Dia melihat ke arahku, aku tahu itu. Mungkin tidak gampang mengatakannya. Ia takut melukaiku. Pelan-pelan ia berkata, “aku ingin kita putus.”
Hatiku sakit. Bagaimana bisa dia mengatakan hal ini di saat aku sudah menaruh perasaan sayang di hatiku? Mengapa dia menyakiti hatiku? Mengapa harus sekarang? Mengapa tidak dari dulu, ketika aku belum merasakan apa-apa terhadapnya?
Sakit. Hatiku sakit. Rasanya seseorang telah menusuknya perlahan-lahan. Tidak ada air mata. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Yang ada hanya pandangan hampa. Kosong. Tak mengharapkan ini akan terjadi padaku.
Aku melihat ke arahnya, ia hanya tertunduk. Mengapa ia tak melihatku? Apa ia tak tahu betapa sakit hatiku? Apa ia tidak ingin melihatku terluka? Entahlah. Aku tak tahu bagaimana dirinya saat ini. Yang ada hanya pandangan hampa yang kosong. Aku berharap aku berada di tempat tidur, sehingga aku tahu bahwa itu hanyalah mimpi. Ingin aku berada di tempat lain, agar aku tahu bahwa aku sedang menonton sandiwara cinta. Tapi aku tahu, itu semua tidaklah mungkin. Bukankah aku harus menghadapinya?
Aku mengatakan “Ya. Mungkin itu yang terbaik.” Aku melihat wajahnya, sepertinya ia terpana dengan jawabanku. Bagus!
“Tidak!” Itulah yang ada di dalam hatiku. Mengapa seperti ini?
”Jangan katakan itu. Katakan kamu menyayanginya. Kamu tidak ingin berpisah dengannya.”
Sepertinya aku mencoba untuk tegar, seolah-olah aku kuat. Namun, aku tahu aku tidaklah kuat. Aku lemah. Bahkan sangat lemah.
“Mungkin kita masih bisa berteman baik,” ujarnya lagi.
“Yeah, kita teman baik.” ku ulangi perkataannya.
That’s all. Yapp, kita putus.
Pagi ini, aku bersapaan dengannya. Ia tampak lebih dewasa dibanding sebelumnya. Ia melihatku, aku tahu itu. Aku hanya tersenyum.
Bagiku, ia adalah masa lalu. Tidak sedih. Juga tidak menjadi kenangan yang indah buatku. Ya, aku sayang padanya, aku tahu itu, tapi itu dulu, tidak lagi sekarang. Jangan salahkan aku. Aku tidak pernah salah, karena ini bukan salahku. Aku tidak pernah memintanya untuk pergi dari hidupku.
Dulu, ingin sekali aku kembali padanya, tapi perasaan itu hanya sebentar. Hanya beberapa hari, mungkin beberapa minggu, tapi itu tidak apa-apa, aku tetap kuat. Aku bisa hidup tanpanya.
“Hey, Pipin. Nanti ada rencana gak?” tanya Eddy, teman sekelasku.
“Rencana apa? Ga ada tuh. Ada apa memang?” tanyaku balik.
“Kita lagi buat diskusi kelompok. Mau ikutan?”
“Wow, seru tuh .. mau donks. Dimana?”
“Di rumah Yessi. Datang jam 3 yah. Atau mau aku jemput?”
“Akh, ga usah. Aku bisa datang sendiri koq,” ujarku pasti.
“Ok dech. See you there.” Ujarnya lalu berlalu dari hadapanku.
Aku harus tetap terbuka dengan orang lain, aku kan punya banyak teman. Aku akan bersenang-senang dengan teman-temanku.
******
“Heyy, Pipin. Akhirnya datang juga, dari tadi ditunggu-tunggu, eh tak tahunya baru kelihatan. Dari mana saja?” sapa Becca ketika aku baru saja tiba di rumah Yessi.
“Eh, maaf. Tadi aku mampir di perpustakaan, baca buku, tak terasa sudah telat. Sorry banget yah teman-teman.”
“Ga papa koq, Pin. Santai saja. Lagian kita belum lama mulai koq. Uda makan?” kata Eddy.
“Ya, udah dunx. Lagi bahas apa negh?”
“Gampang koq bahannya, Pipin tinggal baca, pasti dapat.” Kata Yessi.
“Ya iyalah, masa’ seorang Pipin ga bisa dapat yang beginian..” seru Anto dari seberang meja seraya menunjukkan perkalian angka.
Semua orang tertawa. Aku pun turut tertawa. Suasana yang nyaman untuk diskusi, tidak ada tekanan. Aku senang ikut diskusi ini, semuanya belajar dan berusaha untuk saling membantu.
Hari-hariku berlalu, aku semakin ceria menghadapi hidup. Ternyata jomblo tidak separah yang aku bayangkan. Teman-teman benar-benar membantuku dalam hal ini.
Hari ini, kami di rumah Renatalia, melakukan diskusi belajar seperti yang biasa kami lakukan. Ia termasuk teman yang dekat denganku. Ia sangat senang jika kita semua bersama-sama belajar di rumahnya. Dia senang jika suasana rumahnya ramai. Maklum saja, ia anak tunggal, so pasti seorang diri tanpa ada saudara. Setelah selesai belajar, kita ber-enam, ada aku, Renata, Yessi, Anto, Eddy, dan Becca, jalan bareng ke café yang berada tidak jauh dari rumah Renatalia. Yeah, kami biasanya menghabiskan waktu bersama di tempat itu.
Tidak! Aku melihatnya. Ia, masa laluku dengan seorang gadis cantik di sudut ruangan. Aku sedikit tersentak. Tapi syukurlah tidak ada yang melihatku seperti itu. Ternyata, inikah alasannya, ia memutuskan hubunganku dengannya? Hatiku sakit? Tidak. Hanya saja, ada sedikit rasa sesak di dadaku. Hmmmh, akhirnya aku tahu ini alasannya. But, it’s okay. Bukankah ia masa laluku? Mengapa aku harus ambil pusing?
“Heyy, Pipin mau pesan apa?” Eddy menegurku. Aku tahu ia memerhatikan tingkah lakuku. ”Ia menyadari apa yang terjadi,” pikirku.
“Seperti biasa dech.” Ucapku tersenyum, kecut.
“Ok. Yang lain gimana?”
Teman-teman yang lain heboh untuk pesanannya, hanya aku sendiri yang biasa saja.
Hehehehe, teman-teman yang asyik. Aku bahagia bisa mengenal mereka.
“Pipin, aku bisa antar kamu pulang?” tanya Eddy padaku.
“Hmmmh, apa-apaan ini,” pikirku.
“Boleh dunks .. Untuk Eddy, apa sech yang enggak?” ujarku melucu.
“Pipin harus tetap kuat.” Ucap Eddy ketika kami sudah tiba di depan rumahku. “Aku tahu apa yang Pipin rasa. Tapi itu semua bukanlah hal yang penting, jika Pipin berusaha. Pipin pasti bisa.”
“Maksud Eddy apa yah?” ujarku bertampang polos.
“Pipin pasti tahu apa maksud ucapanku. Aku hanya ingin Pipin itu tidak bersedih. Seharusnya Pipin bersyukur, Pipin bisa kenal lebih banyak orang sekarang, tidak hanya terfokus pada satu orang saja. Mungkin Pipin bisa ketemu ama orang yang lebih baik lagi dan mungkin yang sepadan dengan Pipin.”
Aku tertegun. Ternyata Eddy lebih tahu apa yang terjadi denganku daripada aku sendiri. Hebat! Aku kagum padanya.
“Pipin bisa lebih mengenal orang, mengenal karakter tiap-tiap orang, bebas bergaul dengan siapa saja tanpa takut ada yang bakalan marah. Seharusnya Pipin bisa bersyukur untuk itu.”
“Aku ..”
Lama aku terdiam.
“Tidak apa-apa. Aku hanya pengen Pipin tersenyum, menikmati hidup yang indah ini. Tetaplah semangat. Hidup ini indah.” ujar Eddy lagi.
Aku tersenyum. Sahabatku yang satu ini memang sangatlah perhatian padaku. Ia sayang padaku, aku tahu itu. Dan sekarang, sayangku pun bertambah padanya. Eddy, sosok saudaraku yang sangat baik.
“Heyy, Pipin. Jangan bengong, dilarang bengong saat bersamaku.”
Aku tertawa.
“Makasih Eddy-ku. Aku juga tidak ingin seperti ini. Aku bahagia kok, apalagi aku punya sahabat sepertimu. Cuman eddy yang paling mengerti aku.”
“Senyum donk! Jangan pasang tampang yang cemberut. Pipin itu lebih manis kalau tersenyum lho ..” ujarnya lagi.
Aku tersenyum, bukan karena paksaan, tapi karena aku bahagia. Bahagia. Itu kata yang tepat untuk melukiskan suasana hatiku.
“Hmmmh .. ya sudah.. aku pulang dulu. Tetap semangat. Kalau butuh apa-apa, you know how to call me.”
”Rebes boss” ucapku seraya tersenyum.
Malam itu aku dapat tertidur dengan nyenyak. Eddy benar, aku harus menikmati hidup. Bukankah hidup ini indah? Hidup ini indah, dan harus dinikmati agar kita bahagia.
Aku bahagia, walaupun aku jomblo. Jomblo bukan berarti aku harus rendah diri dan menutup pergaulanku. Malahan, ini seharusnya menjadi senjata yang ampuh buatku untuk mengenali lingkunganku, teman-temanku,dan juga pribadiku sendiri.
Aku jomblo, dan aku bisa berbagi kasih dengan semua orang, tanpa terkecuali, dan tanpa pilih-pilih. Terima kasih untuk teman-teman yang telah ada buatku. Aku bahagia mengenal kalian semua. I love you all.
Oleh:
R. Elfrida Hutagalung
Laguboti, 23 February 2010
No comments:
Post a Comment