Kasih tak sampai hati membiarkan dirimu terluka, walau ia harus rela mengorbankan dirinya.
"Mengapa kamu memandangku demikian?" suara Rena membangunkan Hannes dari lamunan. Lamunan yang tidak panjang. Ya, lamunannya hanya berjarak setengah meter dari hadapan. Seorang perempuan.
Hannes memberi senyum tipis, seakan hati baru teriris, walau harapannya tidak akan pernah habis.
"Kamu baru ditolak?" tanya Rena menebak.
"Tidak, aku hanya sedang belajar memulihkan hati, menerima keadaan hati."
"Cie.. yang lagi patah hati.."
"Memulihkan hati tidak perlu menunggu ia patah lebih dulu."
"Hannes? Kenapa kamu sok puitis, sok misterius. Ada apa, Nes?"
"Bagaimana jika aku bilang bahwa perempuan yang sedang aku kagumi ternyata menyukai lelaki lain?"
"Emm, itu mah patah hati namanya."
"Tidak, Re, hatiku tidak patah ketika tahu ia menyukai orang lain."
"Lalu? Apa yang terjadi dengan hatimu?"
"Hatiku malah bertumbuh lebih subur dengan melihatnya berbahagia. Hendak berbunga."
"Oh, tidak, Nes, jangan katakan demikian. Karena aku tidak merasakannya demikian. Kamu tahu, aku sedang suka sama seseorang dan jika aku tahu ia suka orang lain, hatiku akan patah, perih, dan aku tidak bisa bersahabat dengannya seperti sebelumnya."
"Itu hati yang belajar salah. Seharusnya hatimu ikut berbunga melihat ia yang sedang berbunga."
"Sungguh, Nes, aku tidak dapat menerima pernyataanmu," Rena menggeleng. "Tunggu, mengapa kita belajar filosofi hati sekarang?" Rena kembali sadar apa yang membuat mereka duduk berdua di luar cafe dan bukannya di dalam - menikmati alunan musik Natal yang meriah. Ya, Herman meminta mereka untuk duduk di luar, demi menikmati malam penuh bintang dan bukan bir.
"Oh iya, Herman mana, kenapa belum muncul? Sudah jam segini."
Rena melihat ke arah jamnya di pergelangan tangan kanannya.
"Mungkin ia dijebak kemacetan," Hannes seperti tidak merasa terganggu dengan keterlambatan Herman.
"Hei, bukankah kamu yang selalu anti telat, kenapa sekarang kamu malah asyik duduk - hanya memandang smartphone yang tidak bergerak?" Rena habis pikir dengan perubahan yang terjadi dengan Hannes; sudah habis ia berpikir, tapi ia tidak menemukan alasan di balik perubahan Hannes. Di cafe, dari awal mereka duduk, Hannes sudah seperti dirundung pilu.
"Okay, sebelum Herman tiba, aku ingin kamu cerita apa yang terjadi padamu sebenarnya?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi, Rena? Atau kamu tidak mendengarkan aku tadi bercerita? Perlukah aku mengulangnya? Atau perlukah aku merekamnya? Perlukah aku meneriakkannya sehingga seluruh dunia mengetahuinya?"
Dan kali ini, Rena semakin yakin ada yang tidak beres dengan temannya yang satu ini. Hannes bicara seakan sedang berpuisi atau menuliskan karya untuk tugas kuliah sastra, dengan gerakan tangannya yang setengah terangkat di udara.
"Baiklah, terserahmu. Aku tidak akan bertanya apa-apa lagi padamu," Rena akhirnya menyerah pada waktu.
"Hey, jungs, maaf telat, sungguh tempat ini begitu ramai sampai aku sulit mencari parkir. Kalian sudah pesan apa saja? Sudah pesan untukku juga?"
Rena memandang Herman kesal. Hannes masih asyik menyilangkan tangannya di atas meja dan dagunya ia taruh di atasnya.
"Hey, aku minta maaf, sungguh, aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Herman lagi melihat tidak adanya reaksi dari kedua orang yang duduk di hadapannya.
"Baiklah, kamu dimaafkan."
Rena sudah tersenyum kembali. Ia tidak pernah bisa marah pada Herman, entah kenapa. Tadi itu hanya pura-pura.
"Hannes..?" Herman mencolek bahu Hannes.
"Apa?" Hannes menjawab ketus. Herman memainkan matanya, seakan memberi tanda. Hannes tidak mendapatkan maknanya. Herman mendenguskan nafas panjang.
"Hannes, bukankah Livy menuggumu? Katanya kalian ada janji, dia sudah ada di lokasi."
Seakan muncul lampu yang terang di kepala Hannes, ia menepuk jidatnya. "Oh iya, aku lupa. Yah, Re, maaf, aku harus menemui Livy."
"Jadi, perempuan itu ternyata Livy? Bukankah kamu bilang dia suka sama orang lain? Siapa objek yang dia sukai?"
Hannes tidak dapat menemukan jawaban atas ledekan Rena.
"Yah, Re, kan namanya juga usaha.." syukurlah Herman segera menimpali.
"Baiklah, ini tiketnya," kata Hannes segera memberikan dua buah tiket nonton kepada Herman.
"Lho, kenapa hanya dua? Tadi bukannya beli tiga?" seru Rena.
"Oh itu, tadi aku yang bilang sama Hannes, biar aku saja yang beli tiket untukku, makanya dia hanya beli dua. Yah, kalau begini, sih aku gak perlu beli tiket lagi. Iya, kan Nes?"
"Iya iya.." Hannes memaksakan senyumnya. "Aku cabut ya. Selamat bersenang-senang.." tanpa menunggu jawaban, Hannes segera melangkah cepat menjauh dari mereka berdua. Tidak, hatinya tidak patah, ia hanya perlu waktu membiarkan hatinya berbunga bersamaan dengan berbunganya hati perempuan yang ia suka. Ia hanya perlu bersabar. Ingin ia menoleh ke belakang, barang sekali atau dua kali lagi, tapi ia cukup punya nyali untuk mengakali hati.
######
"Hannes, makasih ya.. Kalau bukan karenamu, aku tidak akan bisa sampai di posisi saat ini," Herman sedang duduk berdua dengan Hannes di cafe yang sama seperti hari sebelumnya.
"Kalau kamu ada waktu itu, kamu bisa melihat betapa kagetnya wajah Rena. Ia sama sekali tak menyangka. Tapi, entahlah, aku selalu tahu bahwa dia akan menjawab 'iya', dan aku benar: dia menjawab iya. Sekarang hubungan kami sudah resmi. Aku senang sekali."
Herman menuangkan bir ke gelas Hannes, "Mari bersulang lagi, demi persahabatan kita yang tidak akan pernah berakhir. Persahabatan yang dibawa sampai mati."
Hannes tersenyum pahit, merasakan bir di bibirnya yang semakin pahit.
Ya, hatiku akan berbunga seiring dengan hatinya yang berbunga; karena kebahagiaan yang ia punya adalah kebahagiaanku juga.
Bukankah itu makna Natal yang disampaikan oleh Pendeta tadi malam? Menjadi teranglah, memberi kebahagian bagi orang di sekitar.
Tugas itu sudah ku lakukan tadi malam.
######* End *######
Ditulis untuk Group Menulis ENZaSuRe
Dengan tema: All About Christmas
Deadline : 4 Desember 2016
Note: Kelihatannya ga sesuai tema. Maapken.
Kak ririn tetap paten menulis cerpen. :)
ReplyDeleteJadi sumringah, padahal uda gatau ke mana cari ide baru. Semangat, En!
DeleteAku gak pande menjelaskan kak, kadang beda yg ditulis sama yg dimaksud. :D
ReplyDelete