Ririn's Page

Wednesday, January 16, 2013

teman minum kopi

Secangkir coffee latte lagi-lagi menemani ku kala senja kini.
Sesosok lelaki datang menghampiri. Kemudian duduk bersama, di sebelah kiri.

"Eh, tadi aku ketemu sama Nia," ucapku ketika senyumnya sudah menghias pandanganku.
"Mmmh.." ucapnya tidak acuh.
"Dia kirim salam sama kamu," aku masih senyum-senyum sumringah.
"Mmmh.."
"Kok mmmh aja? Ga ada tanggapan, gitu?" tanyaku penasaran.
"Trus, kamu mau aku jawab apa?" tanyanya tanpa perlu menatap wajahku.
"Balik salam gitu? Atau apa gitu .." ku tatap matanya untuk melihat apa yang sedang ia rasakan. Aku tidak menemukan apa-apa.
"Ya sudah, sampaikan saja apa yang menurut mu baik," ia seolah pasrah, seolah senang, aku tak memiliki kesimpulan yang tepat.
"Baiklah. Kalau gitu, akan ku sampaikan kalau kamu juga suka sama dia," kali ini aku ingin ia menyenangkan hatiku dengan berkata tidak.
"Jika itu baik menurutmu, katakan saja demikian," dan hatiku patah.
"Ihk, kamu ga asyik banget, ga ada perlawanan banget," aku mencoba membuatnya berkata tidak.
"Lho, maksudnya?" Kini dia menatapku, heran.
"Ya, katakan kalau kamu gak setuju, kamu gak suka, atau apa kek," aku tahu aku sudah bernada memaksa. Ia menatapku heran.
"Gak mau ah," katanya tanpa sadar bahwa ia sudah menyakitiku.
Aku terdiam. Mungkin ia memang suka sama Nia. Aku salah sangka. Hatiku patah.

Ku teguk coffee latte-ku hingga tetes terakhir.
Aku ingin cepat berlalu dari hadapannya.

"Mau kemana? Buru-buru amat.. Aku belum mesan juga," ia menarik tanganku ketika aku hendak beranjak.
Aku menyerah dan duduk kembali.
"Tadi aku juga ketemu Nia," akhirnya ia bicara juga ketika hening sudah merajai kami beberapa saat.
Aku terperangah. Pantesan ia cuek saja tadi, ternyata mereka sudah saling bicara, dari hati ke hati, mungkin.
"Lalu?" aku berpura-pura senang, ingin mengorek lebih dalam.
"Dia tidak bicara banyak. Apa dia pendiam?" 
"Enggak. Mungkin sama kamu, dia jadi pendiam," kataku sambil tersenyum.
"Aku tidak suka," katanya berterus terang.
Aku merasa sedikit senang.

"Kalau gitu, kamu suka sama siapa?" Upps, aku segera menutup mulutku. Pertanyaan ini begitu saja keluar dari bibirku.
Ia menatapku lagi, heran.
"Aku sedang mati rasa," kilahnya sedih, menangkupkan wajahnya di meja.
Hatiku layu kembali. Ia tak memiliki rasa yang sama.

Ku sentuh bahunya.
"Tenanglah, hatimu akan menemukan pasangannya tepat pada waktunya, Ia akan bangkit ketika sudah saatnya," kataku menghibur dirinya, sekaligus diriku juga.
Ia mengangkat wajahnya, tersenyum melihatku.
Dan, sepersekian detik kemudian, aku sadar bibirnya sudah hinggap di pipi merah-jambuku.
"Makasih, Sayang. Kamu sahabatku yang paling pengertian."
Pipiku berubah warna menjadi merah. Mungkin inilah posisiku saat ini, menjadi sahabatnya dan mendapat perhatiannya, walau hanya sedikit.
Tidak apa-apa, aku sudah sangat senang hari ini.

Ku pesan vanilla latte keduaku hari ini untuk menemaninya minum kopi.

No comments:

Post a Comment