All is Over
Lova gusar. Ia membaca sms itu sekali lagi.
“ Lova uda dimana? Uda ditunggu lho..
Cepat yach .. “
Akhirnya, Lova membalas sms itu.
“ Maaf, aku gak bisa ikut. “
Hanphone dinonaktifkan. Lova bergerak dari tempat duduknya menuju teras rumah.
“Lova, ko lum siap?” Fivie datang.
“Fivie, ko masih disini?” Lova malah balik nanya.
“Justru aku yang harusnya nanya ke Lova. Ayou buruan, yang lain uda nunggu lho.”
“Aku minta maaf, Fi, aku ga bisa pergi. Orangtuaku gak izin,” Lova beralasan.
“Lho??Bukannya kemaren kamu uda diizinin?”
“Orangtuaku berubah pikiran.”
“Yeah.. gitu ya? Teman-teman bakalan sedih ne..”
“Aku minta maaf, bener – bener minta maaf. Fivie, tolong bilangin ke teman-teman ya.”
“OK! Aku bilang ntar. Aku pergi ya.. !?” Fivie pamit.
“Hati-hati, Vi..!”
Lova tampak sedih. Ia sangat ingin kumpul bersama teman-teman sma dulu. Ia rindu tertawa bersama teman-teman. Namun, keegoisannya mengalahkan rasa rindunya. Ia tidak ingin bertemu Henra disana. Henra pernah membuatnya merasakan cinta juga sakit hati yang mendalam.
* * * *
“Halo, Henra dimana?” terdengar suara Lova dari seberang
“Aku di rumah, Lova. Sibuk ne urusan rumah.
“Oh gt ya, g da papa ko. Lanjutin aza kerjaanmu, aku g mau ganggu.”
“Emank tadi mau bilang apa?” tanya Henra lembut.
“Tadi mau ngajakin jalan, tapi klo Henra g bisa, lain kali aza mungkin,” Lova terdengar sedikit kecewa.
“Aku minta maaf, Lova sayang. Besok za gimana?” Henra beri usulan.
“OK dech. C u.”
“Bye, honey.”
Lova menangis. Tangannya gemetar. Ia melihat Henra sedang duduk di seberang
Sejak hari itu, Lova selalu menghindar dari Henra. Lova mengganti nomor handphonenya, juga tidak ingin bertemu dengan Henra. Lova tidak memberi kesempatan bagi Henra untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi di antara mereka. Letak kampus yang jauh membuat mereka semakin jauh. Kian hari, hubungan mereka kian tak menentu.
* * * *
Lova masih termangu di kamarnya. Ia mengira – ngira kegilan apa yang tengah dilakukan teman-temannya.
Suara ribut di luar mengganggunya. Ia bergegas ke teras rumah.
“Hey, Lova! Apa kabar?” Dina, salah satu teman Lova, memeluk Lova. Lova hanya bengong. Ia tidak mengira bahwa teman-temannya akan datang ke rumahnya.
“Lova ko ga ikut sama kita-kita seh? Cuma Lova yang g ada,” tambah Sisyl, teman Lova yang lain.
“Iya, seru banget lho, Va! But, g ada loe, g rame, y g teman- teman?” Laura menambahi dan disambut teman-teman.
“Orangtuamu mana, Va?” Sammy bertanya sembari celingak-celinguk seperti mencari sosok seseorang.
“Ehhh, orangtuaku sedang keluar,” jawab Lova.
Lova tampak gembira dan juga khawatir. Gembira bertemu teman-temannya berkumpul bersama. Khawatir akan bertemu Henra. Ia mencari-cari wajah Henra, dan ..
“Lova, pa kabar? Lama tak jumpa y.. ?” Henra menyentuh jemari Lova.
Lova marah, geram, dan.. ia hanya diam. Teman-teman dan keributan di tempat itu membuatnya terhindar dari Henra.
Suasana ramai tidak berlangsung singkat, sangat menyenangkan.
Setelah puas tertawa, berbicara, dan berpelukan, akhirnya teman- teman Lova pamit pulang. Namun, ada seseorang masih duduk nyantai disana. Lova tidak peduli, ia ingin masuk ke dalam rumah.
“Lova, tunggu!” Henra mencegatnya, “Aku ingin kita bicara,” Henra berkata mantap.
“Mau bicara apa?” Lova sedikit cuek, pura – pura ga tau ada masalah di antara mereka.
“Lova, pliss. Aku ga tahu apa yang terjadi. Aku ga tau apa yang salah dengan aku.”
“Siapa yang bilang kamu salah?”
“Kalo aku g salah, napa kamu selalu ngehindar dari aku? Apa karena kamu g sayang ama aku lagi?”
“Ini semua karena kamu, karena hubungan kita. Tapi sepertinya hubungan kita tidak bertahan lama.”
“Maksud kamu, Va?” Henra pasang tampang bingung.
“Henra plis dech. Kita udah ga ada hubungan apa pun selama 6 bulan lebih, g ada komunikasi sama sekali. Apa itu pantas disebut pacaran?”
“Tapi, kita ga ada kata putus
“Gampang aza. Kita putus,” Lova berkata geram, “selesai.”
“Ga boleh gitu donk!”
“
“Itu hanya sepihak.”
“Ou gitu. Henra, aku minta kita putus, terserah atau enggak. Aku ga mau hubungan ini dipertahankan lagi,” Lova mulai bosan.
“Lova, aku masih ga mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini padaku. Tolong jelasin ke aku.“
“Maaf, itu uda cerita lama.”
“Gak, itu masih cerita baru untuk aku.”
Lova diam. Ia sayang Henra. Lova terduduk.
“Kejadiannya persis enam bulan yang lalu. Aku meneleponmu dan kamu bilang kalo kamu itu di rumah, padahal aku melihatmu bersama seorang gadis di café. Aku kecewa ama kamu, Ra. Kamu pembohong. Kamu itu ga pantas jadi pacar aku. Hatiku sakit, Ra.” Mata Lova berair.
“Aku? Bersama gadis lain?? Di café???” Henra bertanya-tanya. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan Lova.
“Jangan sok ga tahu, Henra. Jangan bilang kalo itu bukan kamu.”
“Aku benar-benar lupa, Va. Aku ga tahu persis kapan kejadian itu.”
“Kamu ga ingat terakhir kali aku nelpon kamu?”
“Terakhir kali?” Henra tampak berusaha mengingat-ngingat, “Itu… itu bukan siapa-siapa, Va. Kamu pasti salah paham,” Henra mencoba membela dirinya.
“Salah paham katamu? Salah paham jika pacarku bilang dia ada di rumah padahal dia ada di café? Itu salah paham katamu?” Lova marah.
“Aku benar-benar minta maaf. Bukan maksud aku berbohong padamu. Aku hanya .. ” Henra tidak melanjutkan kata-katanya. Henra tahu ia salah. “Gadis itu Mariana. Aku bertemu dengannya di café. Kami cerita banyak hal. Aku bohongi kamu karena aku tahu kamu gak suka ama Mariana. Kalian berdua uda musuhan sejak sma. Aku ga mau kamu marah ama aku karena bicara ma gadis yang ga kamu sukai. Aku hanya ingin menjaga perasaaan kamu,” Henra tampak sangat menyesal, “Lova, aku minta maaf. Kejadian itu uda lama, apa kamu ga mau maafin aku?” Henra memelas.
“Semuanya uda terjadi. Ga ada yang perlu dimaafin. Pergilah Henra dan jangan pernah kembali,” Lova bersikukuh.
“Lova, aku sayang kamu. Aku gak akan biarin hubngan kita berakhir seperti ini.”
“Jadi, maumu gimana, Ra?”
“Aku mau kita seperti dulu lagi.”
“Ga mungkin.”
“Kenapa ga mungkin? Lova, jawab aku, kamu masih sayang ama aku
“Ayo, Lova jawab aku, ” Henra memaksa, “Lihat, kamu g bisa jawab karena kamu masih sayang ama aku,” ada sedikit harapan bagi Henra.
“Jangan paksa aku, Henra. Sudahlah, kita uda putus.”
Lova masuk ke dalam rumah. Tinggallah Henra terdiam diteras. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Lova, bagaimana pun caramu memperlakukan aku, aku tetap sayang kamu. Dan hubungan kita, masih tetap ada. Kamu tetap pacar aku. Aku akan pergi, tapi aku akan kembali untukmu, Va,” Henra berbicara dengan suara nyaring agar Lova bisa mendengarnya.
Lova menangis. Ia sayang Henra, namun semuanya uda berakhir. Lova harus bisa melupakan Henra. Lova menekankan pada dirinya sendiri, cinta itu tak harus memiliki.
* * * *
16 juli 2008
by: Rhyn
No comments:
Post a Comment