran yang hitam putih. Sabtu pagi begini memang asyik membaca koran, santai dan tidak tergesa-gesa, tidak seperti hari kerja.
Tunggu, mengapa koran sudah tergeletak di atas meja? Ini aneh, bukankah dia tidak akan bergeming jika sudah membaca koran? Apa yang membuatnya berbeda?
Mataku memandang ke arah mana suamiku memandang. Tivi. Bukan hal yang tidak wajar, pikirku. Kemudian aku mendekatkan diri ke arah tivi. Kemudian aku mengerti, lelaki mana yang melepaskan pandangannya dari acara tivi yang menggiurkan? Acara tivi yang sedang disiarkan adalah olahraga ringan, senam sehat yang diikuti banyak ibu-ibu cantik dan langsing. Dia sadar aku mengikuti pandangannya, kemudian ia berdehem dan berusaha kembali ke halaman korannya. Aku kembali ke dapur.


######


"Pah, tolong dong," aku memberikan punggungku ke arah suamiku, Benn. Dia sedang memasang dasi. "Sebentar."
"Kok susah, Mah? Gendutan ya?" Jleb, kata-katanya menusuk. "Coba tahan nafas, sedikit." Ini dia mengerti perasaanku, tidak?
"Nah, akhirnya terkancing juga. Makanya, Mah, kurusin, dikit aja.." Akhirnya aku mengerti apa yang ia inginkan. Aku gendut? Apakah aku jelek ketika berisi sekarang ini? Aku manyun. Sepanjang acara pesta nikahan, aku tidak dapat memberikan senyum, pun kepada kedua mempelai. Aku benci Benn, bisa-bisanya dia membuatku bad mood begini hanya dengan satu kata. Hate him.


"Aku perhatiin hari ini kamu ga ceria. Ada apa?" Akhirnya, dia mengerti aku ingin diperlakukan dengan amat baik. Tentu aku tidak bisa membencinya, sekarang ini aja aku uda senyum ditanya beginian.
"Apakah aku jelek?" Kata-kataku yang benar-benar mengekspresikan apa yang kurasakan.
"Kenapa bertanya begitu?"
"Jawab. Dulu."
"Ya enggaklah. Kita uda lama nikah, masa kamu nanya begitu ke aku sekarang..?"
Kemudian bad moodku kembali, aku tidak ingin mengobrol dengannya lagi.
"Kok balik manyun, sih?" tanyanya yang tidak ku gubris.
Aku berjanji akan mengurangi berat badan, dan kubuktikan padanya aku bisa kembali kurus.


###### ######


Aku membaca majalah, cari-cari di internet bagaimana mengurangi berat badan. Banyak yang menyarankan ngegym, tapi aku tidak mau menghabiskan waktuku di tempat bergengsi seperti itu; belum lagi kalau ada pemandangan yang aneh di sana. Ogah. Ada yang menyarankan meminum pil/obat/tablet yang aku tidak mau sama sekali menyentuh begitu. Kimia, efek samping. No no no, aku tidak ingin mengambil resiko itu. Lalu, apa yang bisa ku lakukan?

Akhirnya mata ku tertuju pada satu halaman website yang menyarankan hal-hal sederhana yang bisa ku lakukan dengan siklus 7 (tujuh) hari. Contohnya: mengurangi makan karbohidrat (seperti mengurang nasi putih atau mengganti dengan nasi merah atau nasi hitam), makanan gorengan, dan diselingi olahraga ringan. Aku tersenyum puas, cara ini yang akan aku lakukan.

Esok harinya, aku bangun lebih pagi. Lari-lari kecil di halaman rumah dan melakukan gerakan seperti sit up (aku tidak sanggup melakukan sit-up). Makanan benar-benar aku jaga, menghindari karbo, minyak, dan gula. Perbanyak makan buah dan sayur. Malah, sarapan pagi hanya menikmati buah segar. Hari pertama itu memang sangat membuat lemas, seperti tidak punya tenaga untuk melakukan apa-apa. Tetapi jika niat memang besar, maka apapun bisa dilakukan. Hari kedua sudah lebih baik dari hari pertama, dan selanjutnya lebih mudah. Siklus 7 hari yang membahagiakan.

Dalam tujuh hari, berat badanku kurang sebanyak 2 (dua) kilogram. Sungguh menyenanngkan. Luar biasa. Dengan niat yang sungguh, apapun bisa dilakukan. Aku bahagia. Bahagia itu sesederhana melihat angka di timbangan berkurang.


###### ######


Aku melangkah dengan ringan. Langit sedang cerah, senyumku merekah.
"Hei, Jengs, pagi-pagi sudah senyum-senyum sendiri," sapa Ibu Duni.
"Selamat pagi, Bu Duni. Apa kabar, sehat?" sapaku yang dibalas dengan jawaban standar.
"Eh, diperhatikan, Ibu kurusan ya?" tanyanya yang membuat senyumku semakin lebar.
"Ah, yang bener, Bu?" aku pura-pura tak percaya.
"Apa rahasianya, Bu?"
"Cuman ngurangin karbo, kok, Bu.." jawabku sejujurnya.
"Hebat lho, Bu, makin disayang suami, dong ya?" tanyanya yang semakin tidak ingin ku jawab. Aku tertawa, kemudian segera berlalu.

"Tumben ngobrol lama sama tetangga," ternyata suamiku memerhatikan. Koran terletak di atas meja, tivi tidak menyala.
"Iya, dia muji aku.."
"Muji apaan?"
"Rahasia ibu-ibu," kataku sekenanya. Benn penasaran. Aku tidak peduli, pokoknya aku sedang bahagia.
Aku melangkah ke dapur. Benn mengikuti. Ketika aku hendak mengenakan apron (celemek), Benn membantu aku mengikatnya dari belakang.
"Mama kurusan ya?" Akhirnya ia menyadari. Yes, aku berhasil. Senyumku semakin sumringah.
Diberinya aku kecupan di pipi. Dan pagi itu, pertama kalinya dia membantu aku memasak. Sungguh luar biasa. Berkat siklus tujuh hari.





====== SEKIAN ======

Ditulis untuk Group Menulis ENZaSuRe
Dengan tema: Menjaga kesehatan
Deadline: 18 Desember 2016 (maafkan telat ya, kakak)

Tulisan dengan tema serupa dapat dibaca di:
- Ennitan
- Ka Nova
- Sumi
- Zanna


SELAMAT NATAL 2016
dan
TAHUN BARU 2017

Thursday, December 1, 2016

Janjiku

Tanda merah menatapku nanar. Berkedip-kedip dengan teratur. Jantung berdegup tak karuan. Berapa lama lagi baterainya akan sanggup bertahan? Berapa lama lagikah aku harus ketakutan? Tempat ini mengerikan, kurasakan kesinisan. Nuansa jahat dan kelam.

Mengapa ia meminta aku menunggu di sini? Bukankah tempat ini menyeramkan? Tidakkah ia tahu itu?

Benda yang kecil itu berteriak lantang. Sudah sedari tadi ia begitu, tetapi aku tidak mengacuhkannya. Tidak ada yang dapat kulakukan untuk menolongnya. Lagi-lagi, tanda merahnya menatapku nanar. Masih berkedip-kedip dengan sangat teratur.

Mengapa nasibku senaas ini? Pulsa sudah habis sedari tadi menelepon. Untuk kirim sms pun tak sanggup lagi. Jika dia tak segera menghubungiku, bagaimana nasibku selanjutnya? Jujur, aku tak mengenal tempat ini. Ini pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat ini.

Handphoneku bernyanyi riang. Ada panggilan masuk. Dari Benn. Dengan secepat kilat aku menekan tombol terima.
"Halo. Kamu dimana?" tanyaku cepat.
"Masih di jalan."
"Aku di halte, dekat dengan Hotel Bersama."
"Oke.. tung.."

Sial. Akhirnya handphoneku tewas. Mati aku. Kesal setengah mati, ingin kulempar handphone itu ke jalanan. Tapi, syukurlah akal sehatku masih berada di tempat yang tepat. Aku hanya membelainya lembut dan memasukkannya ke dalam kantongnya yang lembut.

Ku pandang sekelilingku. Tampak dua orang lelaki sedang berbincang-bincang dengan asyiknya. Perasaanku menjadi tidak enak. Mengapa lelaki itu menatapku dengan cara yang aneh? Lelaki yang di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Aku tidak betah berada di halte ini. Aku berjalan ke arah hotel. Sepi. Hotel mewah begini kok sepi siang-siang begini? Aku berjalan lagi mencari tempat yang lebih cerah. Sayang, aku tidak menemukannya.

Akhirnya aku memilih untuk kembali ke halte. Semoga Benn sudah berada disana. Namun, tidak ada Benn. Yang ada hanyalah dua orang lelaki yang tadi. Keduanya masih berada di tempat yang sama, dengan ekspresi yang sama. Perasaanku semakin tidak enak. Dimanakah dirimu, Benn?

Detik berganti detik, menuju menit-menit yang rasanya panjang. Ku pandangi jalan raya, berharap muncul sesosok yang ku kenal.

Lima menit. Tidak ada yang mendekat ke halte.
Sepuluh menit. Tetap tidak ada yang datang. Cemas semakin melingkupiku. Aku gugup.
Aku menutup mata, mengucapkan doa-doa dalam hati, mencoba membuatku merasa aman.

"Hey, apa yang sedang kamu lakukan?" sebuah suara yang tak asing menyapaku.
"Benn!!" teriakku lantang, dan ku peluk ia seakan ia telah menyelamatkanku dari monster-monster kegelapan.
"Ada apa dengan dirimu?" tanyanya keheranan, "aku hanya terlambat lima menit, tapi kamu sudah heboh begini."
Segera ku tarik ia menuju motor gagah miliknya. Ia hanya mengikuti.
Tanpa sepengetahuannya, aku melirik ke arah dua lelaki itu. Ternyata, mereka tak melihat ke arahku. Mereka masih asyik berbincang.

Benn segera melajukan motornya dengan sigap. Ku peluk ia dengan erat. Pahlawanku.
Ini menjadi pelajaran buatku. Aku tidak akan membiarkan handphoneku berlama-lama meratapi kelaparannya. Janjiku dalam hati.






====== SEKIAN ======


Tema: LOWBAT
@ririntagalu
8 September 2011


Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.

Alasan repost ada di sini.

Kenangan Kakek

Televisi tua itu berada di ruang tamu rumah kakek. Televisi itu sudah rusak, layarnya yang dulu menampilkan warna hitam putih sudah tidak segagah dahulu. Ayah ingin sekali membuang televisi itu dan menggantinya dengan televisi berwarna yang banyak dijual dengan harga-harga murah di pasar, tapi kakek selalu melarangnya. Bahkan jika ayah menyebutnya sebagai televisi tua atau televisi reyot, kakek akan marah besar dan akan mengata-ngatai ayah sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih. Ayah menjadi serba salah. Ingin memberikan yang terbaik kepada orangtuanya dianggap mendatangkan musibah.

Pernah suatu kali ayah membawa televisi baru yang berwarna ke rumah kakek. Lalu apa yang terjadi? Televisi itu tidak diterima oleh kakek, malah kakek menyuruh orang lain mengantarnya langsung ke rumah ayah. Ayah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengganti televisi yang tua itu. Ingin aku bertanya kepada Kakek kenapa Kakek begitu mempertahankan televisi tua itu, tetapi ketakutan segera melingkupiku ketika hal itu terlintas di pikiranku. Kemarahan kakek salah satu hal yang paling menakutkan yang pernah kupikirkan.

Sebuah suara menyentakku. Suara derak pintu dari arah dapur, kakek sedang memasak makan malam untuk kami berdua. Hari ini dan sampai besok aku akan tinggal bersama dengan kakek, ayah ibuku pergi ke luar kota untuk urusan keluarga yang tidak bisa ditunda. Jadilah aku tinggal bersama kakek. Selama ini hubunganku dengan kakek baik-baik saja, malah bisa dikatakan cukup akrab. Jadi, tidak menjadi masalah untukku tinggal bersamanya selama dua hari ini.

Dia tinggal sendiri di gubuknya yang tua dan tidak memiliki teman bicara, sehingga aku sering datang menemaninya menjalani hari-harinya yang lambat.
"Sudah lapar, Bimbim?" suaranya yang serak menghiasi kesepian malam.
Kakek selalu memanggilku dengan sebutan Bimbim, sementara ayah dan ibu memanggilku dengan sebutan Bimo. Aku senang cara kakek menyebut Bimbim, begitu khas.
"Sudah, Kek. Apa yang Kakek masak?" tanyaku antusias mencium aroma yang sedap.
"Nasi plus ikan asin ..." kata Kakek bersemangat. "Tidak lupa sayur lodeh," ucapnya lagi dan semuanya sudah tertata dengan rapi sesuai khas Kakek.
Bagitu nyaman berada di dekat kakek, udara yang hangat menambah nikmat malam makan berdua.
"Makan malam tidak akan terasa lengkap tanpa acara televisi," kata Kakek seraya beranjak mendekati televisi kesayangannya, menghidupkannya. Suara berderak-derak menghantam. Aku tidak suka suaranya, layarnya yang hitam putih membuat mataku sakit. Tapi aku tidak berkata apa-apa, aku tidak ingin menyakiti perasaan kakek. Aku tak ingin ia kecewa dengan ketidaksukaanku.
"Baiklah, selamat makan," suaranya yang lantang mengalahkan suara derakan televisi.
Aku tersenyum, dan menyantap makananku. Nikmat.
Benar kata ayah, masakan Kakek itu enak, seperti yang sudah dirasakan oleh ayah selama bertahun-tahun.

Agak lama kami berdua terdiam di depan layar televisi hitam putih yang menampilkan berita-berita nasional.
Ingin aku memcah keheningan, tetapi apa yang ingin aku tanyakan? Sebuah pikiran terlintas di kepalaku, senyum mengambang di bibir.
"Kakek, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku takut-takut.
Kakek menoleh padaku, matanya menyiratkan keingintahuan.
"Tanyalah, Bim."
"Tapi, Kakek harus berjanji satu hal .."
"Apa itu?"
"Kakek tidak akan marah padaku .."
Kakek terperangah dengan syarat yang aku ajukan. Lalu, ia tersenyum.
"Baiklah, katakan apa yang ingin kamu ketahui," ucapnya bijaksana.
"Mengapa Kakek begitu menyayangi televisi ini?"
Tampak warna wajah kakek berubah. Aku takut, bagaimana jika kakek marah besar sama seperti ketika marah terhadap ayah?
Aku ingin berancang-ancang pergi dari tempat itu, ketika, secara tiba-tiba wajah kakek tersenyum.
"Karena televisi ini mengingatkanku pada nenekmu.." ucapnya lembut, seakan setiap katanya diucapkan penuh cinta.
Aku terenyuh.
Ternyata kakekku yang kelihatan tegar ini menyimpan begitu banyak kenangan manis di kepalanya. Aku tersenyum. Ku rangkul kakekku itu.
"Nenekmulah yang membelikan televisi ini untuk kakek, Bimbim," ucapnya lagi.
"karena itulah Kakek tidak mengijinkan ayahmu menggantinya. Kakek tidak ingin hari-hari Kakek jalani tanpa kehadiran nenekmu."
Aku merasakan Kakek meneteskan air mata, tapi aku pura-pura tidak tahu.
Suara derak-derak televisi terdengar indah di telingaku sekarang. Layarnya yang hitam putih pucat tidak membuatku mataku sakit. Aku melihat ada cinta di setiap hal yang ditampilkan televisi tua itu.

Aku berjanji, aku akan mengatakan pada ayah untuk tidak menyinggung-nyinggung televisi baru lagi. Aku ingin kakekku bahagia bersama televisi tuanya.





====== SEKIAN ======


Tema: TELEVISI
@ririntagalu
Selasa, 6 September 2011


Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.

Alasan repost ada di sini.

Maafkanku

Merah. Menatapku tajam. Aku terpojok. Antara iya dan tidak.

Tanda itu, masih menatapku tajam.
Ku tatap ia, dengan tatapan melotot, agar ia tidak mengaum padaku.
Kutunjukkan kemarahanku padanya, agar ia tertunduk.
Tapi ia masih dengan warna merahnya, dengan tatapannya yang tajam.


"Hey, Niko, kenapa berdiam diri di situ. Melajulah..." teriak temanku yang sudah berada di balik pagar pembatas, membuyarkan pikiranku. Lalu, ia melajukan motornya dengan kencang, meninggalkan dering motor yang memecah keheningan.

Ah, ia hanyalah sebuah tanda seru, mengapa aku harus pusing memikirkannya. Biarlah, apa pun yang terjadi, terjadilah. Jangan sedih, Tanda seru, karena engkau tidak bersalah. Ini pilihanku, menerobos jalan yang seharusnya tertutup. Membiarkan nyawaku bertarung dengan maut.

Maafkan aku, Tanda seru, aku harus melanggarmu, demi teman-teman yang ku tahu akan meninggalkanku jika aku tak ikut bersama mereka.

Menyedihkan sekali hidupku, bukan? Melakukan apa pun demi sebuah pergaulan yang ku tahu akan berakhir sia-sia.
Tetapi apa lagi yang dapat ku lakukan? Keluargaku hancur, mama dan papaku telah lama bercerai. Teman-teman di sekolah menganggapku anak berandal, jahat, dan tak pantas ditemani.

Aku tak punya pilihan. Biarlah aku ikut dengan mereka, karena hanya merekalah yang menerima aku, dalam keadaanku yang merana seperti ini.

Hey, mengapa engkau menjadi merah padam, Tanda Seru? Menyalalah, tunjukkan merahmu, walau banyak orang yang tak menghiraukanmu, walau banyak orang tak peduli padamu.

"Hey, Niko, ayo, apa lagi yang kau tunggu?" teriak temanku yang satu lagi dengan lantang. Lagi-lagi pikiranku terbuyar.

Kubulatkan tekadku, kutatap sekali lagi tanda itu. "Maafkan aku."




====== SEKIAN ======


Tema: TANDA SERU
@ririntagalu
23 Agustus 2011


Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.
Tanggapan dari Writing Session ada di sini.

Alasan repost ada di sini.

Lelakiku

Suasana ini begitu menggoda. Alunan suara angin yang merdu. Terpaan ombak yang lincah di kejauhan sana. Matahari yang kekuningan membuatku bertambah syahdu. Pohon kelapa itu juga nyinyir menari-nari mendendangkan alunan yang merdu. Hatiku sedang girang-girangnya. Lelaki yang kukasihi sedang berada di dekatku, menggenggam tanganku dengan lembutnya seperti takut melukaiku. Tetapi, tentu saja aku tidak akan terluka. Bagaimana mungkin genggaman orang yang kukasihi membuatku terluka? Tentu saja tidak mungkin.

Ku tolehkan pandanganku kepadanya. Matanya yang cerah menyambutku. Senyumnya yang ringan membuatku melayang. Duhai, cinta mengapa engkau begitu hebat, mempertemukan aku dengan lelaki ini?
Sekilat cahaya berkelabat di antara kami.
"Pose yang menarik, Mas, Mbak," kata seorang lelaki yang kelihatannya sudah berumur empat puluhan tahun. Di tangannya ada sebuah kamera.
Lalu, dalam hitungan menit, sebuah kertas, tepatnya sebuah foto sudah berada di depanku. Ia menyodorkannya padaku.
Dengan tatapan melongo, aku meraihnya, mencermati foto itu.
Takjub, aku tak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Terima kasih, Pak," kata lelakiku sembari memberikan pecahan uang puluhan ribu.
"Tidak. Saya tidak memberikannya untuk mendapatkan uang. Saya hanya mencintai bidang ini. Simpanlah foto ini dengan baik. Suatu saat pasti anda ingin mengenang masa ini," ucap si Bapak dan berlalu dari hadapan kami. Terlihat ia mengunci objek di tempat lain dan memotretnya. Lalu terlihat ia asyik dengan kegiatannya sendiri.
"Aku sangat mencintaimu," suara lelakiku lembut di telingaku.
Pandangan kami bersatu di foto itu. Tampak sepasang kekasih sedang berkasih-kasihan di dalamnya, dengan memancarkan cahaya penuh kasih.
"Akankah ini akan berakhir indah seperti ini?" tanyaku meragu.
Ia tersenyum, masih senyuman yang sama seperti sebelumnya. "Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Semua akan indah pada waktunya." ucapnya penuh keyakinan, matanya yang cerah menatapku mantap. Tapi, tetap saja aku meragu.




******
======





Suasana ini tampaknya tidak asing bagiku. Terasa sangat akrab bagi mataku. Alunan suara semilir angin, suara ombak terdengar akrab di telingaku. Sepertinya mereka bernyanyi untukku. Matahari di ujung sana begitu indah, aku merasa pernah memandangnya sebelumnya. Tapi dimana? Bukankah ini tempat yang asing bagiku? Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tidak mungkin ada pemandangan yang persis sama. Sepanjang ingatanku, aku juga tidak pernah ke pantai sebelumnya.

"Bolehkah aku menggenggam kedua tanganmu?" ucap seorang lelaki di sampingku.
Aku merasa tidak mengenalnya. Aku memandangnya marah. Sangat tidak sopan mengganggu seorang wanita. Tetapi aku melihat keteduhan di matanya, tatapannya lembut dan aku tidak berkata apa-apa.

Digenggamnya kedua tanganku. Beraninya ia, tetapi aku takjub oleh senyumnya yang lembut. Siapakah lelaki ini? Ia begitu memesona. Aku terpesona.
"Siapakah engkau?" akhirnya ku dengar suaraku berkata.
"Aku hanyalah seorang lelaki yang terlupakan," ucapnya sendu, tetapi tidak menunjukkan kesedihan.
"Terlupakan?" sebuah tanda tanya muncul di kepalaku. Bagaimana mungkin seorang lelaki baik dan lembut ini dapat dilupakan? Aku sendiri saja takjub oleh pesonanya.
"Ya, aku terlupakan."
"Bagaimana mungkin?"
"Sangat mungkin."
"Dulu kami biasa duduk di sini. Memandang matahari di kejauhan sana, saling bergenggaman tangan seperti yang kulakukan terhadapmu."
Lelaki itu terdiam.
Aku penasaran bagaimana akhir dari kisah yang ia mulai.
"Lalu, apakah dia meninggalkanmu?"
"Tidak, dia tidak meninggalkanku, dia hanya lupa padaku." Ia menatap matahari di kejauhan.
"Mengapa engkau tidak mengingatkan dia?"
"Sudah kulakukan sering kali, setiap hari di dalam hidupku, aku mengingatkannya pada masa-masa indah kami, tapi tetap saja sebentar kemudian, dia akan melupakannya."
"Sungguh menyedihkan. Dapatkah aku membantumu?"
"Dengan duduk di sini dan menggenggam tanganku, engkau sudah membantuku, sangat membantu."
"Baiklah, aku senang membantu orang lain."
Sejurus kemudian, kami saling terdiam, menikmati alunan indah dan seketika aku takjub. Hal ini pernah kulakukan, tapi dimanakah? Duduk berdua dengan seseorang, saling bergenggaman, tetapi dimanakah? Siapakah ia? Aku benar-benar tak dapat mengingatnya dengan baik.


******

Kutepiskan semua kejanggalan di kepalaku. Ku beranikan diri bertanya, "Siapakah wanita itu?"
"Kamu ingin mengenalnya?" tanya lelaki itu. Aku hanya mengangguk.
Selembar foto disodorkannya padaku.
Kucermati foto itu. Tampak sepasang kekasih sedang asyik-asyiknya memadu kasih, saling berpandangan, tangan mereka saling bergenggaman.
Aku mengenal gadis itu. Bukankah itu aku, sepuluh tahun yang lalu?
Ku tatap lelaki yang duduk di sebelahku. Entah mengapa, rasa cintaku amat besar kepadanya. Ku peluk ia seakan aku takut akan kehilangannya lagi.
"Aku sangat mencintaimu," bisiknya lembut di telingaku.


****** Sekian *****


** terinspirasi dari the NoteBook
** terserang penyakit Alzheimer


========================

Tema: FOTO
@ririntagalu
11 Agustus 2011


Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.
Tanggapan dari Writing Session Club di sini.

Alasan repost ada di sini.

Hitam

Kartu-kartu itu menatapku. Menusuk, kejam, hitam.

Ketakutan menyergapku.

Kata Mbah Oneng, sang pemilik kartu tarot, kartu hitam itu pertanda buruk.

Aku berpikir keras. Apa yang akan terjadi? Ada apa denganku? Atau mungkin dengan orang-orang yang aku sayang?

Ku tatap mata Mbah Oneng, merah, menahan amarah. Aku tak tahu ia menaruh amarah pada siapa, tak berani bertanya.

Aku baru mengenalnya sepuluh menit yang lalu, secara tidak sengaja, ketika rasa keingintahuanku menjebakku dalam ruang remang di sudut gedung festival ini. Kesendirian menguasaiku hingga aku tak kuasa menolak ketika melangkahkan kaki memasuki ruang kecil remang milik Mbah Oneng.

Kartu hitam bergambar burung hantu menatapku. Menusuk, hitam.

"Kematian." ucapnya pelan, namun mematikan.
"Siapa yang akan meninggal?" tanyaku, suaraku yang gugup tidak menutupi ketakutanku.
Mbah Oneng menggeleng.
Aku tahu, bahkan peramal pun tidak dapat meramal dengan tepat. Toh mereka juga manusia.

"Neva.." sebuah suara yang tak asing menyelamatkanku dari kekelaman.
Aku berbalik, sebuah senyuman getir milik pria tampan menyambutku.
"Mengapa berada disini? Ayo kumpul di aula," ucapnya lalu menarik tanganku.

Tanpa permisi, kami berdua sudah berada di luar ruang remang milik Mbah Oneng.
"Berhati-hatilah, Nona manis.." sayup-sayup ku dengar suara itu. Semakin menyeramkan.
"Mengapa berada disana? Sendirian lagi," ucap Leo penuh perhatian. Agar engkau tahu, ia adalah pacarku.
"Maaf, tadi aku mencarimu dan tak sengaja masuk ke dalam," ucapku tidak sepenuhnya berbohong.
"Ya sudah. Apa yang ia katakan tadi?" tanyanya menyelidik.
Ku bayangkan kartu tarot hitam itu. Kembali kengerian menghampiriku.
"Tidak ada," aku menggeleng.
"Katakan, Neva, katakan padaku.." tanyanya tak sabar.
"Kematian," ucapku perlahan.
Leo terdiam singkat, namun dapat memberi kesan seram bagiku.
"Oh, tidak apa-apa. Ia sering mengatakannya kepada setiap orang," senyumnya menutupi kebohongannya. Aku tahu.
"Semuanya akan baik-baik saja," ucapnya menenangkan, tapi tetap saja, hatiku tak bisa tenang. Ketakutan, kepenasaranku bergerumuh di dada.
Segera kami memasuki aula. Keramaian ini terasa asing bagiku. Orang-orang asing seakan menatapku dalam hingga ke tulang.
Genggamanku semakin erat pada Leo, seakan aku takut terpisahkan darinya. Ia mengerti, ia merangkulku, membuatku merasa nyaman, walau hanya sedikit.

Kartu tarot hitam menatapku, dalam bayanganku semuanya tampak jelas. Kematian ada disini, di depan mataku. Tapi, dimana?

"BoooM!!!!" suara keras menggemparkan. Gedung terasa mau roboh. Orang-orang pada panik, berlarian ke sana ke mari tak tentu arah.
Aku menunduk. Leo berusaha melindungiku.
Lalu, sepersekian menit kemudian, suara ricuh itu mulai menenang. Aku masih tak dapat membuka mata, berada di bawah lindungan kekasihku.
"Kamu tak apa, Sayang?" ucapnya lembut di telingaku.
Ia bangkit dan membantuku berdiri.
Aku menggeleng. Ketakutan masih melinngkupiku.
"Ada bom.." sayup-sayup ku dengar suara itu.
"Sepertinya ada bom yang meledak, dari arah luar aula," kata Leo tegas.
"Antarkan aku kesana," ucapku.
"Tidak, tidak baik buatmu,"
"Antarkan aku kesana!" ucapku keras, tak mau mengalah. Ia tak akan berani menolak permintaanku.
Dengan sigap gagah, ia memapah aku kesana. Memberi perhatian ekstra, takut kalau-kalau ada yang menyenggolku.
"Arah ruang Mbah Oneng.." suara Leo di telingaku.
Aku semakin bergegas kesana, Leo berusaha menyamakan langkah kami.
Orang-orang berkerumun. Seonggok tubuh terkapar di lantai.
"Mbah Oneng!" teriakku lemah.
Air mata menetes perlahan dari pelupuk mataku. Mengapa dia? Aku bahkan baru mengenalnya.

Kartu tarot bergambar burung hantu hitam, berada di samping tangannya, menghadap kepada Mbah Oneng. Menyeramkan.
"Demi nona manis .." tulisan di samping kartu itu.
Aku mengejang.




====== SEKIAN ======


Tema: TAROT
@ririntagalu
20 Juni 2011

Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.
Tanggapan Writing Session Club ada di sini.


Alasan repost ada di sini.

Tengah Malam

Tengah malam. Jam dinding mengarah tepat pukul 12.00.

Aku terbangun lagi. Sudah tiga hari seperti ini. Keringat membasahi bajuku. Kuraba celanaku. Syukur tidak basah. Aku takut jika aku ngompol. Mimpi itu terlalu seram untuk ukuran penakut seperti aku.

Aku tidak ingin menceritakan mimpi itu, karena aku tahu tidak baik menceritakan mimpi buruk ke orang lain. Seperti yang pernah aku alami, orang yang mendengarnya, pasti menngira-ngira kejadian buruk apa yang akan terjadi. Aku selalu menekankan bahwa mimpi itu hanyalah bunga-bunga tidur. Tetapi, dasar orang-orang yang percaya takhayul, mereka tetap saja menceritakan apa pendapat mereka tentang mimpi itu.

Aku tidak suka mencengar cerita buruk, kabar buruk atau semacamnya. Dan aku juga tidak suka bermimpi buruk. Aih, aku merasa mimpi ku kali ini bukan hanya bunga-bunga tidur. Aku takut, tentu saja. Siapa yang tidak takut mengalami mimpi seperti itu?
Maaf saja, aku tidak akan menceritakan mimpi itu. Bukankah sudah ku katakan aku tidak suka menceritakan mimpi buruk?

Aku turun dari tempat tidur. Dingin segera menjalari kakiku. Ke mana sandal tidur milikku yang hangat itu? Kulihat dia berada di bawah meja belajarku. Aku melangkahkan kaki, memasukkan kedua kakiku ke dalamnya. Hangat. Bulunya menghangatkan.

Aku berjalan ke arah dapur. Gelap. Sudah menjadi kebiasanku untuk mematikan lampu sebelum tidur. Hemat, itu yang sering dikatakan orang-orang. Ku nyalakan lampu. Terang. Ini lebih baik. Ku teguk segelas air untuk membasahi kekeringan tenggorokanku.

Pranggg!

Ku dengar sesuatu jatuh. Pecah. Ada apa? Jantungku tak karuan. Aku bergegas kembali ke kamar. Menutup badanku dengan selimut. Badanku gemetaran. Hening. Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa. Jantungku mulai sedikit tenang. Aku sedikit lega.

Tidak beberapa lama, terdengar jam dinding berdentang. Kuhitung di dalam hati. Tiga belas. Jam dinding berdentang tiga belas kali.

Tiga belas kali?

Tidak mungkin! Ini persis seperti mimpiku. Tidak. Tidak. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Jika aku tetap tinggal aku akan mati. Aku belum mau mati. Apa yang harus ku perbuat? Aku masih ingin menikmati hidup. Makluk hitam itu tidak akan mendapatkanku. Aku akan berlari. Hanya itu cara yang bisa ku lakukan. Aku harus bergegas, sebelum ia sampai disini.

Aku bangkit, segera berlari, ke arah pintu.

Tidak!

Dia telah berdiri disana. Menghalangi jalanku.

Tidak! Aku belum mau mati.

Aku berteriak sekuat tenaga. Badanku bergetar.

Goncangan itu begitu dahsyat.

....

....


"Bang .. Abang. Bangun, Bang. Ada apa," suara istriku menyadarkanku.

Mimpi itu benar-benar nyata. Jantungku masih tak karuan. Ku lihat jam dinding. Ini tengah malam, tepat pukul 12.00.




====== SEKIAN ======


By:

Ririn Tagalu
15 April 2011
Twitter: @ririntagalu



Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.

Alasan repost ada di sini.

Tulisan di Writing Session Club

Sekitar tahun 2011, aku mengikuti ajang menulis yang diselenggarakan oleh Writing Session Club (@writingsession) di http://writingsessionclub.blogspot.co.id/.
Saat ini, akun twitter @writingsession sudah tidak aktif, blognya pun sudah tidak pernah ada update.

Kebetulan sedang bermain-main ke sana dan menemukan tulisan-tulisanku yang dahulu. Terbersit di pikiran, bahwa mungkin saja akan ada masanya nanti blog itu sama sekali tidak bisa diakses; ke mana akan ku cari tulisan-tulisanku itu jika aku ingin membacanya suatu hari nanti? Aku punya solusi: aku akan me-publish ulang tulisan-tulisanku tersebut di blog ini. Semoga @writingsession setuju dengan ide ini.



Adapun tulisan-tulisanku yang pernah dimuat di blog tersebut berikut di bawah.

1. Tengah Malam
2. Lelakiku
3. Maafkanku
4. Kenangan kakek
5. Janjiku
6. Hitam

Blue Christmas

Kasih tak sampai hati membiarkan dirimu terluka, walau ia harus rela mengorbankan dirinya.


"Mengapa kamu memandangku demikian?" suara Rena membangunkan Hannes dari lamunan. Lamunan yang tidak panjang. Ya, lamunannya hanya berjarak setengah meter dari hadapan. Seorang perempuan.
Hannes memberi senyum tipis, seakan hati baru teriris, walau harapannya tidak akan pernah habis.
"Kamu baru ditolak?" tanya Rena menebak.
"Tidak, aku hanya sedang belajar memulihkan hati, menerima keadaan hati."
"Cie.. yang lagi patah hati.."
"Memulihkan hati tidak perlu menunggu ia patah lebih dulu."
"Hannes? Kenapa kamu sok puitis, sok misterius. Ada apa, Nes?"
"Bagaimana jika aku bilang bahwa perempuan yang sedang aku kagumi ternyata menyukai lelaki lain?"
"Emm, itu mah patah hati namanya."
"Tidak, Re, hatiku tidak patah ketika tahu ia menyukai orang lain."
"Lalu? Apa yang terjadi dengan hatimu?"
"Hatiku malah bertumbuh lebih subur dengan melihatnya berbahagia. Hendak berbunga."
"Oh, tidak, Nes, jangan katakan demikian. Karena aku tidak merasakannya demikian. Kamu tahu, aku sedang suka sama seseorang dan jika aku tahu ia suka orang lain, hatiku akan patah, perih, dan aku tidak bisa bersahabat dengannya seperti sebelumnya."
"Itu hati yang belajar salah. Seharusnya hatimu ikut berbunga melihat ia yang sedang berbunga."
"Sungguh, Nes, aku tidak dapat menerima pernyataanmu," Rena menggeleng. "Tunggu, mengapa kita belajar filosofi hati sekarang?" Rena kembali sadar apa yang membuat mereka duduk berdua di luar cafe dan bukannya di dalam - menikmati alunan musik Natal yang meriah. Ya, Herman meminta mereka untuk duduk di luar, demi menikmati malam penuh bintang dan bukan bir.
"Oh iya, Herman mana, kenapa belum muncul? Sudah jam segini."
Rena melihat ke arah jamnya di pergelangan tangan kanannya.
"Mungkin ia dijebak kemacetan," Hannes seperti tidak merasa terganggu dengan keterlambatan Herman.
"Hei, bukankah kamu yang selalu anti telat, kenapa sekarang kamu malah asyik duduk - hanya memandang smartphone yang tidak bergerak?" Rena habis pikir dengan perubahan yang terjadi dengan Hannes; sudah habis ia berpikir, tapi ia tidak menemukan alasan di balik perubahan Hannes. Di cafe, dari awal mereka duduk, Hannes sudah seperti dirundung pilu.
"Okay, sebelum Herman tiba, aku ingin kamu cerita apa yang terjadi padamu sebenarnya?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi, Rena? Atau kamu tidak mendengarkan aku tadi bercerita? Perlukah aku mengulangnya? Atau perlukah aku merekamnya? Perlukah aku meneriakkannya sehingga seluruh dunia mengetahuinya?"
Dan kali ini, Rena semakin yakin ada yang tidak beres dengan temannya yang satu ini. Hannes bicara seakan sedang berpuisi atau menuliskan karya untuk tugas kuliah sastra, dengan gerakan tangannya yang setengah terangkat di udara.
"Baiklah, terserahmu. Aku tidak akan bertanya apa-apa lagi padamu," Rena akhirnya menyerah pada waktu.

"Hey, jungs, maaf telat, sungguh tempat ini begitu ramai sampai aku sulit mencari parkir. Kalian sudah pesan apa saja? Sudah pesan untukku juga?"
Rena memandang Herman kesal. Hannes masih asyik menyilangkan tangannya di atas meja dan dagunya ia taruh di atasnya.
"Hey, aku minta maaf, sungguh, aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Herman lagi melihat tidak adanya reaksi dari kedua orang yang duduk di hadapannya.
"Baiklah, kamu dimaafkan."
Rena sudah tersenyum kembali. Ia tidak pernah bisa marah pada Herman, entah kenapa. Tadi itu hanya pura-pura.
"Hannes..?" Herman mencolek bahu Hannes.
"Apa?" Hannes menjawab ketus. Herman memainkan matanya, seakan memberi tanda. Hannes tidak mendapatkan maknanya. Herman mendenguskan nafas panjang.


"Hannes, bukankah Livy menuggumu? Katanya kalian ada janji, dia sudah ada di lokasi."
Seakan muncul lampu yang terang di kepala Hannes, ia menepuk jidatnya. "Oh iya, aku lupa. Yah, Re, maaf, aku harus menemui Livy."
"Jadi, perempuan itu ternyata Livy? Bukankah kamu bilang dia suka sama orang lain? Siapa objek yang dia sukai?"
Hannes tidak dapat menemukan jawaban atas ledekan Rena.
"Yah, Re, kan namanya juga usaha.." syukurlah Herman segera menimpali.
"Baiklah, ini tiketnya," kata Hannes segera memberikan dua buah tiket nonton kepada Herman.
"Lho, kenapa hanya dua? Tadi bukannya beli tiga?" seru Rena.
"Oh itu, tadi aku yang bilang sama Hannes, biar aku saja yang beli tiket untukku, makanya dia hanya beli dua. Yah, kalau begini, sih aku gak perlu beli tiket lagi. Iya, kan Nes?"
"Iya iya.." Hannes memaksakan senyumnya. "Aku cabut ya. Selamat bersenang-senang.." tanpa menunggu jawaban, Hannes segera melangkah cepat menjauh dari mereka berdua. Tidak, hatinya tidak patah, ia hanya perlu waktu membiarkan hatinya berbunga bersamaan dengan berbunganya hati perempuan yang ia suka. Ia hanya perlu bersabar. Ingin ia menoleh ke belakang, barang sekali atau dua kali lagi, tapi ia cukup punya nyali untuk mengakali hati.


######





"Hannes, makasih ya.. Kalau bukan karenamu, aku tidak akan bisa sampai di posisi saat ini," Herman sedang duduk berdua dengan Hannes di cafe yang sama seperti hari sebelumnya.
"Kalau kamu ada waktu itu, kamu bisa melihat betapa kagetnya wajah Rena. Ia sama sekali tak menyangka. Tapi, entahlah, aku selalu tahu bahwa dia akan menjawab 'iya', dan aku benar: dia menjawab iya. Sekarang hubungan kami sudah resmi. Aku senang sekali."
Herman menuangkan bir ke gelas Hannes, "Mari bersulang lagi, demi persahabatan kita yang tidak akan pernah berakhir. Persahabatan yang dibawa sampai mati."
Hannes tersenyum pahit, merasakan bir di bibirnya yang semakin pahit.


Ya, hatiku akan berbunga seiring dengan hatinya yang berbunga; karena kebahagiaan yang ia punya adalah kebahagiaanku juga.
Bukankah itu makna Natal yang disampaikan oleh Pendeta tadi malam? Menjadi teranglah, memberi kebahagian bagi orang di sekitar.
Tugas itu sudah ku lakukan tadi malam.


######* End *######





Ditulis untuk Group Menulis ENZaSuRe
Dengan tema: All About Christmas
Deadline : 4 Desember 2016


Note: Kelihatannya ga sesuai tema. Maapken.