"Aku lapar," tangannya yang kurus memeluk perut buncitnya.
Aku memandangnya kasihan.Aku berlari, menyusuri kolong, menapaki lorong.
Aku segera membersihkan piringnya dengan hati-hati, sangat hati-hati. Satu per satu sudah bersih, hingga semuanya sudah berada di rak, tempat yang tepat.
Aku berdiri, menatap lelaki tua itu.
Ternyata di atas meja, di dekat lelaki itu sudah tersedia sebungkusan plastik.
"Ambillah, dan beri makan adikmu," katanya, masih bernada kasar. Aku maklum.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku lalu menyentuh tangannya ingin mengucapkan terima kasih seperti yang dilakukan anak-anak sekolahan ketika orang tua mereka mengantar mereka ke sekolah.
Seperti tidak siap, lelaki tua itu menepis tanganku.
Aku tersentak.
"Terima kasih banyak, Pak," kataku sekali lagi, lalu aku berlari. Kembali ke lorong, ke kolong, ke tempat anak kecil itu menunggu.
Ku lihat ia masih dalam posisi yang sama sebelum aku meninggalkannya. Perut kecilnya diselimuti tangan kurusnya.
"Hei, aku membawa makanan untukmu," kataku.
Ia mengangkat wajah tirusnya dan menatapku heran seakan tak percaya.
Segera ku serahkan sebungkus nasi lontong kepadanya.
Ternyata oh ternyata, lelaki tua itu baik sekali, dia membuatkan dua bungkusan, untukku, dan untuk anak kecil ini.
Aku bersyukur untuk hari ini, untuk kebaikan lelaki tua itu. Semoga ia diberkati.
Kami makan dengan lahap malam ini.
No comments:
Post a Comment