-- Untitled --
“Mengapa kamu memandangku seperti itu?” seruku ketika aku menangkap ada sesuatu yang aneh berkelabat di matanya.
Ia hanya menarik dan kemudian menghembuskan nafas.
“Mengapa kamu menyukaiku?” tanyanya balik. Aku bergidik.
“Aku tidak menyukaimu,” kilahku.
Dia menggeleng.
“Aku tidak pantas buatmu,” ucapnya lagi membuatku semakin terkejut.
“Apa maksudmu?” mataku memandang tepat ke kedalaman matanya, tapi ia berusaha memandang ke arah lain.
“Aku bukan orang yang tepat untukmu, ” katanya lagi tanpa menjelaskan lebih dalam.
Pikiranku bekerja dengan keras menemukan apa maksud dari perkataannya. Aku menemukannya. Ia merasa rendah diri. Atau kemungkinan ia merasa aku jauh lebih hebat daripada dirinya. Aku sedih jika dia merasa begitu. Aku tak ada apa-apanya. Mengapa dia merasa aku hebat dan dia tidak?
Aku menggeleng.
“Aku tidak menyukaimu,” kataku berusaha menampilkan wajah sejujur-jujurnya. “Lagian, mengapa kamu merasa rendah diri? Kamu hebat, tahu!” kataku berusaha memberi semangat kepadanya.
Sinar matanya belum berubah. Aku menjadi sangat sedih melihatnya.
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Kamu bohong,” ucapnya sedih.
“Tidak, aku jujur.”
“Baiklah, kita anggap kamu tidak menyukaiku, lalu apa yang kita lakukan selama ini?”
'Emang apa yang kita lakukan selama ini?'
“Jangan beranggapan yang tidak-tidak, aku memang tidak menyukaimu,” ku tekankan kembali kepadanya.
“Baiklah, baiklah, terserah padamu. Aku harus pergi. Jadwal meeting tinggal sepuluh menit lagi. Sampai ketemu jam pulang nanti.”
Lalu ia sudah beranjak.
Tinggallah aku bersama sekeping hati yang sudah retak.
--
Pernah dipublikasikan disini.
No comments:
Post a Comment