Ririn's Page

Monday, November 18, 2013

Untitled

-- Untitled --

“Mengapa kamu memandangku seperti itu?” seruku ketika aku menangkap ada sesuatu yang aneh berkelabat di matanya.

Ia hanya menarik dan kemudian menghembuskan nafas.
“Mengapa kamu menyukaiku?” tanyanya balik. Aku bergidik. 


“Aku tidak menyukaimu,” kilahku.


Dia menggeleng.
“Aku tidak pantas buatmu,” ucapnya lagi membuatku semakin terkejut.


“Apa maksudmu?” mataku memandang tepat ke kedalaman matanya, tapi ia berusaha memandang ke arah lain.

“Aku bukan orang yang tepat untukmu, ” katanya lagi tanpa menjelaskan lebih dalam.

Pikiranku bekerja dengan keras menemukan apa maksud dari perkataannya. Aku menemukannya. Ia merasa rendah diri. Atau kemungkinan ia merasa aku jauh lebih hebat daripada dirinya. Aku sedih jika dia merasa begitu. Aku tak ada apa-apanya. Mengapa dia merasa aku hebat dan dia tidak?
Aku menggeleng.
“Aku tidak menyukaimu,” kataku berusaha menampilkan wajah sejujur-jujurnya. “Lagian, mengapa kamu merasa rendah diri? Kamu hebat, tahu!” kataku berusaha memberi semangat kepadanya.

Sinar matanya belum berubah. Aku menjadi sangat sedih melihatnya.

“Ada apa lagi?” tanyaku.

“Kamu bohong,” ucapnya sedih.


“Tidak, aku jujur.”


“Baiklah, kita anggap kamu tidak menyukaiku, lalu apa yang kita lakukan selama ini?”

'Emang apa yang kita lakukan selama ini?'
“Jangan beranggapan yang tidak-tidak, aku memang tidak menyukaimu,” ku tekankan kembali kepadanya.

“Baiklah, baiklah, terserah padamu. Aku harus pergi. Jadwal meeting tinggal sepuluh menit lagi. Sampai ketemu jam pulang nanti.” 

Lalu ia sudah beranjak. 

Tinggallah aku bersama sekeping hati yang sudah retak.



--
Pernah dipublikasikan disini.

Tuesday, November 12, 2013

I love you

"Jo.. Wait, don't go please.." she chased him.

"What? You already say what do you want to say, don't you? What now?"

"I .... I thought you don't have the same feeling as mine,  .... I thought it's an unrequited love, so .... I'm sorry."
She looked down.

He couldn't hurt her. He grab her hand.
"So, do you want to be with me?"

She nodded bashfully.



--
Jakarta, November 12, 2013.
RH

I love love.
#2

I love me

"Listen, I want to tell you something.."
She take a deep breath.
"I love you.. I know it's new to you, but I can't hold it. Every time I see you, I couldn't hold to hug you, or to put my arm in yours."
She take another deep breath.

He just waits other words.

"Now, I'm already say what I need to say. I do not need your answer, because I just want to tell you. I mean, you do not need to answer me. Ah, I must get going," she ready to go.

"Wait!" she turned back, hear his voice loud.
"So just it? You say you love and then go?"

She confused. "I don't know what to say anymore.."

"You know, you're such a selfish woman I ever seen.. I never thought that you'd do that to me.."

"I'm sorry, but I don't understand what you're saying. What do I do to you?"

"You left me behind."

"What?!?!"

"Now, listen to what I will say to you. I love you too, I really do. But, I'm sorry I couldn't be with you, because you're selfish. And now, let me go. Thank you."
He's gone.



--
Jakarta, November 12, 2013.
RH

I love love.
#1

Thursday, November 7, 2013

Foto

Foto itu terpampang di atas meja kerjanya. Foto dirinya dengan dirinya di atas panggung, berpegangan tangan. Foto pra-nikah yang sudah mereka siapkan.

Senyum tersimpul di wajahku. Mereka bahagia, paling tidak mereka tampaknya berbahagia, atau aku melihat mereka berbahagia.

Aku kembali ke meja kerjaku, menatap bingkai foto yang kosong.

Pikiran menerawang jauh, foto siapa yang akan aku pajang disitu.


Hela nafas yang panjang membuatku sadar, aku tidak punya foto yang akan ku pajang.


Wednesday, April 17, 2013

Panggil aku Ananta

"Panggil aku Ananta," ucapnya lantang.
Aku menatapnya heran mengapa ia berkata demikian. Bukankah kita semua mengenalnya dengan nama Lintang? Lalu, mengapa ia ingin dipanggil Ananta?

Aku berpikir sejenak, apakah Lintang juga memiliki kata Ananta di dalam namanya. Aku menepis pikiran itu, Lintang tidak memiliki kata Ananta di dalam namanya. Lintang bukan berarti Ananta, begitu pula sebaliknya.

Aku membiarkannya menatapku agak lama, agar ia tahu aku tak mengacuhkan perkataannya barusan.
"Noer, kamu mendengar kata-kataku barusan, kan?" Lihat, siapa yang bingung sekarang.

Aku mengangkat alis, berpura-pura tidak mengerti maksudnya.
"Ayolah, aku tahu kamu mendengarkanku tadi."

Aku mengangkat bahu, lantas berbalik, hendak meninggalkan dia di tengah kebingungannya.
"Noer, Sahabatku, tegakah kau meninggalkanku?" ia berputus asa.
Aku berbalik, iba mendengar suaranya.
"Apa yang kau inginkan aku perbuat bagimu, Lintang?"
Senyum merekah di wajahnya. "Panggil aku Ananta," ucapnya lantang.



Depok, 10 April 2013.
Ririn Hutagalung





--
*edit kembali pada 15 April 2013 

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, February 28, 2013

24 #1

"Aku menantangmu," serunya tiba-tiba sambil membuat jari-jarinya membentuk huruf L dengan jari telunjuk mengarah padaku.
Aku melotot, memandangnya heran.
"Aku menantangmu untuk tidak tidur selama 24 jam, bagaimana?"
Aku masih memasang wajah melongo, belum mengerti apa tujuan perkataannya.
"Kamu sanggup?" tanyanya tanpa pikir panjang, tanpa peduli apa aku mengerti maksud pertanyaannya.
"Apa maksudmu, Radi? Aku tidak mengerti," ucapku lalu memalingkan wajah ke arah buku yang sedang aku baca.
Ia mengambil buku yang ada di tanganku, menutupnya tanpa perlu meletakkan pembatas buku yang sebelumnya aku letakkan di atas meja. Ia tidak menghiraukan perkataanku untuk selalu menggunakan pembatas buku, atau mungkin perhatiannya tidak menangkap ada sebuah pembatas buku berwarna biru di atas meja. Mungkin saja. 
Kasihan kamu, pembiru, pembatas biru, aku akan mengambilmu nanti.
"Aku menantangmu untuk tidak tidur selama 24 jam, kamu terima tantanganku?" ia mengulangi perkataannya.
"Dalam rangka apa kamu membuatku melakukannya?" tanyaku masih tak mengerti kemana tujuan pembicaraan ini.
"Kalau kamu setuju, baru aku sebutkan penjelasannya," ucapnya membuat aku sedikit kesal. Bagaimana mungkin aku mau melakukan tantangan gila yang ia sebutkan. Tidak tidur dalam waktu 24 jam? There's something wrong in here, in his mind, of course.
Aku menggeleng.
"Jika kamu tak sebutkan penjelasannya, sorry to say, aku menolak," kataku tegas. 
Aku mengambil buku yang berada di genggamannya, dan menyisipkan pembiru ke dalam halamannya yang ku pilih secara acak.
Mood membacaku hilang sudah ketika Radi mengambil buku dari tanganku. Aku ingin berlalu dari hadapannya, ketika tiba-tiba tangannya berada di atas tanganku.
"Hanya 24 jam, please," ia memelas. Wajahnya dibuat sama seperti wajah Puss in the Boots. Siapa yang tidak akan menaruh iba pada orang dengan tampang seperti itu?
Aku menatapnya, lama. Semakin lama, semakin besar rasa ibaku. Sahabatku yang satu ini memang agak aneh. Aneh atau unik, bagiku tidak jauh beda, untuk kasusnya. Ia selalu ingin tampil beda, anti main stream, entah istilah apa lagi yang cocok untuknya.
Aku menghela nafas. Aku harus memaklumi keunikan sahabatku yang satu ini.
"Baiklah, aku bersedia," akhirnya aku berkata, dengan setengah suara.
Ia menggenggam tanganku seolah berjabat tangan.
"Deal?"
"Deal!"
perjanjian sudah dibuat, aku tidak bisa menolak lagi, seperti sedang bermain di dalam permainan Running Man, sekali pintu sudah tertutup, tidak akan bisa mundur lagi.
"Penjelasannya?" tanyaku, ia hanya tersenyum. Aku mulai memikirkan hal yang aneh-aneh.
"Kita akan melakukan hal gila dalam 24 jam, dihitung mulai dini hari nanti, pukul 0," senyum simpulnya membuatku was-was. Aku kehilangan akal, tidak dapat menebak hal gila apa saja yang akan ia lakukan.
Aku hanya bisa menghela nafas berat. Ini di luar alam pikiranku. Kegilaannya tidak dapat aku prediksikan.
"Mengapa harus 24?" tanyaku, yang ia balas dengan senyuman simpul yang hampir sama dengan yang sebelumnya.
Aku menundukkan kepala di atas meja. Ini menjadi suatu kesalahan besar yang aku buat, menyetujui ide gilanya, eh, bukan saja menyetujui tetapi ikut di dalamnya.


24
Bagian 1

--
http://about.me/ririn


Friday, February 22, 2013

tentang rindu

Ku buka buku harianku yang sudah kumal. Ingin aku menyimpannya dan menggantinya dengan yang baru, namun kenangan dari setiap halaman di buku itu membuatku enggan. Setiap helainya memberiku kehangatan. Setiap halamannya membuatku teringat akan dia. Setiap barisnya membuatku tersenyum mengingat kenangan bersamanya. Setiap kata membuatku mengingat sosoknya, bahkan setiap hal terkecil yang melekat padanya. Setiap rindu terhadapnya tergantikan.

Ini hari ke dua puluh dua aku tidak melihatnya. Sudah tiga minggu lebih satu hari sejak peristiwa itu. Peristiwa dimana dia mengucapkan dua kata yang paling menyakitkan yang pernah aku dengar darinya. Dua kata. Dua kata sudah sangat cukup membunuhku.  Dua kata.

**

"Hei,  kamu ada disini?" ucapku senang ketika melihat dia sudah berada di depan pintu rumahku. Siapa yang tidak akan senang melihat orang yang sangat dekat berada di depan rumah tanpa ada aba-aba dulu? Serasa diberi kejutan. Aku merasa diberi kejutan.

Dia hanya tersenyum menjawab pertanyaanku. Tipis. 

"Ada apa?" tanyaku ketika menyadari keanehan dari kelakuannya. Biasanya ia akan duduk di bangku kebesaran yang ada di teras, tersenyum manis kepadaku, dan menyebut namaku dengan lembut, tapi tidak kali ini.

Aku melangkah mendekatinya, berdiri di hadapannya, ingin melihat ke dalam matanya, ada apa gerangan disana.

Tetiba, ia memelukku, hangat. Lama.

Aku tergugup. Ini pelukan pertama yang aku dapat dari dirinya. Dan pelukan yang paling lama dari yang pernah ada, yang pernah aku kecap.

"Selamat tinggal," ucapnya, lalu berbalik, melangkah cepat, bergegas meninggalkanku.

Aku masih berada di angkasa ketika ia mulai melepas pelukannya.

Ketika aku sadar dan kembali ke bumi, dia sudah tidak ada lagi di hadapan. Sosoknya sudah berada jauh dari jangkauan. Ku tatap ia dari kejauhan. Siluetnya mulai menjauh, semakin jauh, semakin kecil, semakin jauh dariku. Hatiku serasa dicabik. Sosoknya meninggalkan bekas di hati. Bekas yang tidak dapat sembuh, tidak akan.

Pelukan yang aku anggap pertama dari dirinya telah menjadi pelukan terakhir sejak itu.

Dua kata. Hanya dua kata dari dirinya, sudah cukup membunuhku.
Seakan aku mati saat itu.

## 

Aku buka sebuah lembaran. Ada tertulis namanya. Ryan Marsh.

**

"Hei, Cantik. Sedang sendiriankah?" Seperti biasa, dia akan menyapaku dengan kata 'cantik' yang lembut. 
Aku akan membalasnya dengan senyumanku yang paling manis. Dengan segera, dia akan mengambil posisi duduk di teras, tepat di sampingku.

Aku senang jika dia datang mengunjungiku. Ia biasanya akan membawakan makanan kecil atau sekuntum bunga, atau apa saja, akan ia bawa, untukku tentu saja. Apa saja dari dia, selalu menyenangkan hati.

"Kali ini aku akan membacakan sebuah cerita untuk mu," ujarnya dan membuka lembaran dari buku yang ia bawa. Aku segera mengambil posisi nyaman.

Ia akan membacakannya dengan sangat jelas, dengan suara jenaka dan menirukan setiap nada sesuai dengan perannya.

Kali ini ia membacakan Beauty and The Beast. Sebuah dongeng dari negeri Barat, tentang seorang pangeran yang dikutuk menjadi seorang monster, dan hanya cinta sejatilah yang dapat memunsnahkan sihir buruk rupa dari padanya. Cinta yang kemudian didapatnya dari seorang putri yang baik dan murni hatinya. Dan kemudian mereka hidup bahagia selamanya. Like always. Like all fairy tales.

Ini bukan kali pertama aku mendengarnya, tapi apa pun yang ia bacakan membuatku seperti baru pertama kali mendengarnya. Ia mengaum menirukan suara auman The Beast, dan berbicara dengan nada tinggi ketika menirukan Si Putri Cantik.

Perasaan nyaman selalu datang jika ia berada di sekitar. Perasaan nyaman atau entah apa, aku belum menemukan kata yang tepat untuk apa yang aku rasa.
Ah, andaikan hari ini tak pernah berakhir, aku akan seperti putri yang ada di dalam dongeng itu. Happily ever after. Andaikan ..

##
Aku membuka lembaran yang lain.

**

"Ada yang bisa aku bantu?" sebuah tanya seperti ditujukan padaku. Aku menoleh. Ternyata seorang lelaki sedang menoleh kepadaku dengan pandangan menunggu sebuah jawaban. Aku hanya memandangnya, melihat ke segala sudut di wajahnya, ke kedalaman matanya, ke hidungnya, dan ke pipinya hingga wajah itu menempel di ingatan.

Aku terpana, lalu mengangguk.

Aku kewalahan dengan buku-buku yang aku bawa. Semua buku yang berada di genggaman adalah titipan dari teman-teman yang tidak punya waktu ke toko buku. Sekitar sepuluh buku di tangan ternyata sudah membuat kewalahan.

Dengan sigap ia mengambil buku-buku itu dari tanganku. 
"Terima kasih," ucapku dengan ucapan penuh syukur. Ia tersenyum, manis, semanis teh buatan ibu yang aku minum tadi pagi.
Aku sangat bersyukur ada seseorang yang masih memiliki kebaikan hati untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

"Ryan," ucapnya mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku memandangnya, belum menemukan maksud dari tindakannya.

Apa dia ingin membeli buku dengan judul 'Ryan'? pikirku dalam diam.

Ia menggerakkan dagunya, mengarah pada tangan kanannya yang menggantung.
Sebuah lampu seperti menyala di atas kepalaku. Namanya Ryan, ternyata.

Aku menyambut tangannya dan menyebutkan nama yang paling baik untuk diriku, bagi kedua orang tuaku, yang memberi nama itu kepadaku, "Cantik."

"Apa?" ulangnya, seakan dia merasa dia salah mendengar nama yang ku sebutkan.
"Namaku Cantik," ulangku, kali ini lebih mantan dan meyakinkan.

Ku lihat bibirnya membentuk huruf O. Sekilas senyum berada di balik bibirnya.

"Jangan tertawa, itu nama yang diberikan orang tuaku padaku," ujarku kemudian, ketika melihat gelagatnya yang mencurigakan. Aku curiga ia akan tertawa dengan sangat nyaring dan akan mengganggu pelanggan yang lain. Tentu akan sangat memalukan.

Benar saja, ia tertawa, tapi tawa yang ia tahan. Suara tawa yang tertahan.
"Serius, nama kamu itu?"

Aku memandangnya dengan tatapan marah.
"Maaf, maaf, baru kali ini aku mendengar ada orang yang bernama demikian. Maaf, aku tidak dapat mengendalikan diri," ujarnya kemudian. Suara tawa sudah tidak ada lagi di dalamnya.

"Apakah kamu akan membeli semua buku ini?"
Aku mengangguk. "Ini bukan milikku semua. Buku ini titipan teman-temanku." 
Ia lagi-lagi membentuk O dengan bibirnya.

Lalu, aku tersenyum. Ia tersenyum.

##

Itu kali pertama aku mengenalnya. Di sebuah toko buku, tidak jauh dari rumahku. Tidak jauh dari tempat dimana aku dan dia akan selalu menghabiskan waktu. 

Lembaran berikutnya sudah menanti dengan tidak sabar. Ia seakan berteriak, "aku aku, baca aku!"

Aku tersenyum.
**

"Aku suka pelangi," ujarnya ketika kami berdua terjebak di sebuah toko buku, yang tentu penuh buku. Hujan rintik di luar sana tidak mengijinkan kami keluar dari tempat ini.

Aku mendengarnya, tapi tidak menaruh perhatian lebih. Wajahku terpaku pada sebuah buku berwarna biru.

"Lihat itu," sikunya mengenai lenganku, wajahku terangkat, dan aku melihat hal terindah yang pernah aku lihat dari yang pernah ada. Pelangi. Melengkung indah di kejauhan.

"Pelangi itu adalah bukti dari sebuah janji yang tak akan pernah diingkari."
Ya, dia mengenalkanku pada pelangi, pada indahnya sebuah janji. Saat itu aku tahu aku sudah jatuh. Aku mengingatnya sebagai hari dimana aku mengenal sebuah rasa, yang aku tak tahu apa namanya, yang aku tak tahu akankah berbuah indah.
##
Kedekatan kami membuatku memahami indahnya hubungan yang dibentuk melalui keikhlasan, keramahan, dan kebaikan hatiSetiap hari, rasa yang timbul di hati-ku bertumbuh, mengakar dengan kuat, hingga aku yakin, perasaan itu tak pernah main-main.
**
Ku tutup buku harianku. Hari ini sudah cukup. Akan kulanjut esok hari. Akan ada hal-hal baru yang akan aku ingat kembali. Tentang rindu, tentang dia, tentang aku bersama dia, tentang dia ada untuk aku.

-- 
Jakarta, 22 Februari 2013
Ririn

Berdasarkan sebuah puisi "Isyarat Tak Bernama" dari Nova Damanik.
--

http://about.me/ririn


Monday, February 18, 2013

Dear Future Me

Dear Future Me,


I don't know why I'm writing this. But maybe one day, this will help you .

One day.
Another day.

When you're alone or when you need to be alone or when ever you want.

Be great.
Be tough.


You can be what ever you want to be.

Don't be afraid.
Just do it.


He loves you.. now and then.


Keep humble.



--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Monday, January 21, 2013

Menanti Lamaran

Semuanya sudah berkumpul di ruang makan keluarga. Keluargaku dan keluarga dari kekasihku, Edo.

Kami sudah sering melakukan acara makan malam bersama seperti ini, dengan tujuan mempererat tali kekeluargaan di antara kami.

Ayahku dan ayah Edo adalah teman sejak masa kuliah dulu, jadi keluargaku sangat akrab dengan keluarga Edo.

Khusus untuk kali ini, kami makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun Ibu Edo, yang ke lima puluh.

Edo berbisik padaku, "Lihatlah apa yang aku beli tadi siang." Dia menunjukkan sebuah cincin bermata yang sangat indah.
Hatiku tak karuan. Jantungku berdetak cepat.

'Tidak secepat ini, Edo,' hatiku berbicara. 
Namun, hatiku bergembira tak karuan. Edo akan melamarku, malam ini juga, di hadapan semua anggota keluarga kami. Aku tak pernah memimpikan hal seindah ini.

"Bagaimana menurutmu?" bisiknya pelan.
"Indah, sangat indah," kataku kegirangan.
"Apakah ibu akan senang jika aku memberikan ini sebagai kado ulang tahunnya?" bisiknya lagi, senyum mengembang indah di bibirnya.
Aku bengong. Aku sudah salah paham.
"Ibu?"
"Ya, ini kado yang ingin aku berikan pada ibu malam ini. Bagaimana menurutmu?"
Tetiba aku salah tingkah. Lalu, buru-buru ambil langkah seribu, meninggalkan jamuan makan malam. Rasanya pipiku merah sekali, menahan malu. 

"Rena, mau kemana?" ku dengar teriakan Edo dari belakang.


#13HariNgeblogFF #9
196 words
--

http://about.me/ririn

*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•

Thursday, January 17, 2013

Bales kangenku, dong.

Aku menatap matanya, memasang senyum semanis mungkin yang aku bisa. Tapi matanya tidak memandang kemana yang aku inginkan. Matanya tidak memandang ke dalam mataku, dan ia tidak berkata, 'I miss you too …' seperti yang aku inginkan.
'Buku itu.' geramku.

Ku tutup buku yang ia baca, dengan paksa, sekali hentak. Ia terkejut.
"Ada apa?" tanyanya seolah aku melakukan hal yang sangat salah. Seolah ia akan marah. Seolah ia akan menerjangku dengan kata-katanya yang seperti pisau, menusuk. Tajam.

Tapi, aku tidak peduli jika ia marah. Aku tidak peduli jika ia akan cerewet berkata ini dan itu. Aku sudah tidak diacuhkan sejak aku tiba satu jam yang lalu. Aku hanya ingin diperhatikan. Rencana awal bertemu adalah melepas kangen, melepas rindu yang membelenggu. Tapi sayang, semuanya sia-sia.
Aku tidak diacuhkan. Tidak diacuhkan, sama seperti dianggap tidak ada. Ini semua karena buku sialan bersampul biru itu. Buku yang berada di genggaman tangannya. Buku yang sedang ia baca. Ingin ku robek buku jelek itu, dan kubuang ke tempat sampah.

Tapi dia tidak marah. Ia kembali menatap buku itu. Ia kembali tidak acuh akan keberadaanku disini, bersamanya. Ia sama sekali tidak peka kalau aku sedang ingin diacuhkan, diperhatikan.
Aku manyun, bibirku maju lima inci. Bibirku bergerak membentuk tiga kata, "Bales kengenku dong," berkali-kali. Dia masih tidak peduli. Ia masih sibuk membaca lekat-lekat buku itu.

Ku coba menarik perhatiannya dengan menyentuh jari-jemarinya lembut. Ia tidak terpengaruh. Masih terpaku dengan buku biru itu.

Aku kesal. Aku benci. Ingin ku robek buku biru itu sekarang juga. Aku menendang kakinya, ia mengeluh kesakitan, mengerang menerjang.

"Kamu kenapa sih?" bahuku dicengkeram, diguncang olehnya. Buku biru sudah terletak dengan manis di atas meja. Aku tersenyum. Aku senang. Aku menang. Ternyata aku berhasil menarik perhatiannya dan melupakan buku biru itu.
"Bukankah kamu yang meminta aku untuk tidak berbicara denganmu jika aku belum selesai membaca buku tulisan tanganmu?" kata-katanya menghantamku, menghujamku. "Sekarang, apa maumu?" katanya lagi padaku.
Aku tergagu.

"Ku mohon jangan buat aku kalah taruhan, Sayang.."
Seikat uang berwarna merah bertengger di atas meja.



--
331 words


http://about.me/ririn


Wednesday, January 16, 2013

teman minum kopi

Secangkir coffee latte lagi-lagi menemani ku kala senja kini.
Sesosok lelaki datang menghampiri. Kemudian duduk bersama, di sebelah kiri.

"Eh, tadi aku ketemu sama Nia," ucapku ketika senyumnya sudah menghias pandanganku.
"Mmmh.." ucapnya tidak acuh.
"Dia kirim salam sama kamu," aku masih senyum-senyum sumringah.
"Mmmh.."
"Kok mmmh aja? Ga ada tanggapan, gitu?" tanyaku penasaran.
"Trus, kamu mau aku jawab apa?" tanyanya tanpa perlu menatap wajahku.
"Balik salam gitu? Atau apa gitu .." ku tatap matanya untuk melihat apa yang sedang ia rasakan. Aku tidak menemukan apa-apa.
"Ya sudah, sampaikan saja apa yang menurut mu baik," ia seolah pasrah, seolah senang, aku tak memiliki kesimpulan yang tepat.
"Baiklah. Kalau gitu, akan ku sampaikan kalau kamu juga suka sama dia," kali ini aku ingin ia menyenangkan hatiku dengan berkata tidak.
"Jika itu baik menurutmu, katakan saja demikian," dan hatiku patah.
"Ihk, kamu ga asyik banget, ga ada perlawanan banget," aku mencoba membuatnya berkata tidak.
"Lho, maksudnya?" Kini dia menatapku, heran.
"Ya, katakan kalau kamu gak setuju, kamu gak suka, atau apa kek," aku tahu aku sudah bernada memaksa. Ia menatapku heran.
"Gak mau ah," katanya tanpa sadar bahwa ia sudah menyakitiku.
Aku terdiam. Mungkin ia memang suka sama Nia. Aku salah sangka. Hatiku patah.

Ku teguk coffee latte-ku hingga tetes terakhir.
Aku ingin cepat berlalu dari hadapannya.

"Mau kemana? Buru-buru amat.. Aku belum mesan juga," ia menarik tanganku ketika aku hendak beranjak.
Aku menyerah dan duduk kembali.
"Tadi aku juga ketemu Nia," akhirnya ia bicara juga ketika hening sudah merajai kami beberapa saat.
Aku terperangah. Pantesan ia cuek saja tadi, ternyata mereka sudah saling bicara, dari hati ke hati, mungkin.
"Lalu?" aku berpura-pura senang, ingin mengorek lebih dalam.
"Dia tidak bicara banyak. Apa dia pendiam?" 
"Enggak. Mungkin sama kamu, dia jadi pendiam," kataku sambil tersenyum.
"Aku tidak suka," katanya berterus terang.
Aku merasa sedikit senang.

"Kalau gitu, kamu suka sama siapa?" Upps, aku segera menutup mulutku. Pertanyaan ini begitu saja keluar dari bibirku.
Ia menatapku lagi, heran.
"Aku sedang mati rasa," kilahnya sedih, menangkupkan wajahnya di meja.
Hatiku layu kembali. Ia tak memiliki rasa yang sama.

Ku sentuh bahunya.
"Tenanglah, hatimu akan menemukan pasangannya tepat pada waktunya, Ia akan bangkit ketika sudah saatnya," kataku menghibur dirinya, sekaligus diriku juga.
Ia mengangkat wajahnya, tersenyum melihatku.
Dan, sepersekian detik kemudian, aku sadar bibirnya sudah hinggap di pipi merah-jambuku.
"Makasih, Sayang. Kamu sahabatku yang paling pengertian."
Pipiku berubah warna menjadi merah. Mungkin inilah posisiku saat ini, menjadi sahabatnya dan mendapat perhatiannya, walau hanya sedikit.
Tidak apa-apa, aku sudah sangat senang hari ini.

Ku pesan vanilla latte keduaku hari ini untuk menemaninya minum kopi.

Monday, January 7, 2013

Aku lapar

"Aku lapar," tangannya yang kurus memeluk perut buncitnya.
Aku memandangnya kasihan.
Kurogoh kantong lusuhku, selembar uang seribu jatuh.
Ku tatap wajah anak itu lagi, uang seribu tak akan cukup membantunya.
"Tunggu sebentar, akan ku carikan makanan," kataku menyentuh tangan kecilnya. Ia hanya mengangguk pelan.

Aku berlari, menyusuri kolong, menapaki lorong.
Rintik-rintik berjatuhan di atas kepalaku, aku tidak ambil pusing.

Di ujung gang kutemukan seorang lelaki tua yang sedang mencuci piring di dekat gerobak jualannya.
Sebuah ide muncul di kepalaku.
"Permisi, Pak, Apakah saya dapat membantu Bapak?"
Ia sedikit terusik. Diliriknya aku, ditatapnya dari bawah sampai ke atas, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah! Jangan membuat onar disini!" hentaknya.
"Aku hanya ingin makan Pak, dapatkah aku mendapatkan makanan jika aku membantu Bapak membersihkan piring-piring Bapak?" kataku tak beranjak sesenti pun.
"Kau kira aku bodoh! Kau pasti mau mencuri, kan? Pergi kataku!" bentaknya lebih keras.
"Tidak, Pak, saya sungguh-sungguh. Adik saya sudah menunggu di ujung gang, dan dia sangat kelaparan," kataku sedikit terisak, seperti hendak menangis.

Ia menatapku lekat-lekat. Beberapa lama dibiarkannya aku tak berkutik di bawah tatapan tajamnya.
"Baiklah. Anggap saja ini untuk adikmu. Jika satu buah piring jatuh dan pecah, aku akan menendangmu dari sini," bentaknya, tapi aku tahu kali ini lebih lembut dibanding sebelumnya.
Terima kasih Tuhan.

Aku segera membersihkan piringnya dengan hati-hati, sangat hati-hati. Satu per satu sudah bersih, hingga semuanya sudah berada di rak, tempat yang tepat.
Aku berdiri, menatap lelaki tua itu.
Ternyata di atas meja, di dekat lelaki itu sudah tersedia sebungkusan plastik.
"Ambillah, dan beri makan adikmu," katanya, masih bernada kasar. Aku maklum.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku lalu menyentuh tangannya ingin mengucapkan terima kasih seperti yang dilakukan anak-anak sekolahan ketika orang tua mereka mengantar mereka ke sekolah.
Seperti tidak siap, lelaki tua itu menepis tanganku.
Aku tersentak.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku sekali lagi, lalu aku berlari. Kembali ke lorong, ke kolong, ke tempat anak kecil itu menunggu.

Ku lihat ia masih dalam posisi yang sama sebelum aku meninggalkannya. Perut kecilnya diselimuti tangan kurusnya.
"Hei, aku membawa makanan untukmu," kataku.
Ia mengangkat wajah tirusnya dan menatapku heran seakan tak percaya.
Segera ku serahkan sebungkus nasi lontong kepadanya.
Ternyata oh ternyata, lelaki tua itu baik sekali, dia membuatkan dua bungkusan, untukku, dan untuk anak kecil ini.
Aku bersyukur untuk hari ini, untuk kebaikan lelaki tua itu. Semoga ia diberkati.
Kami makan dengan lahap malam ini.


Once upon a time

Once upon a time ..
Adalah seorang gadis ..
ia terbang ke ibukota untuk mewujudkan cita-citanya..
Sesampainya di ibukota, mamaknya meminta ia kawin dengan orang Batak.
Stop!

Ini bukan film 'Demi Ucok'.
Ini juga bukan sebuah film.

Gadis tersebut tadi sedang menulis sesuatu.
Dia sedang menulis tentang ..
Mau tahu? Apa mau tahu banget?
Stop!

No alayer allowed to write in this blog.

Okay, lanjut..
Gadis itu sedang menulis sebuah cerita tentang ..

Once upon a time ..
Adalah seorang gadis ..
ia terbang ke ibukota untuk mewujudkan cita-citanya..