"Dia menembakku.." ucapku padanya perlahan.
Aku melirik lelaki yang ada di depanku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam benaknya, aku tak berani berkutik. Ia sosok lelaki yang baik, yang menjadi temanku paling akrab. Walau ia terkenal bukan anak yang baik, tapi ia selalu baik padaku. Mengantarkan aku pulang kuliah. Selalu. Jika aku ingin pulang duluan, ia tak akan mengijinkanku, walau ia masih memiliki keperluan di kampus. Ia akan mengantarkan ku pulang terlebih dahulu, lalu kembali ke kampus. Aku tahu itu.
"Lalu, apa jawabmu?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Tak biasanya, ia tidak menatap mataku.
"Aku .. belum."
"Belum apa?" terdengar rasa penasaran di nada bicaranya.
"Aku belum menjawabnya."
"Kapan?"
"Tadi malam."
"Maksudku, kapan kamu akan memberi jawab kepadanya .."
"Malam ini."
Seketika keheningan menyelimuti kami. Bahkan untuk berkutik pun aku tak mampu. "Aku bingung.." ucapku akhirnya memecah keheningan seribu bahasa.
Kali ini, aku merasakan tatapannya menghujam ke dalam bola mataku, tapi aku tak berani balas menatapnya.
"Kenapa? Apa yang membuatmu bingung?" ucapnya penuh tanda tanya.
"Aku hanya .. " pikiranku menerawang di angkasa, aku tak tahu jawaban apa yang pantas untuk aku katakan, "aku tak tahu bagaimana perasaanku .."
"Dia orang yang baik. Mengapa kamu takut? Aku yakin dia akan menjaga mu dengan baik." ucapnya penuh dengan keraguan, atau kebohongan? Aku tahu ada yang lain di dalam kata-katanya. Tapi aku tak punya gambaran sama sekali.
"Entahlah, aku tak tahu. Bagaimana menurutmu?"
"Menurutku? Kenapa bertanya padaku?"
"Entahlah, aku pikir kamu dapat membantuku menentukan pilihan."
Aku masih tertunduk. Bimbang. Lelaki itu bukanlah lelaki yang buruk, hanya aku lebih menyukai lelaki lain.
"Terima saja.." ku dengar suaranya dengan jelas. Aku terperangah. Jawaban apa sebenarnya yang kuiginkan dari lelaki ini? Aku sama sekali tak tahu apa aku harus senang dengan jawabannya atau malah sedih?
Aku terdiam. Tak mampu mengiyakan, atau pun menolaknya.
"Kenapa diam?"
"Jadi, itu yang kamu katakan? Aku menerimanya?" tanyaku pelan, seolah bicara pada semilir angin.
"Ya, aku tahu ia tidak main-main denganmu," ku dengar suaranya yang ia mantapkan.
"Well, kalau begitu, aku akan bilang begitu," ujarku, walau hatiku berkata lain.
"Bagus!" Senyumnya terlihat palsu di mataku.
Ah, aku benci situasi ini, kenapa aku ga bisa berterus terang padanya? Mengapa dunia ini begitu tidak adil, ketika subjeknya adalah seorang perempuan?
"Kamu mau ku antar pulang, atau kamu masih disini?" tanyanya membuyarkan anganku.
"Eh?" aku bingung dengan pertanyaannya.
"Aku mau pulang, mama tadi bilang aku harus pulang cepat," ujarnya. Tatapan matanya jauh, ke arah matahari yang hampir tenggelam disana.
"Ya, aku pulang aja."
Sejurus kemudian, aku sudah berada di kamarku sendiri. Memikirkan semuanya sendiri.
Mengapa ada yang berbeda dari sikapnya? Tiba-tiba saja ia mengantarku pulang, dan pamit dengan dingin tadi? Well, there's something wrong.
**
Sudah lewat seminggu, tapi Michael tak menghubungiku. Kemana dia? Aku sudah menghubunginya, tapi tidak pernah ada kabar lebih lanjut. Aku kehilangan. Sungguh. Kehampaan ini begitu menyesakkan, menggangguku.
****
November 2012
Sebuah pesan singkat mengganggu tidurku, dari nomor tidak dikenal. Dengan setengah terpejam, aku membacanya.
Halo Dian.. Ini aku Michael.
Deg! Jantungku seperti hendak terbang, keluar dari sarangnya. Sumber rinduku ada di suatu tempat yang aku tidak tahu dimana, tapi aku tahu dia sedang memikirkanku, atau membutuhkanku.
Segera, aku menekan tanda panggil.
"Halo.." kata suara di seberang sana.
"Michael.." kataku, rinduku memuncak, meledak, hingga tak terasa sebuah tetesan ada di ujung pelupuk mataku.
Jangan kata aku lebay, tapi ini jujur dari dasar hatiku. Bagaimana kamu tiba-tiba kehilangan seseorang dan tiba-tiba menemukannya jauh hari setelah itu.
**
"Apa kabarmu?" perkataan yang sangat basa basi terucap dari mulutnya.
"Baik. Kamu?" aku juga terikut basi olehmu.
"Baik juga."
Lalu, kamu diam. Aku juga terdiam.
Dua menit berlalu.
Aku mengalihkan perhatianku pada gelas di depanku.
Enam menit berlalu.
Aku sibuk dengan balok-balok es di dalamnya.
"Hemm, bagaimana dengan pacarmu?" katanya, dengan keberanian yang mungkin sudah ia kumpulkan sejak sekian menit yang tadi, enam menit kurasa.
"Pacar yang mana?" aku mengangkat alisku, tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini.
"Emm, Josua. Bukankah dia pacarmu?"
"What?? Sejak kapan aku jadian dengan Josua?" aku mengembalikan pertanyaannya.
"Jadi, kamu ga jadian dengannya?" dia terperangah.
Aku mengerti sekarang. Well, ternyata bukan aku saja yang merasa sial waktu itu.
Lalu, tiba-tiba ia tertunduk malu. Well, I don't know what to do next.
--
Jakarta, 30 November 2011
http://about.me/ririn
*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•
Well, sebenarnya aku tak tahu akan kemana ujungnya, tapi ..
ReplyDeletebeginilah dia ..
hm... jodoh... ngenes ya... *ini curhat
ReplyDeleteIhiirrrr.... ga pacaran tapi dekat, merasa kehilangan kalau tidak ada. :)
ReplyDeletejadi inget waktu mau nikah n ngasih inpoh ke temen-temen. Ada yg dikabarin beramai-ramai, ada yang dikabari sendiri-sendiri. Wuihh dah, responnya bermacam-macam ^_^ Yang jelas ada 1 kesamaan, kaget tapi senang!
@Arif Chasan
ReplyDeletecurhat?
hehehe, no no #geleng2
@Kirana
ReplyDeletekaget tapi senang
:)
kayaknya cerita kakak bisa dijadikan cerpen tuh
^^