Aku berjalan pelan, bahkan sangat pelan. Rasanya punggungku sakit lagi. Ada rasa kaku, ngilu yang membeku. Sudah beberapa hari ini aku merasakannya, tapi aku tidak terlalu memusingkannya. Mungkin itu hanya faktor usiaku yang tidak muda lagi. Empat puluh tujuh tahun, bukan usia yang muda, bukan? Bahkan anakku yang paling besar sudah bisa menikah, walau ia belum mau, katanya masih ingin menikmati masa muda. Aku mengikuti apa kata dia, toh hidupnya adalah kepunyaan dia, aku hanya seorang mama yang ingin anak-anaknya bahagia.
Langkahku berhenti pada tumpukan pakaian di dalam keranjang, yang selalu penuh dengan pakaian kotor suami dan anak-anakku. Aku memilih pakaian-pakaian yang bisa digabung untuk dicuci dan memisahkan pakaian yang harus dicuci secara terpisah.
Aku seorang wanita karier yang sukses, tapi itu dulu. Aku harus berhenti karena kehamilanku yang pertama. Suamiku tidak mau aku harus mempertaruhkan kehamilanku karena beban pekerjaan di pundakku. Akhirnya aku mengalah, aku mengundurkan diri dari pekerjaan yang selalu aku banggakan. Dan jadilah aku seperti sekarang ini, sendirian di rumah, mengurus semua keperluan rumah, dan ditinggalkan. Anak-anak pergi sekolah, kuliah, dan suamiku pergi kerja. Well, aku sudah terbiasa seperti ini, dan aku tidak keberatan. Aku masih bisa menyibukkan diri dengan pergi berbelanja, bertemu dengan teman-teman ibu rumah tangga, dan juga menjahit atau menyulam. Itu hobi yang selalu menemani hari-hariku.
Kali ini aku sedang memeriksa jas suamiku, meraba-raba kantongnya mana tahu ada kertas penting yang tertinggal. Sebuah note kecil berwarna kuning.
20 Januari 2012
Hotel Indonesia
Jam 6 tepat
Begitu kira-kira isinya. Berarti ini pesan untuk hari ini. Mungkin sebuah meeting. Dan mungkin saja meeting penting. Apa sebaiknya aku telepon saja suamiku? Sebelum aku berlama-lama, aku mengambil telepon genggam dan menelepon suamiku. Memastikan pesan ini sampai padanya.
"Halo," sebuah suara wanita asing menjawab telepon suamiku.
Aku sedikit tersentak. Sudah pukul lima sore, suamiku sudah pulang kantor pastinya. Mengapa ada suara wanita? Tidak, tidak, aku harus pikir positif, aku percaya pada suamiku, dia tidak akan mengkhianati kepercayaanku.
"Halo, ini dengan siapa ya?" tanyaku lembut.
"Ini dengan siapa?" suara itu bertanya balik.
"Ini istri dari Pak Bayu," jawabku pasti, tegas.
"Tuut tuttt."
Teleponnya sudah diputus, begitu saja? Aku tekan nomor ponsel suamiku lagi, aku takut aku tadi salah tekan nomor. Semoga kali ini suamiku yang mengangkat.
Aku mendengar nada tunggu, berulang kali. Apa maksudnya ini? Aku percaya pada suamiku, aku tidak yakin dia mengkhianati kepercayaanku. Dia sangat mencintaiku, aku tahu dengan pasti.
Debaran di dadaku tak lagi dapat kujaga agar tetap normal. Semua pasti tidak seperti yang kukuatirkan. 22 tahun menikah lebih dari sekedar waktu yang panjang untuk satu kata percaya.
Kuhela napas panjang dan kucoba mengingat-ingat sedang apa aku tadi. Kulanjutkan dengan memasukkan pakaian yang sudah terpisah ke dalam mesin cuci. Tapi pikiranku entah kemana. Melayang diantara no handphone suamiku dan suara wanita yang mengangkat telephonenya tadi. Ahhh…
Tanpa sadar aku meninggalkan mesin cuci yang sudah sempat dalam posisi ON. Kupastikan alamat yang kutemukan tadi. Entah suara dari mana menuntunku untuk pergi ke alamat yang tertera di note tadi. Aku mengganti pakaian seadanya dan memberhentikan taxi yang lewat dari depan rumah.
"Hotel Indonesia mas," kataku, tak ada sahutan dari depan. Tapi aku tau kemana arah taxi ini melaju. Menuju jalan Thamrin.
Pikiranku bermain dalam memori beberapa bulan ini. Mas Bayu tak seperti biasa. Tak sehangat sebelumnya. Memakaikan dasi adalah tugas yang harus kulakukan untuknya setiap pagi, itu sebelum beberapa bulan yang lalu. Entah bagaimana awalnya hingga akupun tak lagi merasa kehilangan kebiasaan itu.
Sekali sebulan kami punya jadwal makan malam berdua di tempat-tempat romantis. Sekarang tak lagi. Mungkin karena pekerjaan mas Bayu yang juga mulai bertambah, sejak dia dipromosikan ke bagian pemasaran.
Tapi tak hanya makan malam berdua yang sudah terlewatkan, sarapan pagi bersama anak-anak pun mas Bayu adakalanya tak lagi punya waktu. Kami juga tak lagi pernah berbagi cerita tentang satu hari yang kami lewati saat akan menjelang tidur. Diam telah menjadi bahasa yang kerap kudengar darinya.
Belakangan saat terbangun tengah malam aku sering memergokinya sedang memandangiku aneh. Pernah sekali dia berkata "aku kangen"
Bukankah aku selalu ada di sampingnya.
Aku pikir itu bagian dari gaya baru mas Bayu. Sekarang aku merasa itu bukan. Air mataku jatuh tanpa permisi.
"Mas Bay….ada apa?" bisikku tanpa sadar
"Bu, kita sudah sampai…" supir taxi memandangku dari kaca depan dengan heran.
"Oh iya mas…" buru-buru aku hapus air mataku. "Tunggu aja mas, gapapa argonya tetap jalan.."
Kupandangi gerbang masuk hotel yang kutuju.
Jam 6 kurang beberapa menit. Sepuluh, lima belas dan akhirnya satu jam sudah aku menunggu. Tak ada sesuatupun terjadi, aku bahkan tak berani mencoba keluar dari taxi.
Supir taxi yang sedari tadi dengan sabar menunggupun sekarang sudah mulai kelihatan kuatir dengan sikapku.
"Kita balik ke tempat tadi aja mas…" aku harus pulang. Tak ingin anak-anakku mendapatiku tak ada di rumah. Lagipun kurasa aku lebih baik bertanya langsung pada suamiku tentang banyaknya pertanyaan dan perubahan yang ada padanya.
Sesampainya di rumah, Grace dan Dimas telah menantikanku dengan wajah penuh tanya. Aku harus bisa menjaga semuanya tetap baik. Senyum terbaik kurasa bisa menutupi kegusaranku.
"Mama dari rumah tante Silvy, kena macet dan akhirnya pulang kelamaan," aku tak pandai berbohong dan itu adalah usaha yang terbaik bisa kulakukan.
"Ma…mama baik-baik aja kan? Tadi aku tanya tante Silvy dan katanya mama ga ke sana. Handphone mama juga ga dibawa, mesin cuci ditinggalin seperti itu," Grace menggenggam tanganku lembut, dia tau aku sedang berusaha berbohong. Aku harus bagaimana? Tubuhku bergetar, pandanganku mulai nanar.
"Mama pengen istirahat" aku hanya bisa menghindar. Kutinggalkan anak-anakku dengan kekuatiran mereka. Aku masuk ke kamar dan membaringkan tubuhkan. Air mataku mengalir deras.
Mas Bayu adakah satu-satunya pria yang paling kupercaya, dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah bagian dari jiwaku, dia adalah sandaranku sebagai seorang wanita. Mas Bayu adalah kekuatan yang sekaligus juga adalah kelemahanku. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika kecurigaanku berarti sesuatu yang buruk. Suara wanita di telephone tadi kembali terngiang di telingaku, aku mulai menghubung-hubungkan rentetan kejadian beberapa bulan ini.
"Vin…." Mas Bayu sudah ada di sampingku, dia menyentuh punggungku lembut. "Vina…kamu kenapa?" suara lembutnya menambah kepiluanku.
Mas Bayu sudah ada dihadapanku, memandangku dengan tatapannya yang dulu membuatku tak bisa berkata "tidak" saat dia melamarku.
"Kita baik-baik aja kan mas…" aku berusaha tenang. Sangat berusaha.
"Kenapa kamu bicara seperti itu Vin?
"Aku merasa ada sesuatu yang salah diantara kita… maafkan aku, tapi aku mulai meragukanmu. Dan aku merasa sedang menyakitimu dan menyakiti diri sendiri saat aku tak bisa bertahan untuk tetap mempercayaimu Mas.."
Mas Bayu memelukku erat, sangat erat. Aku tak tau apa arti pelukannya. Lembut namun jelas dia mengucapkan kata maaf di telingaku. Tapi aku juga tak tau untuk apa maaf itu.
"Aku mencintaimu Vina… sangat mencintaimu. Dan itu tidak akan berubah," perlahan mas Bayu melepaskan pelukannya. Dia menggenggam tanganku dan menuntunku keluar dari kamar, menuju meja makan. Grace dan Dimas menantikan kami dengan senyuman yang hangat.
Semua orang, namun tidak termasuk diriku berusaha sedang menikmati makan malam ini. Apakah hanya aku yang sedang merasa ada sesuatu diantara kami? Ataukah hanya aku yang tidak pandai berpura-pura?
Dimas seperti biasa menceritakan kisah-kisah lucu di kampusnya, dan Grace mulai protes dengan orang-orang di kantornya yang berusaha menjodoh-jodohkannya dengan anak baru yang bulan lalu dimutasi ke kantor mereka.
Sesekali aku memaksakan diri tersenyum, tak ingin rasanya merusak suasana meja makan ini. Mas bayu, dia seolah-olah baru saja kembali menjadi Mas Bayu yang dulu. Dia adalah ayah yang terbaik buat anak-anakku dan saat saat seperti ini aku sangat bisa melihat itu, dia bisa menjadi pendengar yang baik, menjadi sahabat dan orang tua yang mendengarkan.
***
Sebelas bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Dan baru kemarin kami mengantarkan mas Bayu ke peristirahatan terakhirnya. Kanker hati telah memaksanya untuk berhenti berjuang hidup.
Bulan-bulan terakhirku bersamanya adalah bulan-bulan dimana aku harus melihatnya harus sangat menderita menjalani hidup.
Saat dia mendengar diagnosa dokter, maka anak-anak kami adalah orang-orang yang pertama kali diberitahunya, karna katanya anak-anak akan tetap bisa menjagaku. Mas Bayu telah merencanakan semuanya dan anak-anak hanya bisa mendukungnya. Pada akhirnya aku juga tau Grace tak ingin segera menikah adalah untuk tetap bisa mendampingiku disaat-saat akhir hidup ayahnya.
Maaf telah dengan sengaja menyakitimu Vin… maaf telah membuatmu harus belajar kehilangan aku bahkan saat aku masih ada di sampingmu.
Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan cukup tangguh saat kehilanganku.
Aku pernah berjanji di depan altar untuk bersamamu saat suka dan duka, saat sakit maupun sehat. Pernah berjanji untuk menjaga dan tetap mencintaimu.
Namun aku tak ingin membuatmu terluka dengan semua kebersamaan kita. Aku ingin kau juga akan tetap bahagia meski tanpaku. Aku ingin tetap mencintaimu seperti janjiku, hanya saja dengan cara yang berbeda.
Kebahagiaanmu adalah janjiku, menyakitimu sesaat mungkin hanya salah satu cara untuk tetap menjagamu.
Aku tak ingin kau bersedih jika kelak tiap pagi tak lagi harus memasangkan dasi buatku, tak ingin engkau merasa kesepian jika malam tak lagi punya teman berbagi cerita tentang satu hari yang terjadi, tak ingin kau bersedih jika kelak aku tak lagi bisa ada untukmu. Aku ingin tetap menjagamu seperti janjiku tapi bukan dengan cara yang kau pikirkan.
Aku ingin menggenapi janji yang pernah kubuat meski tak lagi ada untukmu. Aku ingin engkau tetap bahagia. Kau telah berkorban banyak untukku… Aku telah mengambil terlalu banyak dari dirimu Vin… waktu dan karirmu telah kau korbankan untuk mencintaiku. Untuk keluarga kita.
Maafkan aku, tetaplah bahagia meski aku tak ada. Aku takkan memintamu tetap bahagia demi aku, sebab akan terlalu egois aku karna itu, tapi bahagialah demi cinta kita. Demi janji yang pernah kita buat. Aku telah berusaha menggenapi janjiku.
Cintamu
Bayu
Bahkan sampai dia tak adapun, dia tetap menjadi pria yang terbaik dan paling mencintaiku. Aku akan tetap bahagia demi cinta kami. Aku berjanji!
Nulis Duet dengan tema : Menggenapi!
oleh @ririntagalu dan @da_manique
Jakarta dan Balige