Kawanan ini memang gila. Kerjaannya ga ada yang jelas. Ada yang megang gitar di pojokan dengan gaya sedang patah hati. Ada yang berdiri di ujung tembok seolah-olah ingin bunuh diri. Ada yang ketawa-ketiwi di depan pintu. Hey, lihat ada yang sedang bengong menatap hijau sawah di kejauhan.
Beneran aneh bin ajaib mereka semua ini.
Apa itu? Ada tulisan warning "JEYSCAR Zone!" di depan pintu. Siapakah mereka ini? Berbahayakah? Sungguh, saya tidak tahu bagaimana kelanjutan cerita ini. Jika anda penasaran, silakan ikuti lebih lanjut!
***
"Gimana nih, ujian uda di depan mata, tapi otakku sepertinya masih ingin tidur lebih lama," ujar Erick.
"Iya iya, aku pun tak sadar," ujar Renald menimpali, tercenung dengan gitar yang berada di tangannya.
"Santai aja cuy, toh semuanya akan terlewati," ujar Stephan berusaha memberikan solusi, yang semua orang juga tahu.
"Alaaagh, lu Step, asal ngomong aja," ledek Echi sambil ngelempar biji kacang pada Stephan.
"Kalau gitu, mari kita belajar bareng," usul Titin, yang sepertinya disetujui teman-temannya dalam hati masing-masing.
"Iya, kalau kita buat diskusi, mungkin lebih cepat menguasai materi ujian," kata Esther.
"Kapan kita mulai?" Echi tak mau ketinggalan.
"Minggu depan aja deh, masih ada waktu kan?"
"Jangan minggu depan, maunya minggu ini aja, biar waktu kita lebih panjang," sepertinya Esther sudah dikejar-kejar waktu.
"Kita tidak seharusnya seperti ini. Masakan kita belajar hanya untuk ujian? Itu sama sekali tidak benar. Seharusnya kita belajar untuk memperoleh ilmu, untuk masa depan," ujar Ririn antusias.
"Alaagh, kamu juga ngomong besar, Rin" kali ini Erick yang ngelempar kacang.
"Ya ya ya, bener juga sih kata Ririn," Sepertinya Stephan kena virus yang Ririn sebarkan.
"Ya ya ya, kamu mah sama aja ma Ririn. Banyak cerita!" yang lain terkekeh-kekeh melihat ketiga temannya yang saling bela-ejek.
"Baiklah, kapan kita mulai?" akhirnya Titin berbicara dengan nada serius untuk menyatukan pendapat teman-temannya. Kalau ada yang bicara dengan nada serius, so pasti teman yang lain berusaha ikut serius, walau terkadang ga berhasil.
"Hari Jumat aja, soalnya kan kita pulang cepet," usul Erick.
"Iya, Jumat aja," Echi setuju ama usul yang diajukan Erick.
"Kenapa ga hari Kamis aja? Toh kita semua ga ada acara khusus kan?"
"Kamis ya? Kayaknya aku g bisa deh," ujar Ririn.
"Kenapa? Emang mau kemana, Rin?"
"Soalnya .." ia diam, "aku pengen tidur siang, hahaha," ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak menyaksikan wajah-wajah temannya yang penasaran.
"Kurang asem." Lalu semua orang melempar kacang ke arah Ririn. Rasain tuh!
"Ya udah, cukup, cukup.." ucap Esther menengahi acara lempar2an kacang.
"Ya udah, hari Kamis ya, semuanya mesti datang, tepat waktu, ON TIME!" kata Esther menegaskan kata on time.
"Jam berapa bilangnya tadi?" Tanya Jos.
"Jam berapa?" kali ini Esther bingung, "Emang aku belum sebutin jam berapa yah?" ucapnya bernada bingung.
"Ya elaaah, sadar non sadar." Titin segera menyentuhkan jari-jarinya ke dahi Esther.
"Ya ampun, panas banget nih, pantes uda g sadar lagi."
Semua teman-teman tertawa keasyikan melihat kepolosan teman mereka.
"Hehehe, maap .. maap, jadi jam berapa kita ngumpul?"
"Langsung aja habis pulang sekolah, ga usah pulang ke rumah dulu, ntar jadi pada telat semua," ujar Erick.
"Jangan dong, ntar aku kena marah ama Nyokap. Kalian kan tahu, Bonyok tuh g suka kalau anak-anaknya keluyuran sehabis sekolah, tapi masih pakai seragam sekolah," ujar Ririn yang mendapat anggukan dari teman-temannya.
"Gini aja, Ririn permisi ma Bonyok kalo mau ikut belajar bareng ma kita-kita, trus Ririn bawa aja baju ganti dari rumah. Gimana?" Renald berkata dengan sangat hati-hati, takut Ririn tersinggung.
"Mmmmh," terlihat Ririn sedang menimbang-nimbang, "Iya deh, dicoba. Tapi kalau seandainya ga dikasih ijin, terpaksa deh Ririn datangnya telat. Ga papa kan?" ujarnya sembari memandang berkeliling ke wajah teman-temannya satu per satu meminta persetujuan.
"Buat kamu, apa yang engga si Rin?" ujar Erick mantap yang diikuti sorakan dari semua teman-temannya.
Ririn senang. Terlihat dari senyum manisnya.
"Waduh, perut ku uda keroncongan ni, Cari makan youk," ajak Stephan yang terlihat sedang memegangi perutnya.
"Akh, kamu ini tukang makan saja," ujar Esther ribut.
"Iya, kita aja belum ada yang lapar, masa kamu sendiri kelaparan, padahal kita sama-sama makan tadi siang." Ujar Echi menimpali.
"Ayouklah, keburu sakit perutku ntar,"
"Ayouklah, teman. Apa g kasihan liat teman kita meringis kesakitan?" ujar Ririn yang iba melihat nasib temannya.
"Ga laper, Rin." Echi menolak.
"Yodahlah, kita berdua aja, Step, kita makan dimana?"
"Eh, mau kemana nih berdua aja?" selidik Renald.
"Mau makan, habis kalian ga mau diajak makan, kan kasihan Stephan."
"Akut ikut ya, aku juga lapar ni .." kata Jos beranjak dari tempatnya.
"Eh eh, aku ikut juga deh, ga enak disini ternyata ada bau-bau orang kurus," ujar Erick. Echi cemberut, ia tahu ia baru saja diledek.
"Eh, aku nitip gorengan ya .." pinta Titin yang terdengar agak samar di telinga Stephan (yang kelaparan), tetapi masih terdengar jelas di telinga Ririn.
"Mau makan dimana, Step?"
"Disitu ajalah, tempat yang paling deket. Sumpah, aku uda kelaparan banget. Takutnya maag ku kambuh," ujarnya lagi menambah simpati temannya yang lemah lembut ini (Huekss).
Mereka sudah berada di warung yang tidak besar.
"Kamu kena maag yah? Kenapa ga bilang dari dulu?" tanya Renald.
"Yah, kalian kan ga bertanya, so ngapain bilang-bilang.."
"Ga gitu lho, Step. Sebagai teman, kita ini peduli sama kamu. Koq kamu nya ga peduli.." Ririn berujar lagi.
"Iya, kamu anggap kita sebagai teman gak sih?" tanya Erick .
"Ya pastilah, Rick, tapi kan g mesti aku menambah beban pikiran kalian dengan penyakit ku yang tidak bisa dikompromikan ini,"
"Step, sebagai teman, kita itu mesti saling terbuka, walau hanya hal kecil kayak ini, bahkan ini ga bisa dianggap kecil, ini bisa disebut besar. Karena kalo seandainya kamu kenapa-napa, dan jadi sakit, dan g bisa gabung ma kita-kita lagi, jadi panjang persoalannya. Betul gak?"
"Iya sih. Iya deh, lain kali bakalan ku beberkan hal-hal yang kelihatannya penting buat kalian ketahui."
"Nah, gitu donk, baru jeyscar namanya," ucap Renald dan Erick berbarengan sambil merangkul bahu Stephan.
"Udah deh, g usah lebay gitu. Nih uda q pesanin nasi goreng buat Steph, yang lain pesan sendiri," ucap Ririn sinis.
"Yeeee, pelit amat sih, buat kami mana?"
"Buat kalian? Pesan sendiri aja, tuh di depan!" ujarnya seraya menunjuk ke arah pelayan manis di depan.
"Hahaha, makanya lain kali kalian juga bilang punya penyakit kayak aku.." Steph nyengir kesenangan menambah iri kedua temannya.
"Huhhh!!"
"Ternyata Ririn itu pilih kasih. Baiknya ama Steph doing, ma kita-kita engga." Renald berujar sambil memonyongkan bibirnya, merajuk.
"Yeeee, hari gini merajuk, cape deh!"
"Iya nih, katanya teman, masa' pilih kasih sih!?!?" Erick ikut-ikutan merajuk, menampilkan wajah jeleknya yang makin jelek.
"Weih, cape deh ngurusin dua anak manja ini. Ya udah, mau pesan apa ni?" akhirnya Ririn mengalah juga.
"Hehehe, akhirnya.. apa yah?" Renald dan Erick celingak-celinguk mencari-cari menu yang sedap.
"Cepetan, ntar aku berubah pikiran," ancam Ririn.
"Mie ayam, bos!" ucap Renald cepet.
"Dua, bos!" Erick ngekor, tangannya di taruh seperti hendak memberi hormat pada bendera.
Steph dan Ririn tertawa ngakak melihat tingkah temannya.
"Ga koq, aku cuma bercanda. Mau pesan apa, Rick, Ren?"
"Hehehe, Ririn mesan apa tadi?" Tanya Erick cengar-cengir.
"Aku suka yang goreng-goreng, so aku mesan Mie Goreng."
"Ikutan deh, tapi yang seafood yaaa.." kata Erick.
"Aku tetap mie ayam ya.."
"Oke deh, sebentar ya.." Ririn segera berlalu dari hadapan mereka.
"RIrin ini memang anak yang baik yah .. " Renald bergumam sendiri.
"Ngomong apa barusan?" Erick bertanya.
"Apaan??" Renald mengelak.
"Aku mendengarmu, Ren, aku tahu apa yang kamu ucapkan."
"Ya, au uga," ucap Steph g jelas dengan mulut penuh dengan nasi goreng.
"Apa yang kalian dengar emang?" selidik Renald.
"Otomatis apa yang kamu ucapkan," Erick belagak sok tahu.
"Emang apa yang aku ucapkan?" kali ini Erick bingung mau jawab apa.
"Ah, sudahlah, kamu mengagumi Ririn kan?" sekarang Steph yang ambil alih.
"Husssh, sembarangan."
"Jujur raja deh Ren, kamu kagum kan?"
"Yah, iya deh, siapa emang yang engga kagum ama Ririn? Selain baik hati, ia juga pintar, bersahaja lagi."
"Rajin menabung juga kan?" canda Erick.
"Iya, dia teman yang baik. Sayang yah, kita hanya bisa sebagai temannya saja."
"Weh, jangan gitu Steph, malah kita harusnya bersyukur bisa menjadi temannya." ucap Erick.
"Iya yah,.. Eh, datang juga akhirnya. Enak nih," ucap Stephan sembari memasang mupeng (muka pengen).
"Hush hush, sana sana, enak aja lu, uda dapet bagian eh, minta bagian teman. Jangan tamak, euy!" Erick berusaha menyingkirkan genggaman Steph dari pesanannya.
"Ah, pelit lu!"
"Rasain!"
"Udah deh, jangan berantem melulu. Sekarang mau nyantai nih, jangan bising!" ujar Ririn yang ga mau acara makannya diganggu. Erick dan Stephan masih rebut-rebutan, dalam diam.
Dan Ririn tidak mau ambil pusing, dia ingin menikmati makanannya. Nikmat!
***
--
http://about.me/ririn
*•.★.·*†*•. .·*☆.·*†*•
No comments:
Post a Comment