Ririn's Page

Wednesday, January 21, 2015

Cinta kok diam-diam?

"Kamu lagi apa?" kata Vektor.
"Makan es krim, nih, enak.." Olli menyendok es krim ke mulutnya.
"Kamu kece lho.. good looking.. suka senyum.. " kata Vecktor lagi.
"Makasih lho, Sayang! Bye!" Olli menutup teleponnya. "Kamu ngomong apa tadi, Tor?"
Vecktor seperti tersadar. "Enggak ada, siapa yang ngomong sama kamu..?!"
"Lho?! Tadi, bukannya..?" Olli merasa aneh. Dia merasa Vektor berbicara padanya tadi. Olli menjadi manyun.
 Vektor murung.

"Kamu pulang bareng ama aku?" kini Vektor ingin menyairkan kekakuan di bibir Olli yang sedang berlipat.
"Enggak, Timo bakal jemput!"
"Ya elah, Timo jemput?! Dia kan lagi main bola, pasti dia lupa sama kamu.."
"Ya enggaklah, dia pasti ingat.."
"Apalagi kalau sampai tim menang babak pertama, pasti lanjut ke babak kedua.. Yakin deh, dia bakal lupa, trus lama-lama dia bilang maaf ya, Sayang aku ga bisa jemput," Vektor menirukan cara bicara Timo. Entah mengapa dia menjadi kesal cerita tentang Timo.

"Kamu kok gitu sih? Kok makin lama makin jahat?"
"Enggak, aku uda dari dulu kayak gini.. Kamu aja yang gak nyadar-nyadar. Lagian ya, Li, Timo emang gitu orangnya, lebih fun di bola daripada jemput anak orang.."
"Yeee.. Vektor, aku bukan sembarang anak orang, aku ini pacarnya.. Kok kamu jadi buat aku sewot gitu sih?" Kekesalan Olli menjadi-jadi. Sekarang Vektor yang merasa bersalah.
Akhirnya ia tertunduk.
"Maaf deh, maaf.."
Olli mendengus.

"Yah, orang lagi minta maaf, malah dicuekin.." Vektor menyatukan telapak tangannya di hadapan Olli, "aku minta maaf ya.. please.."
Olli mengembuskan nafas. "Oke, aku maafin, tapi jangan diulang ya.."
"Iyaa.."
Akhirnya Olli dan Vektor bisa tersenyum lagi.


"Jadi, kamu mau nunggu dia?"
"Iya, kamu gapapa duluan aja.. Aku masih ada ini yang nemanin.." Olli menunjuk buku biru yang ada di tangannya.
"Yakin nih?"
"Iya, gapapa.. Kamu boleh duluan asal jangan lupa bayar es krim mu ya.." seru Olli dengan nada bercanda.
"Baiklah, aku mah asyik-asyik aja.." Vektor memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, kemudian menyandangkan tas itu ke bahunya yang sedikit bidang.
"Sekali lagi nih, aku tanya .." sebenarnya dia masih ingin menemani Olli, tapi apa boleh buat, si dianya lebih senang ditemani kesendirian.
"Iya, Tor, gapapa, hati-hati di jalan ya.." seru Olli memotong kata-kata Vektor.

Vektor hanya bisa mengangkat bahu kemudian berlalu dari hadapan Olli. Tentu dia sudah membayar es krim pesanan mereka. Vektor kan lelaki gentle.


####


"Tor, kamu gak ikut main bola?" seru Wevan, kakak lelakinya yang sedang mengikat sepatu ketika ia baru saja membuka pintu rumah.
"Enggak, lagi malas, banyak tugas."
"Oh, tumben. Biasanya kamu yang nomor satu, sekarang nomor sejuta."
Vektor cuek saja menghadapi sikap kakaknya itu. "Bukannya babak pertama uda kelar, ngapain kesana lagi?"
"Kita menang dong, Bro.. ini mau main babak kedua, lagi istirahat, mereka nunggu aku datang, pemain utama.."
"Pemain utama dari Belanda! Pemain utama mah ada sejak awal tanding, bukan setelah selesai.."
"Yah, kali ini kasus khusus, kan tadi ada bimbingan guru, makanya telat." Wevan mengetuk bahu Vektor yang mengakibatkan tas Vektor melorot dari bahunya. "Woi!" seru Vektor kaget.
"Wish us luck, Bro!" kemudian Wevan kabur dengan pintu yang terbuka lebar. Terpaksa Vektor beranjak untuk menutup pintu kembali.
Dia berjalan pelan ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya, menjatuhkan tas punggungnya di atas meja belajar, dan merebahkan diri.
"Oh, iya, Olli gimana? Tapi.. ah.." Vektor mengambil telepon pintar-nya, mencari nomor telepon Olli. Ketika dia sudah menemukannya, dia menjadi ragu, dia meletakkan teleponnya lagi. Dia tidak akan melakukan hal bodoh.

Vektor bangun dari pembaringan, mengambil handuk hendak menyegarkan diri.
Kilatan cahaya dari teleponnya membuat Vektor menatapnya dengan lekat. Ia menekan kebanggaan pada diri sendiri dan meraih telepon pintarnya, tertera nama Olli disana. Akhirnya, tanpa pikir panjang ia meraih kunci motornya dan bergegas menuju seorang perempuan nun jauh disana, di sebuah cafe, sendirian.

Vektor nampang gencar, mengganti kopling, menginjak gas, menekan rem, kemudian menekan klakson. Vektor menekan rem dan klakson bergantian.
"Piuhf," akhirnya tiba juga di cafe yang tak seberapa ini.
Vektor segera menarik kunci dari stang motor, bergegas menuju tempat duduk si gadis manis.
"Kalian menang? Keren.. Trus, babak kedua kenapa gak main?" terdengar suara Olli dari dalam cafe..

Saat itu juga, Vektor ingin membenturkan kepalanya ke pintu. Atau membawa motornya berkecepatan tinggi tanpa perlu menginjak rem sama sekali. 

Argh! Aku tidak akan tertipu lagi dengan perasaan ini. Aku akan menguburmu dalam-dalam, sedalam yang aku bisa. Sial!



http://sebandung.com/wp-content/uploads/2014/02/I-Scream-For-Ice-Cream-Bandung.jpg



1 comment:

  1. Kurang faham artinya...apalagi pragrafh trakhir. Btw si Vector naik mobil apa motor sih? Hahaha

    ReplyDelete