Ririn's Page

Thursday, January 17, 2013

Bales kangenku, dong.

Aku menatap matanya, memasang senyum semanis mungkin yang aku bisa. Tapi matanya tidak memandang kemana yang aku inginkan. Matanya tidak memandang ke dalam mataku, dan ia tidak berkata, 'I miss you too …' seperti yang aku inginkan.
'Buku itu.' geramku.

Ku tutup buku yang ia baca, dengan paksa, sekali hentak. Ia terkejut.
"Ada apa?" tanyanya seolah aku melakukan hal yang sangat salah. Seolah ia akan marah. Seolah ia akan menerjangku dengan kata-katanya yang seperti pisau, menusuk. Tajam.

Tapi, aku tidak peduli jika ia marah. Aku tidak peduli jika ia akan cerewet berkata ini dan itu. Aku sudah tidak diacuhkan sejak aku tiba satu jam yang lalu. Aku hanya ingin diperhatikan. Rencana awal bertemu adalah melepas kangen, melepas rindu yang membelenggu. Tapi sayang, semuanya sia-sia.
Aku tidak diacuhkan. Tidak diacuhkan, sama seperti dianggap tidak ada. Ini semua karena buku sialan bersampul biru itu. Buku yang berada di genggaman tangannya. Buku yang sedang ia baca. Ingin ku robek buku jelek itu, dan kubuang ke tempat sampah.

Tapi dia tidak marah. Ia kembali menatap buku itu. Ia kembali tidak acuh akan keberadaanku disini, bersamanya. Ia sama sekali tidak peka kalau aku sedang ingin diacuhkan, diperhatikan.
Aku manyun, bibirku maju lima inci. Bibirku bergerak membentuk tiga kata, "Bales kengenku dong," berkali-kali. Dia masih tidak peduli. Ia masih sibuk membaca lekat-lekat buku itu.

Ku coba menarik perhatiannya dengan menyentuh jari-jemarinya lembut. Ia tidak terpengaruh. Masih terpaku dengan buku biru itu.

Aku kesal. Aku benci. Ingin ku robek buku biru itu sekarang juga. Aku menendang kakinya, ia mengeluh kesakitan, mengerang menerjang.

"Kamu kenapa sih?" bahuku dicengkeram, diguncang olehnya. Buku biru sudah terletak dengan manis di atas meja. Aku tersenyum. Aku senang. Aku menang. Ternyata aku berhasil menarik perhatiannya dan melupakan buku biru itu.
"Bukankah kamu yang meminta aku untuk tidak berbicara denganmu jika aku belum selesai membaca buku tulisan tanganmu?" kata-katanya menghantamku, menghujamku. "Sekarang, apa maumu?" katanya lagi padaku.
Aku tergagu.

"Ku mohon jangan buat aku kalah taruhan, Sayang.."
Seikat uang berwarna merah bertengger di atas meja.



--
331 words


http://about.me/ririn


No comments:

Post a Comment