Ririn's Page

Monday, February 13, 2012

Dia

Aku memandang jauh ke depan, ke titik terjauh yang dapat dijangkau pandanganku, ke suatu titik di garis horizontal yang berwarna biru. Biru sebiru langit, biru sebiru laut.

 

Hari ini cerah, seperti hatiku yang cerah. Matahari bersinar tanpa sungkan-sungkan membuat angin berhembus sepoi-sepoi. Aku sedang bersuka hati sebab sedang berlibur bersama pujaan hati.

 

Aku harus menikmati hari ini, karena mungkin tidak akan terulang lagi. Kurasakan hembusan angin yang meniup-niup ujuang rambutku. Kurasakan setiap sensasi dingin yang menjalar. Aku melompat, melempar batu, menulis namaku dan namanya di pasir. Kenangan ini tak akan kulupa, semoga, karena aku tak bisa berjanji, aku tak pandai berjanji.

 

Kulihat dia yang sedari tadi mengikutiku, menikmati angin sepoi-sepoi seperti yang aku lakukan. Rok panjangnya terayun-ayun dimainkan angin. Rambutnya yang digerai panjang tampak berantakan, namun ia tetap cantik, selalu, seperti biasa. Betapa cantik dia.

 

"Indah yaa.." serunya yang kini berdiri di sampingku.

Aku mengangguk. Takjub melihat wajahnya yang bersinar di tengah kemilau air laut yang biru.

"Eh, bengong aja!" ditepuknya pundakku dan menghentikanku dari tindakan memandanginya lekat.

"Makasih ya uda ajak aku liburan ke pantai yang indah ini," ku dengar ucapannya yg tulus.

"Sudah seharusnya aku membawamu kesini, ini kan janji kita berdua," kilahku.

"Yah, walaupun sudah janji, tapi kalau tidak ditepati kan sama aja.." dalam hati aku mengiyakan.

 

"Sebenarnya ada yang aku sembunyikan selama ini terhadapmu."

Ku dengar ia berujar. Dia tampak malu-malu. Aku pun ada, ucapku dalam hati.

"Apa yang kamu sembunyikan selama ini dariku?? Apa aku tidak layak disebut sahabatmu?" aku pura-pura marah.

Dirangkulnya aku dengan manja, seperti sebelumnya, hatiku bergetar.

"Aku sedang suka seseorang."

Glek!

Hatiku berdebar tak karuan. Siapakah yang disukai oleh sahabatku yang cantik jelita ini? Yang hatiku telah penuh dengan keceriaannya? Mungkinkah ..?

 

Dilepaskan rangkulannya, aku merasa hampa. Kini ia tertunduk.

"Siapa?" Akhirnya suaraku keluar juga.

Dia menggeleng, tampak ragu.

Aku sebenarnya tidak ingin menanyakannya lagi, aku takut aku akan terluka. Sakit. Tapi aku tak cukup mampu mengusir rasa ingin tahu yang mendalam secara tiba-tiba di benakku.

 

"Hey, masih menganggapku sahabat?" kali ini aku berusaha menahan nada agar tidak terlihat berlebihan.

Dia masih menggeleng di tundukkannya.

Kuraih dagunya, "Hey, apa yang kamu takutkan dariku, Gadis kecil?" kataku memandang ke kedalaman matanya. Cerah.

"Kamu janji ga akan ketawa mendengarnya?" ditatapnya mataku, memintaku untuk berjanji.

What the? Mengapa aku harus berjanji untuk tidak tertawa? Aku menjadi penasaran siapa yang ada di balik hatinya saat ini.

Apa dia seseorang yang lucu? Berbagai lelaki berkelabat di kepalaku. Atau lelaki yang ia sukai adalah aku?

Tidak mungkin! Pikiran negatif ini harus segera aku singkirkan sebelum ia masuk lebih dalam ke kepalaku.

 

Kini ia melangkah menjauh dariku. Kukejar ia. Dan ku sentuh tangannya. Ia berhenti. Menatapku dalam. Aku semakin gundah. Ada apa gerangan yang terjadi pada sahabatku yang cantik jelita ini?

 

**

 

Bukan, bukan suasana seperti ini yang aku inginkan saat memberitahunya. Garis pantai tanpa batas, debur ombak yang menyapunya terus menerus serta langit biru yang menaungi kepala kami. Bukan, bukan di tempat seindah ini aku akan menyakitinya. Bahkan, sampai detik ini aku sudah melihat jelas kekecewaan di wajahnya. Aku benar-benar takut akan menghancurkan hatinya.


Aku tahu, sudah sejak lama. Aku bisa membacanya dari gelap mata sedalam sumur yang dia punya, mata yang sudah bertahun-tahun menatapku hangat dan membuatku terhanyut di dalamnya.

"Kita sahabat, bukan?" pikirku. Pertanyaan yang selalu saja kuulang agar bunga-bunga di hatiku berhenti bermekaran, agar keinginanku untuk memilikinya lenyap seketika.


"Kamu pasti kenal Harry, teman sekantor yang sering aku ceritakan." Akhirnya keberaniaan itu muncul, dan seperti yang sudah kuduga, wajahnya berubah mendung. "Dia mengatakannya kemarin, aku pikir keputusanku benar, aku menerimanya."

 

"Ha-Harry?Laki-laki itu?"

"Iya, laki-laki itu. Selama ini dia begitu baik, begitu perhatian, tapi sepertinya mataku tertutup sesuatu sampai aku tidak sadar kehadirannya."

Kulihat wajahnya berpaling ke arah laut, ada kesedihan lagi di sana. "Kamu marah? Aku pikir kamu akan mentertawakanku tadi."


Wajahnya berpaling kembali ke arahku, agaknya ada senyum kecut yang berkelebat di raut menyejukan miliknya."Hei, aku sahabatmu, bukan? Aku harus bahagia untuk semua kebahagiaanmu. Benar?"

Ada kepura-puraan, ada keterpaksaan, ada kata 'harus' yang menjelaskan semuanya.

"Dan jangan bertingkah seperti orang asing pada sahabatmu sendiri, aku akan tersinggung kalau kamu melakukannya lagi," lanjutnya dengan nada bergurau. Lalu pelukannya menyelimuti tubuhku yang menegang ketakutan, aku menghancurkan hatinya, dan sudah kulakukan.

Aku menyayanginya, jelas. Aku mencintainya, pasti. Tapi aku adalah sahabatnya, dan aku melaksanakan sumpahku untuk tidak memberinya ruang paling dalam di hatiku.

Maaf.

 

 

 

 

 

10 Februari 2012

Nulis Duet

Tema: Persahabatan

Oleh @ririntagalu dan @_raraa

 

2 comments: