Merah. Menatapku tajam. Aku terpojok. Antara iya dan tidak.
Tanda itu, masih menatapku tajam.
Ku tatap ia, dengan tatapan melotot, agar ia tidak mengaum padaku.
Kutunjukkan kemarahanku padanya, agar ia tertunduk.
Tapi ia masih dengan warna merahnya, dengan tatapannya yang tajam.
"Hey, Niko, kenapa berdiam diri di situ. Melajulah..." teriak temanku yang sudah berada di balik pagar pembatas, membuyarkan pikiranku. Lalu, ia melajukan motornya dengan kencang, meninggalkan dering motor yang memecah keheningan.
Ah, ia hanyalah sebuah tanda seru, mengapa aku harus pusing memikirkannya. Biarlah, apa pun yang terjadi, terjadilah. Jangan sedih, Tanda seru, karena engkau tidak bersalah. Ini pilihanku, menerobos jalan yang seharusnya tertutup. Membiarkan nyawaku bertarung dengan maut.
Maafkan aku, Tanda seru, aku harus melanggarmu, demi teman-teman yang ku tahu akan meninggalkanku jika aku tak ikut bersama mereka.
Menyedihkan sekali hidupku, bukan? Melakukan apa pun demi sebuah pergaulan yang ku tahu akan berakhir sia-sia.
Tetapi apa lagi yang dapat ku lakukan? Keluargaku hancur, mama dan papaku telah lama bercerai. Teman-teman di sekolah menganggapku anak berandal, jahat, dan tak pantas ditemani.
Aku tak punya pilihan. Biarlah aku ikut dengan mereka, karena hanya merekalah yang menerima aku, dalam keadaanku yang merana seperti ini.
Hey, mengapa engkau menjadi merah padam, Tanda Seru? Menyalalah, tunjukkan merahmu, walau banyak orang yang tak menghiraukanmu, walau banyak orang tak peduli padamu.
"Hey, Niko, ayo, apa lagi yang kau tunggu?" teriak temanku yang satu lagi dengan lantang. Lagi-lagi pikiranku terbuyar.
Kubulatkan tekadku, kutatap sekali lagi tanda itu. "Maafkan aku."
====== SEKIAN ======
Tema: TANDA SERU
@ririntagalu
23 Agustus 2011
Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.
Tanggapan dari Writing Session ada di sini.
Alasan repost ada di sini.
No comments:
Post a Comment