"Kamu boleh kok jalan ama siapa aja," katanya tanpa terlihat sedih.
Aku mulai meragu apa benar dia mencintaiku atau tidak. Tetapi muncul pikiran lain dalam kepalaku. Mungkin saja dia benar mencintaiku, karena itu dia menginginkan aku bahagia. Bukankah itu cinta sejati, yang rela melihat orang yang dicintainya bahagia?
"Apa kamu yakin, Ra?" tanyaku meyakinkan dirinya. Ia mengangguk mantap.
Aku semakin yakin bahwa dia bakal baik-baik saja.
"Baiklah, jika kamu tidak apa-apa, aku mau jalan sama Heto. Aku pergi dulu ya. Sampai nanti malam," ucapku lalu menepuk pundaknya sebagai tanda perpisahan.
Apakah dia pacar yang baik? Menurutku dia pacar yang sangat baik.
**
"Kamu telat," sapanya padaku, ketika aku baru saja duduk di hadapannya.
"Hanya lima belas menit kok," aku membela diri.
"Harusnya kamu memberitahu aku kalau bakalan telat, aku kan ga perlu menunggumu terlalu lama," ucapnya sewot. Entah mengapa aku masih bisa menaruh perasaan pada pria yang tidak punya rasa empati ini. Bukankah dia harusnya bersyukur masih bisa bertemu denganku, walau aku sudah punya pacar?
"Ya, aku minta maaf," akhirnya aku mengalah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kita janjian disini untuk melepaskan belenggu yang terasa mengikat kita berdua.
"Ada yang ingin kamu sampaikan lebih dulu?" tanyanya kemudian.
Aku berpikir keras, pernyataan apa yang ingin aku katakan padanya. Aku terdiam. Aku tak punya banyak kata yang bisa kusampaikan padanya lagi, kita tidak seperti dulu lagi.
"Adakah?" tanyanya lagi ketika aku masih tak kunjung bicara.
"Mengapa kamu lakukan ini terhadapku?" akhirnya bibirku berucap.
"Apa?" tanyanya, terlihat tak mengerti.
"Mengapa engkau membuat bunga layu, ketika ia hendak mekar?"
Dia terlihat gamang, mungkin ia mengerti filosofi yang aku buat.
Lama dia terdiam, membuatku was-was apa dia benar-benar mengerti maksud perkataanku.
"Karena bunga itu menusukku tajam ketika aku hendak menyentuhnya," kali ini aku yang terdiam. Aku sadar akulah yang menjadi pemicu dari semua ini.
"Dia sama sekali tidak berniat menusukmu," kataku membela.
"Tapi dia sudah melakukannya, tepat di hatiku."
Aku tertunduk. Sakit terasa di dada. Mungkin seperti ini sakit yang dulu ia rasakan.
"Kamu tidak bisa menyalahkannya, kamu tidak pernah bertanya apakah dia benar-benar ingin menusukmu, atau itu hanya salah paham."
"Apa yang salah paham? Aku melihatnya sendiri. Bunga itu benar-benar ingin menusukku."
"Tidak, itu tidak benar!" Suaraku terdengar keras. Aku terdiam lagi. "Maaf, tak seharusnya aku teriak."
Kuperhatian sekelilingku. Syukur tempat ini lengang, tidak banyak yang memerhatikan kami.
"Ya sudahlah, toh semua sudah berlalu." Suaranya terdengar pasrah.
"Aku minta maaf jika aku sudah menyakitimu, kita harus bisa move-on," ucapnya lagi.
"Ya, aku juga minta maaf," aku mengangkat tangan, hendak berjabat tangan.
Ia melihat ke arahku, seolah bingung. "Ya, kita harus bisa move-on," ucapku menjelaskan.
Dia menjabat tanganku.
Mungkin ini yang terbaik. Aku sudah punya seseorang disana yang menungguku pulang.
"Halo, Ra. Kamu bisa menjemputku?" kataku padanya di seberang sana. Mungkin memang dialah cinta sejatiku.
--
Jakarta, 23 Mei 2012
*I am adalah bagian kedua dari TrilogiXIH.
Berdasarkan KBBI, tri·lo·gi n 1 seri karya sastra yg terdiri atas tiga satuan yg saling berhubungan dan mengembangkan satu tema; 2 tiga hal yg saling bertaut dan saling bergantung