Televisi tua itu berada di ruang tamu rumah kakek. Televisi itu sudah rusak, layarnya yang dulu menampilkan warna hitam putih sudah tidak segagah dahulu. Ayah ingin sekali membuang televisi itu dan menggantinya dengan televisi berwarna yang banyak dijual dengan harga-harga murah di pasar, tapi kakek selalu melarangnya. Bahkan jika ayah menyebutnya sebagai televisi tua atau televisi reyot, kakek akan marah besar dan akan mengata-ngatai ayah sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih. Ayah menjadi serba salah. Ingin memberikan yang terbaik kepada orangtuanya dianggap mendatangkan musibah.
Pernah suatu kali ayah membawa televisi baru yang berwarna ke rumah kakek. Lalu apa yang terjadi? Televisi itu tidak diterima oleh kakek, malah kakek menyuruh orang lain mengantarnya langsung ke rumah ayah. Ayah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengganti televisi yang tua itu. Ingin aku bertanya kepada Kakek kenapa Kakek begitu mempertahankan televisi tua itu, tetapi ketakutan segera melingkupiku ketika hal itu terlintas di pikiranku. Kemarahan kakek salah satu hal yang paling menakutkan yang pernah kupikirkan.
Sebuah suara menyentakku. Suara derak pintu dari arah dapur, kakek sedang memasak makan malam untuk kami berdua. Hari ini dan sampai besok aku akan tinggal bersama dengan kakek, ayah ibuku pergi ke luar kota untuk urusan keluarga yang tidak bisa ditunda. Jadilah aku tinggal bersama kakek. Selama ini hubunganku dengan kakek baik-baik saja, malah bisa dikatakan cukup akrab. Jadi, tidak menjadi masalah untukku tinggal bersamanya selama dua hari ini.
Dia tinggal sendiri di gubuknya yang tua dan tidak memiliki teman bicara, sehingga aku sering datang menemaninya menjalani hari-harinya yang lambat.
"Sudah lapar, Bimbim?" suaranya yang serak menghiasi kesepian malam.
Kakek selalu memanggilku dengan sebutan Bimbim, sementara ayah dan ibu memanggilku dengan sebutan Bimo. Aku senang cara kakek menyebut Bimbim, begitu khas.
"Sudah, Kek. Apa yang Kakek masak?" tanyaku antusias mencium aroma yang sedap.
"Nasi plus ikan asin ..." kata Kakek bersemangat. "Tidak lupa sayur lodeh," ucapnya lagi dan semuanya sudah tertata dengan rapi sesuai khas Kakek.
Bagitu nyaman berada di dekat kakek, udara yang hangat menambah nikmat malam makan berdua.
"Makan malam tidak akan terasa lengkap tanpa acara televisi," kata Kakek seraya beranjak mendekati televisi kesayangannya, menghidupkannya. Suara berderak-derak menghantam. Aku tidak suka suaranya, layarnya yang hitam putih membuat mataku sakit. Tapi aku tidak berkata apa-apa, aku tidak ingin menyakiti perasaan kakek. Aku tak ingin ia kecewa dengan ketidaksukaanku.
"Baiklah, selamat makan," suaranya yang lantang mengalahkan suara derakan televisi.
Aku tersenyum, dan menyantap makananku. Nikmat.
Benar kata ayah, masakan Kakek itu enak, seperti yang sudah dirasakan oleh ayah selama bertahun-tahun.
Agak lama kami berdua terdiam di depan layar televisi hitam putih yang menampilkan berita-berita nasional.
Ingin aku memcah keheningan, tetapi apa yang ingin aku tanyakan? Sebuah pikiran terlintas di kepalaku, senyum mengambang di bibir.
"Kakek, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku takut-takut.
Kakek menoleh padaku, matanya menyiratkan keingintahuan.
"Tanyalah, Bim."
"Tapi, Kakek harus berjanji satu hal .."
"Apa itu?"
"Kakek tidak akan marah padaku .."
Kakek terperangah dengan syarat yang aku ajukan. Lalu, ia tersenyum.
"Baiklah, katakan apa yang ingin kamu ketahui," ucapnya bijaksana.
"Mengapa Kakek begitu menyayangi televisi ini?"
Tampak warna wajah kakek berubah. Aku takut, bagaimana jika kakek marah besar sama seperti ketika marah terhadap ayah?
Aku ingin berancang-ancang pergi dari tempat itu, ketika, secara tiba-tiba wajah kakek tersenyum.
"Karena televisi ini mengingatkanku pada nenekmu.." ucapnya lembut, seakan setiap katanya diucapkan penuh cinta.
Aku terenyuh.
Ternyata kakekku yang kelihatan tegar ini menyimpan begitu banyak kenangan manis di kepalanya. Aku tersenyum. Ku rangkul kakekku itu.
"Nenekmulah yang membelikan televisi ini untuk kakek, Bimbim," ucapnya lagi.
"karena itulah Kakek tidak mengijinkan ayahmu menggantinya. Kakek tidak ingin hari-hari Kakek jalani tanpa kehadiran nenekmu."
Aku merasakan Kakek meneteskan air mata, tapi aku pura-pura tidak tahu.
Suara derak-derak televisi terdengar indah di telingaku sekarang. Layarnya yang hitam putih pucat tidak membuatku mataku sakit. Aku melihat ada cinta di setiap hal yang ditampilkan televisi tua itu.
Aku berjanji, aku akan mengatakan pada ayah untuk tidak menyinggung-nyinggung televisi baru lagi. Aku ingin kakekku bahagia bersama televisi tuanya.
====== SEKIAN ======
Tema: TELEVISI
@ririntagalu
Selasa, 6 September 2011
Dipublish sebelumnya di Writing Session Club.
Alasan repost ada di sini.
No comments:
Post a Comment