Aku berjalan cepat secepat yang kakiku bisa. Tugas kantor belum kelar, tetapi rasanya aku ngantuk sekali. Tugas kantor membuatku tidak bisa tidur sama sekali.
Aku butuh kopi! Ya, itu yang kubutuhkan saat ini.
Aku bergegas, mempercepat langkahku ke coffee shop langganan. Aku tidak memedulikan bajuku yang kusut dan lusuh karena kupakai semalaman. Orang-orang juga tidak akan memedulikan baju yang kukenakan.
Aku membuka pintu, udara yang hangat menjalari hidung. Aku segera memesan kopi tubruk kental tapi tidak terlalu manis, untuk menghilangkan kantuk yang luar biasa, tapi tidak berbahaya bagi kesehatan. Aku bergerak ke arah bangku-bangku kosong yang belum diduduki pelanggan lain.
Dia..
Aku berhenti melangkah. Dia ada disana. Duduk dengan manis di sebuah coffee shop di kota tempatku tinggal, kota Jogja. Dia sedang asyik menekan-nekan keypad hapenya. Ingin aku pergi dari tempat itu meninggalkannya, tapi hatiku berkata lain, hatiku ingin berbicara dengannya, minimal untuk menanyakan kabarnya.
Ketika aku akhirnya memilih untuk tetap tinggal, ia menengadahkan kepalanya, melihatku. Perlahan tanpa fokus, lalu menatapku dengan bulat matanya. Ia terpana. Yah, tentu saja ia terpana. Ia tidak tahu kalau aku sudah tidak tinggal di ibukota jakarta yang kental dan macet, aku memilih tinggal di kota Jogja yang damai dan menenteramkan hatiku.
Tanpa tunggu menit-menit berganti, aku lalu menghampiri dia di mejanya. Sebuah Coffee latte kesukaannya, masih seperti dulu, terletak di hadapannya, menemani dia. Senyumku masih mengembang sampai ketika ia sadar bahwa yang di hadapannya memang aku, seorang kekasih yang sudah lama berpisah, yang sudah menjadi mantan, usang.
"Alex.." ku dengar suaranya, merdu, masih seperti dulu.
"Halo, Ta. Bagaimana kabarmu?" ucapku tanpa perlu berbasa basi. Eh, apakah kabar bagian dari sebuah basa basi? Tidak buatku, kabarnya adalah berita penting yang ingin kuketahui, bahkan sejak dulu.
"Sedang apa kamu disini?" tanyanya, tanpa perlu menjawab tanya yang kudengungkan.
Bartender meletakkan kopi tubruk pesananku tepat di hadapanku, menjadi penengah antara aku dan coffee latte pesanannya.
"Memesan kopi, ya itu yang ku lakukan disini," aku berusaha mencairkan suasana.
"Di jogja?" tanyanya lagi. Aku masih menangkap rasa tidak percaya di dalam nadanya.
"Ya, aku tinggal disini, Ta. Aku tinggal d Jogja."
"Sejak kapan? Aku tidak pernah tahu," ucapnya, kudengar sedikit rasa malu berbarengan rasa bersalah di dalam nadanya.
Bagaimana kamu bisa tahu Tata, kamu sudah melupakanku, bahkan sebelum tiga bulan hubungan kita kandas, kata hatiku.
"Aku tidak terlalu suka mengumbar status," kilahku menyeringai.
Dia menunduk.
Ah, gadis ini, selalu membuatku merasa dia terlalu lemah, bahkan dari perasaannya sendiri.
"Kalau kamu, sedang apa disini, sendirian?" tanyaku, berusaha membuat suasana kelihatan normal, seperti sepasang teman lama yang baru saja ketemu setelah sekian lama.
"Aku?" dia terlihat bingung. "Oh, aku sedang berlibur. Jogja kota yang asyik untuk dikunjungi," ujarnya tersenyum. Ah, senyumnya masih seperti yang dulu, membuat hatiku cengar-cengir tak menentu.
"Kamu belum mandi," tukasnya tiba-tiba.
Aku menunduk, memerhatikan baju lusuh yang kukenakan. Aku terkekeh. "Maklum aku begadang semalaman," ucapku jujur.
"Oh ya? Kamu begitu asyiknya bekerja, hampir-hampir tidak tidur? Hebat sekali!" pujinya. Ya, aku menganggapnya sebagai sebuah pujian.
Ini karenamu, Ta, untuk melupakanmu dan kenangan tentangmu, lagi-lagi hatiku tidak bisa bohong. Dia menatapku dalam diam.
FF berantai.
Kisah sebelumnya.
No comments:
Post a Comment