Ririn's Page

Monday, January 7, 2013

Aku lapar

"Aku lapar," tangannya yang kurus memeluk perut buncitnya.
Aku memandangnya kasihan.
Kurogoh kantong lusuhku, selembar uang seribu jatuh.
Ku tatap wajah anak itu lagi, uang seribu tak akan cukup membantunya.
"Tunggu sebentar, akan ku carikan makanan," kataku menyentuh tangan kecilnya. Ia hanya mengangguk pelan.

Aku berlari, menyusuri kolong, menapaki lorong.
Rintik-rintik berjatuhan di atas kepalaku, aku tidak ambil pusing.

Di ujung gang kutemukan seorang lelaki tua yang sedang mencuci piring di dekat gerobak jualannya.
Sebuah ide muncul di kepalaku.
"Permisi, Pak, Apakah saya dapat membantu Bapak?"
Ia sedikit terusik. Diliriknya aku, ditatapnya dari bawah sampai ke atas, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah! Jangan membuat onar disini!" hentaknya.
"Aku hanya ingin makan Pak, dapatkah aku mendapatkan makanan jika aku membantu Bapak membersihkan piring-piring Bapak?" kataku tak beranjak sesenti pun.
"Kau kira aku bodoh! Kau pasti mau mencuri, kan? Pergi kataku!" bentaknya lebih keras.
"Tidak, Pak, saya sungguh-sungguh. Adik saya sudah menunggu di ujung gang, dan dia sangat kelaparan," kataku sedikit terisak, seperti hendak menangis.

Ia menatapku lekat-lekat. Beberapa lama dibiarkannya aku tak berkutik di bawah tatapan tajamnya.
"Baiklah. Anggap saja ini untuk adikmu. Jika satu buah piring jatuh dan pecah, aku akan menendangmu dari sini," bentaknya, tapi aku tahu kali ini lebih lembut dibanding sebelumnya.
Terima kasih Tuhan.

Aku segera membersihkan piringnya dengan hati-hati, sangat hati-hati. Satu per satu sudah bersih, hingga semuanya sudah berada di rak, tempat yang tepat.
Aku berdiri, menatap lelaki tua itu.
Ternyata di atas meja, di dekat lelaki itu sudah tersedia sebungkusan plastik.
"Ambillah, dan beri makan adikmu," katanya, masih bernada kasar. Aku maklum.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku lalu menyentuh tangannya ingin mengucapkan terima kasih seperti yang dilakukan anak-anak sekolahan ketika orang tua mereka mengantar mereka ke sekolah.
Seperti tidak siap, lelaki tua itu menepis tanganku.
Aku tersentak.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku sekali lagi, lalu aku berlari. Kembali ke lorong, ke kolong, ke tempat anak kecil itu menunggu.

Ku lihat ia masih dalam posisi yang sama sebelum aku meninggalkannya. Perut kecilnya diselimuti tangan kurusnya.
"Hei, aku membawa makanan untukmu," kataku.
Ia mengangkat wajah tirusnya dan menatapku heran seakan tak percaya.
Segera ku serahkan sebungkus nasi lontong kepadanya.
Ternyata oh ternyata, lelaki tua itu baik sekali, dia membuatkan dua bungkusan, untukku, dan untuk anak kecil ini.
Aku bersyukur untuk hari ini, untuk kebaikan lelaki tua itu. Semoga ia diberkati.
Kami makan dengan lahap malam ini.


No comments:

Post a Comment