3-- Untitled v2.0 --
“Mengapa kamu memandangku seperti itu?” seruku ketika aku menangkap ada sesuatu yang aneh berkelabat di matanya.
Ia hanya menarik dan kemudian menghembuskan nafas.
“Mengapa kamu menyukaiku?” tanyanya balik. Aku bergidik.
“Aku tidak menyukaimu,” kilahku.
Dia menggeleng.
“Aku tidak pantas buatmu,” ucapnya lagi membuatku semakin terkejut.
“Apa maksudmu?” mataku memandang tepat ke kedalaman matanya, tapi ia berusaha memandang ke arah lain.
“Aku bukan orang yang tepat untukmu, ” katanya lagi tanpa menjelaskan lebih dalam.
"Tunggu dulu, kamu bilang seperti ini atas dasar apa? Apa kamu mau bilang bahwa aku tidak layak untukmu, apa aku sebegitu tidak menariknya, sehingga kamu segera membatasi diriku untuk tidak punya rasa apa-apa padamu? Ini di luar aku suka padamu atau tidak lho.." dia memandangku dengan tatapan aneh yang tidak dapat aku artikan.
"Perempuan memang selalu begitu, selalu menafsirkan semuanya sesuka hatinya," ujarnya ketus.
"Jadi. pendapatku tadi salah? Uppps, maaf kalau begitu."
"You deserve better than me.."
Pikiranku bekerja dengan keras menemukan apa maksud dari perkataannya. Aku menemukannya. Ia merasa rendah diri. Atau bisa dibilang dengan kata lain bahwa ia merasa aku jauh lebih hebat daripada dirinya. Aku sedih jika dia merasa begitu. Aku tak ada apa-apanya. Mengapa dia merasa aku hebat dan dia sendiri tidak?
Aku menggeleng.
“Sekali lagi ku katakan, aku tidak menyukaimu,” kataku berusaha menampilkan wajah sejujur-jujurnya, dengan tatapan setengah marah. “Lagian, mengapa kamu merasa rendah diri? Kamu hebat, tahu!” kataku berusaha memberi semangat kepadanya.
Sinar matanya belum berubah. Aku menjadi sangat sedih melihatnya.
“Ada apa lagi?” tanyaku.
“Kamu bohong,” ucapnya sedih.
“Tidak, aku jujur.”
“Baiklah, kita anggap kamu tidak menyukaiku, lalu apa yang kita lakukan selama ini?”
'Emang apa yang kita lakukan selama ini?'
“Jangan beranggapan yang tidak-tidak, aku memang tidak menyukaimu,” ku tekankan kembali kepadanya. "We're just friends, a good one."
“Baiklah, baiklah, terserah padamu. Aku harus pergi. Jadwal meeting tinggal sepuluh menit lagi. Sampai ketemu jam pulang nanti.”
Lalu ia sudah beranjak.
Tinggallah aku bersama sekeping hati yang sudah retak.
--
Edited from Untitled.
SprintF7 - Jak, 5 Jan 2015
Note: This version is made because there is a request from a friend, and some words must be changed.
No comments:
Post a Comment